''Satu hal lagi. Semua yang ada di sini sudah melalui berbagai hal berbahaya untuk mendapatkan kunci asrama. Jangan khawatir kunci akan tertukar, karena dari awal kunci itu dibuat dengan darah kalian. Selama pemiliknya masih hidup, kamar yang kalian tempati menjadi milik kalian. Kalian bisa mencermati daftar peraturan asrama Nama To Shi yang telah ditempel di kamar masing-masing,'' papar Bu Ryiota.
Aku langsung kebingungan selama mendengarkan penjelasan Bu Ryiota. Sulit untuk dipahami terlebih kunci yang kupegang ini dari darahku sendiri. Walau bagaimanapun aku mencari celah kejadian demi kejadian, aku tak menemukan sesuatu yang masuk akal. Semuanya seperti ajaib. Kapan mereka mengambil darahku? Aku tak merasa ada jejak rasa sakit yang tertinggal jika mereka menggunakan jarum suntik.
"Kudengar tak ada yang luput dari pengawasannya di asrama ini. Nenek itu seperti penyihir saja. Pasti banyak sekali peraturan yang dibuatnya," ucapan Sakura membuat aku menahan senyum.
''Ini baru pertemuan pertama, kau sudah menyebutnya Nenek Penyihir. Kalau ada yang dengar bagaimana nasibmu?'' kataku, memperingatkannya.
''Ada yang menarik dari asrama ini, loh.'' Sakura memancingku untuk bertanya. Namun, aku hanya menatapnya penasaran.
Ibu jarinya mengarah ke belakang seraya menoleh padaku.''Gedung ini punya dua asrama. Di bagian depan asrama untuk para wanita, sedangkan di belakang, untuk para pria.'' Di ujung ucapannya, Sakura berbisik.
Suara Bu Ryiota semakin nyaring. Aku berhenti bicara dan memperhatikannya.
"Pada pukul 10.00, semua mahasiswa dilarang keluar dari kamar sampai menjelang pagi. Kecuali, ada tugas dari divisi. Malam bukan kehidupan kalian di asrama ini, jadi siapa pun yang membuka kamar meski hanya sekadar mengintip, akan dihukum!''Bu Ryiota kembali memaparkan yang dibumbui ancaman. Siapa saja yang mendengarnya mungkin akan berpikir dua kali bahkan sekadar mengintip di lubang kunci.
''Peraturan yang aneh!''ucapku.
"Yang berperilaku buruk akan dipindahkan ke level bawah. Bagi pemegang kunci Hitam tidak ada pelayan untuk kalian. Pelayan hanya diperuntukkan bagi pemegang kunci silver dan emas. Para pelayan muncul menjelang malam sampai menjelang pagi," lanjut Bu Ryiota.
Komentar begitu ramai di antara barisan depan. Sepertinya pemegang kunci hitam tidak terima dengan peraturan tidak ramah itu. Pasti kecewa karena mereka dianggap sebagai kalangan bawah apalagi harus tinggal di lantai paling bawah.
"Aku mendengar dari ibuku, bahwa di asrama ini ada dua kehidupan yang saling berputar. Kehidupan siang dan malam. Karena itulah, kita dilarang keluar dari kamar saat malam hari tanpa seijin petugas." Mendadak Sakura menceritakan cerita ibunya.
"Terdengar seram, tapi itu hanya cerita'kan," kataku dengan enteng.
"Kuharap begitu," sahut Sakura.
Setelah menjelaskan peraturan panjang lebar, sekarang waktunya bergerak menuju level kamar masing-masing.
Aku, Sakura dan sederet mahasiswa baru menaiki tangga menuju lantai dua. Nyeri pada pergelangan kaki kiriku masih terasa saat menaiki anak tangga.
Di sekitarku, ada yang sedang berlari di tangga melewati kami. Ada yang terus-terusan mengungkit ujian orientasi. Ada yang mempertanyakan bagaimana level hitam dan level emas, pokoknya ribut sekali.
Begitu banyak penghuni lantai dua, sehingga aku dan Sakura tidak berjalan berdampingan. Aku mengekorinya.
Bibirku mendadak gatal lagi setelah sempat kulupakan. Kugigit bibir sepanjang jalan tapi rasa gatal itu tak kunjung hilang.
"Kurasa aku alergi sesuatu." Tebakku asal-asalan
Suara langkah dari atas bergema menuju ke bawah. Kemudian muncul para pria entah dari divisi mana— sedang menuruni tangga berlawanan dengan kami.
Topik pembicaraan mulai berganti. Keributan tidak lagi tentang asrama dan ujian orientasi, tetapi bibir genit para gadis membicarakan para pria di depan kami. Termasuk Sakura yang berhenti sambil memukul pergelangan tanganku, minta perhatian.
''Yuki, mereka dari divisi intelijen,'' kata Sakura padaku. Tetapi tatapannya terpaku ke depan.
Aku ikut berhenti berjalan dan memperhatikan para pria yang menuruni tangga.
Mataku tertuju pada satu hal yang tak terduga. Pada rambut putih seorang pria yang tak asing. Hirotada, masih kuingat namanya seiring banyaknya hal buruk terjadi antara kami. Pria berambut putih dengan mata biru yang menatap sangat tajam. Keberadaannya memicu tekanan mental.
Hiro turun melewati para gadis dengan tatapan menunduk. Aku menepi sembari menyembunyikan wajah di belakang Sakura.
Aroma bunga Higanbana menjadi salah satu ciri khasnya sama seperti Kak Niel. Aroma itu lewat di sampingku dan berlalu dalam hitungan detik.
Jantungku masih berdebar-debar. Terpukul oleh kehadirannya.
Aku menoleh, mengikuti kepergian Hiro dari lantai satu menuju teras asrama.
''Jadi, selama ini dia salah satu mahasiswa di sini! Andai saja aku tahu, aku tak akan kemari. Aku sudah berharap banyak agar tidak bertemu lagi dengannya,'' aku berucap dalam hati dengan cemas.
Ingatan buruk tentang perlakuannya terhadapku membuat aku takut. Bagaimana jika kami bertemu? Apa kiranya yang akan terjadi?
Aku menggeleng setelah tersadar oleh pembicaraan random di sekitar tangga. Bergegas, aku membawa koper dan menerobos para mahasiswa baru lainnya.
"Hei, Yuki! Tunggu aku!" Sakura berseru, mungkin dia aneh sendiri melihat aku yang berlari tunggang langgang di antara tangga. Tapi aku tak ingin menoleh sedikitpun, tidak pula pada pria aneh itu.
Langkahku berhenti setelah mencapai lantai dua. ''Untuk kali ini aku dapat selamat dari pertemuan dengan pria rambut putih itu. Entah bagaimana nanti.'' Aku mendesah dan mengatur napas.
Karena Hiro turun dari lantai dua, dia mungkin di level silver karena tidak memakai lift. Ini akan menjadi hari-hari yang penuh dengan ketegangan. Aku harus super hati-hati tiap kali berjalan di sekitar sini.
Pokoknya, tidak boleh bertemu dengannya!
Langkah yang menghentak gusar terdengar di belakangku. Sakura datang dengan membawa kekesalan di wajahnya. Begitu Sakura bertanya, aku beralasan kebelet pipis.
Setelah kulancarkan kebohongan, baru lah wajahnya kembali santai.
''Maafkan aku, Sakura. Perkara ini tidak bisa kubagi pada siapa pun,'' batinku.
Sebelum masuk kamar, Sakura melambaikan tangan kepadaku. Kamar kami terpaut dua kamar orang lain.
"Aaah ... Andai saja teman sekamarku itu Sakura," aku bergumam selagi memasukkan kunci silver pada pintu kamarku.
Celah pintu terbuka, di dalam gelap sekali. Selangkah berada di kamar baruku, aroma pengapnya langsung tercium. Ini akan memerlukan setidaknya dua bungkus pengharum ruangan. Untung aku punya banyak.
Aku meraba-raba dinding kamar dekat pintu, tombol lampu kutekan, ruangan pun terang sekali.
Hal pertama yang paling mencolok adalah, gorden tebal dari kain beledru hijau tua. Kalau siang, matahari pasti tak akan menembus gorden tebal itu. Aku mendekati ranjang kecil yang mengembang bagaikan roti hangat dari oven.
Kuikat gorden beledru kemudian membuka jendela besar di samping ranjang. Akhinya udara segar masuk bebas di kamarku.
Kamar ini terdiri atas dua ranjang yang saling berhadapan. Dua nakas, dua lemari pakaian jadi seolah-olah kamar ini terbelah dua wilayah. Satu wilayahku dan satu wilayah yang akan menjadi milik teman sekamarku.
Aku memasukkan pakaian dan merapikannya di lemari, membuka dua bungkus pengharum dan meletakkannya di nakas dan satu lagi di kamar mandi. Kamar mandi tidak begitu besar, lantainya tidak licin karena menggunakan marmer bergerigi, selain ada Badtub di ujung kamar mandi, juga ada wadah air.
Tak ada TV di sini. Kudengar kalau mau menonton TV, harus ke ruang tengah agar dapat menonton bersama anak-anak lain. Mungkin dimaksudkan agar kami terbiasa bersama dan mudah mengakrabkan diri.
Aku berbaring sambil merenungi apa saja yang terjadi hari ini dan akan memperbaikinya untuk esok hari.
Tak berapa lama terdengarlah suara ketukan pintu. Kemudian suara seorang gadis. "Yuki, ayo keluar! Temani aku tour."
Yah, yang dimaksud tour oleh Sakura adalah jalan-jalan di dalam asrama.
Kubuka pintu, Sakura masuk dan bersandar di ambang pintu.
"Ayo cepat. Beberapa Mentor membagikan cemilan gratis di lantai 3 dan Kapan lagi bisa melihat-lihat ke asrama level emas," ajaknya dengan memaksa.
Karena si Rambut Putih itu baru saja turun, kurasa cukup aman untuk melihat-lihat ruangan lain.
"Berhenti menggigit bibirmu, Yuki! Kau akan merusaknya." Sakura mengacung tangan hendak menepuk bibirku, meski hanya ancaman.
"Kau punya topi?" tanyaku.
Sakura berlari keluar dan dalam sekejap saja membawakan aku sebuah topi. Kami bergandengan tangan, mengikuti beberapa mahasiswa baru menuju lantai tiga.