Aku terbangun. Terdengar pembicaraan beberapa orang wanita.
Mata perlahan menampilkan hal baru. Sebuah langit-langit luas nan polos, ada empat lampu panjang menerangi ruangan ini. Aroma lavender tercium lemah. Kepalaku tiba-tiba pusing begitu sekelebat ingatan menegangkan muncul menampakkan seekor ular besar masuk ke mulutku.
Aku terlonjak bangkit dan tubuhku begitu lemas.
"Yuki!" seorang gadis memanggilku. Saat kulihat ternyata Sakura. Dia beranjak dari kursi dekat jendela dan berjalan menghampiriku.
Aku melihat sekitar, di ruangan besar ini aku berbaring di ranjang kecil, selimut menutupi setengah tubuhku. Terdapat dua baris ranjang yang diatur rapi, dengan selimut berwarna putih kehijauan. Infus-infus tertanam di punggung tangan beberapa orang.
"Kau baik-baik saja?''Sakura duduk di samping ranjangku. ''Kenapa bengong begitu? Ah, kurasa kau perlu bantuan dokter. Tunggu, aku akan panggilkan seorang dokter kemari.''
Aku berpaling dan mencegat lengan Sakura dan dia duduk kembali.
"Tidak! Tidak perlu. Kurasa aku hanya sedikit terkejut. Omong-omong, kapan aku kemari?" Aku menggeleng, dan bertanya lagi, ''Maksudku, bagaimana aku keluar dari hutan itu? Aku mengalami sesuatu yang aneh di hutan itu. Kurasa, aku pingsan. Sakura, bagaimana kamu keluar dari sana?''
Sakura membuang napas panjang dan kedua pundaknya jatuh lesu. Tampak dia kelelahan. ''Baru bangun kamu sudah menghujaniku dengan pertanyaan,''katanya.
"Dari 30 menit yang lalu, aku bangun lebih dulu darimu. Ujian orientasi sudah berakhir 2 jam yang lalu. Sekarang pukul 5.00 sore.'' Sakura menoleh pada jam dinding tua di ujung ruang. ''Kita memiliki waktu istirahat selama satu jam. Jika merasa tak enak badan, jangan paksakan.''Di tangannya ad sebuah gantungan kunci yang sedang dimain-mainkan.
''Kunci?'' ucapku dalam hati.
"Kau berhasil mendapatkan kuncinya?" tanyaku terkejut.
"Kau juga kan?" Sakura bertanya balik. Wajahnya mendadak terkejut, "jangan-jangan tertinggal di hutan?"
Dengan perasaan heran aku berkata, ''Aku ... mendapatkannya? Kapan?''
Aku menoleh ke sekitar, pada kasur, di bawah bantal. Di kantong jaket jeans-ku. Tetapi semua nihil. "Kuncinya tidak ada!" ucapku, panik.
"Kau sudah menemukan kuncinya, 'kan?" Sakura kembali bertanya dengan nada meragukan.
Aku melotot padanya, sekilas bayangan kejadian terakhir muncul mendadak. Kilas bayangan itu memperlihatka wajah seorang pria yang tak begitu jelas. Kebingungan menghantam kepalaku menyebabkan pusing semakin menjadi-jadi.
"Argh, siapa yang membawaku kemari? Kurasa aku memimpikan seorang laki-laki." Aku menjambak rambut sambil berpikir keras.
"Ah, tunggu sebentar. Laki-laki? Mungkin laki-laki berkemeja putih tadi." Sakura mengelus-elus dagunya, keningnya mengerut seperti mengingat sosok laki-laki yang dia maksud.
"Aku terbangun karena ada yang mengatakan kau sudah punya kuncinya. Dan sempat kulihat pria tinggi keluar dari ruangan ini." Ketika menjelaskan, wajah sakura tampak serius sekali.
Tidak diragukan lagi. Dia pasti benar!
Aku meloncat turun dari ranjang seraya menarik selimut. Siapa tahu kunci itu berada di atas ranjang. Tetapi hanya selimut kotor karena tubuhku dan seragam yang dilipat rapi di ujung ranjang. Begitu pula di ranjang Sakura.
Sakura melotot melihat ke arahku.
Aku pun baru sadar, ada jas hitam panjang terikat kokoh di pinggulku. Yang sudah pasti bukan milikku.
"Ternyata benar, memang pria itu yang mengantarmu kemari." Tiba-tiba, Sakura menutupi hidungnya seraya melirikku dari bawah ke atas. "Apa yang terjadi denganmu di hutan itu? Dari semua yang kulihat, baru kau yang sangat berantakan."
Aku duduk kembali di tepi ranjang, sedikit mendekati Sakura. "Aku kencing!"
"Hah! Bukankah di sana ada .... "
TES! TES!
WAKTU ISTIRAHAT 30 MENIT LAGI. HARAP GUNAKAN DENGAN BAIK. PUKUL 06.30, MAHASISWA BARU HARUS BERKUMPUL DI HALAMAN DEPAN ASRAMA!"
Di tengah kami yang terdiam, terdengar derap pintu di belakangku. Kami berdua menoleh bersamaan. Dari pintu itu masuk seorang wanita tua berseragam putih. Dia menatap kami bergantian. "Kalian, bisa membersihkan diri. Di ujung ada kamar mandi gunakan selagi masih lenggang!"
Aku dan Sakura mengangguk tanpa bersuara.
Kami membawa seragam ganti yang disediakan ke dalam kamar mandi.
''Jadi sebenarnya aku lulus ujian orientasi apa belum? Kuncinya tidak ada padaku. Aku merasa tidak pernah menemukan kunci itu.''
''Aku juga penasaran tentang itu. Kau yakin tidak pernah memegang kunci asrama?'' Sakura tiba-tiba menyentuh kepalaku seperti mencari sesuatu.
''Eh, apa yang kau lakukan?'' tanyaku, bingung.
''Jangan-jangan kau cedera kepala?''
''Aku tidak merasa pernah jatuh atau terbentur sesuatu. Omong-omong, aku penasaran pada pria yang kau maksud itu. Mungkin aku dapat mengenalinya jika kau jelaskan ciri-cirinya.''
Aku melihat beberapa shower kemudian beralih menatap Sakura. Senyumnya seakan mengejekku atas pertanyaanku sendiri.
''Bukankah itu sesuatu yang wajar?'' tanyaku.
''Hanya sekilas, aku juga tidak tahu bagaimana wajahnya. Bisa jadi, kunci asrama milikmu ada padanya.''
Kukunci pintu kamar mandi, lalu menggantung pakaian ganti. Sakura sudah mengguyur tubuhnya dengan air shower.
Aku berdiri di sampingnya dan menyalakan shower.
Air hangat mengalir basah ke seluruh tubuh. Melunturkan kotoran hingga tampak air yang tercemar dari tubuhku melewati saluran pembuangan. Seluruh tubuhku seperti dipukuli dan ada amis serta lendir yang begitu mengganggu di mulut.
"Kau tidak membasahi rambutmu?" aku bertanya pada saat Sakura menggosok punggung.
Sakura menoleh. "kaulah yang seharusnya mencuci rambut sampai bersih!" Ia memercikkan air dari shower kemudian menyerangku dan melumuri rambutku dengan sebotol Shampoo.
Kami bermain-main sampai lelah. Suatu ketika ada yang mengetuk kamar mandi.
"Kapan kalian selesai. Kami juga ingin mandi!"
Suara seorang perempuan terdengar datar dan agaknya orang yang pemarah. Tak butuh waktu lama setelah diketuk, kami pun keluar dengan sudah berpakaian rapi dan handuk yang membungkus kepala nan basah.
Kemeja putih dibalut jas hitam dan rok hitam abu-abu bermotif garis. Begitulah seragam kami sekarang sampai 3 tahun yang akan datang. Aku berdiri di depan kaca, sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Rambutku cukup panjang dan kurasa akan mekar jika sudah kering. Sehingga kubiarkan saja agak basah agar terlihat rapi.
Dari kaca itu, aku memandang pada bayangan Sakura. Dia sedang tersenyum-senyum sambil menenteng kunci pintu yang telah diberi gantungan kunci.
Aku merasa agak kesal melihatnya pamer. Semoga ia tidak bercanda atau salah dengar soal kunci yang katanya aku sudah mendapatkan kunci asrama itu. Memikirkannya secara berulang-ulang menambah rasa sakit di kepalaku.
Aku akan menjadi gelandangan kalau tidak mendapatkan asrama di sini, padahal uang diposit sudah digunakan untuk membayar pendaftaran.
"Kau terlihat tidak bersemangat. Kau punya masalah?" tanya Sakura.
Aku tak menjawab, lelah mulut ini kalau setiap pertanyaan harus dijawab. Kubiarkan ia menatapku seperti berusaha membaca pikiran.
"Aku paham kau tidak mau cerita. Ayo keluar, perutmu pasti lapar."
Dia menarik tanganku untuk beranjak kemudian membawaku berlari kecil yang aku sendiri malas mengikutinya. Meski begitu, gaya tarik dari tangannya membuat aku juga berlari kecil.
Sampailah kami di ruang kantin yang memilik banyak sekali meja dan penghuninya. Ramai oleh peraduan alat makan dan pembicaraan pelan tapi terjadi hampir di setiap meja. Kedatangan kami mengundang banyak perhatian. Ketika Sakura berjalan aku hanya mengikutinya dari belakang. Kami memesan makanan dan duduk di depan meja dekat pintu masuk.
Sakura makan dengan lahap dan sedangkan aku, membuka mulut saja terasa berat sekali.
Dia tidak peka atau pura-pura tidak melihat? Sebab sejak tadi beberap meja yang diisi oleh mahasiswa lama terus mengarahkan mata kepada kami.
Terus menerus, mulut dan pandangan mereka bergerak serentak, dalam sekali tebak aku sudah tahu. Mereka sedang membicarakan kami.
Entah apa yang terjadi, tapi itu membuat aku terintimidasi. Hendak menelan makanan pun jadi susah.