Selesai makan, kami menuju ruang administrasi. Ruang itu berada paling depan tempat pertama kali kami masuk ke kampus ini. Para mahasiswa baru berdatangan, juga mengenakan seragam baru sepertiku. Aku dan Sakura melengos mengikuti para mahasiswa baru mengambil koper yang dititipkan pada petugas administrasi. Kemudian mereka membentuk barusan sambil menarik koper, menghadap meja administrasi yang dijaga lima pegawai muda yang kutebak adalah mahasiswa dari kampus ini juga.
Aku bersama Sakura masuk dalam barisan. Setelah itu, orang-orang menutup barisan kami. Kulihat mahasiswa paling depan membuka koper dan menyerahkan beberapa kertas pada petugas administrasi. Empat mahasiswa di paling depan sepertinya menyelesaikan urusannya. Dan keluar dari ruangan dengan wajah bahagia. Mungkin mereka ke asrama.
Aku berdiri bersama peserta yang lolos dalam ujian orientasi. Kunci dengan warna berbeda sedang dipamerankan pada satu sama lain. Cuma aku yang merasa momen ini begitu pahit. Dengan kekosongan di telapak tangan dan pertanyaan yang menyesakkan dada. ''Apakah aku lulus atau tidak?''
Pasalnya tidak ada kunci untuk membuktikan itu, sementara aku ikut beringsuk maju pada antrian panjang untuk menuju kehidupan baru yang kuidam-idamkan.
Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan dengan saksama kalau ternyata jumlah peserta sedikit berkurang dari sebelumnya. Apakah beberapa peserta gugur dalam ujian? Lalu, bagaimana denganku?''
Cemas ketika barisan bergerak maju. Aku didorong oleh orang di belakang. Sedikit tersentak tetapi aku ikut maju.
''Sakura!'' panggilku padanya. Dia menoleh dan mengangkat kening seperti bertanya.
''Kau yakin ... tidak salah dengar soal pria di ruang istirahat?''
Terlihat kerutan di keningnya, makin membuat aku ragu.
''Sepertinya ... memang aku mendengarnya.''
Akankah nasib malam ini membuatku tidur di luar kampus atau bagaimana?
Para peserta di depan kami telah menyelesaikan urusannya dengan petugas administrasi. Kini giliran Sakura. Dia berjongkok dan membuka koper lalu menyusun berkas-berkas.
''Bukankah berkas sudah diserahkan ke pihak panitia orientasi, tadi pagi? Berkas apa lagi yang mereka minta?'' aku bertanya.
"Tolong perlihatkan berkas pendaftaran sebelum masuk ke asrama!" kata seorang petugas administrasi kepada Sakura. Dia menatap kami sambil menumpu siku di meja utama.
Sakura tidak menjawab pertanyaanku. Dia sibuk membolak-balikkan kertas, meletakkan dua berkas secara terpisah salah satu berkas itu terdapat namanya dan sebuah barcode.
Barcode itu mengusikku. Mengingatkanku pada mimpi buruk sebelum kejadian bunuh diri Takesi Yuno. Dalam mimpi itu aku mendapatkan ... mungkin aku mendapatkan paket dari jasa kurir sebelum aku tidur. Malam itu memang ada kertas yang tertulis namaku dan barcode pada paket itu. Namun, seingatku, kutinggalkan di flat lantaran kuanggap itu hanya kerjaan orang iseng.
Sakura menyerahkan berkas miliknya. Petugas administrasi bekerja cepat memilah berkas milik Sakura dan melakukan scan pada barcode-nya. Baru setelah itu si petugas mempersilakan Sakura untuk meninggalkan antrian.
''Yuki, aku menunggumu di asrama.'' Sakura menepuk pundakku sebelum meninggalkan ruangan.
Aku bergerak maju dua langkah dan memasang wajah memelas dan berkata, ''Kurasa berkasnya kutinggalkan di flat-ku. Bolehkah aku mengambilnya sebentar?"
"Apa yang kau bicarakan? Bukankah itu berkasnya?" Tunjuk petugas administrasi.
''Oh! Kapan aku memilikinya?'' Aku terkejut mendapati lima berkas yang terdiri dari kertas bertulis namaku dan barcode serta tiga kertas kosong sedang kupegang di tangan kiri.
Kepala berdenyut pusing mereka-reka apa yang kulakukan tapi tidak kuingat sama sekali.
''Kapan aku memegang ini? Apa tadi ada di dalam koper?''
''Antriannya masih panjang, cepatlah sedikit!'' ucap pria di meja utama.
Satu kertas kosong terdapat bercak darah yang tak sengaja tumpah ketika telunjukku terluka pada malam itu. Hendak kubuang satu kertas kotor itu, tetapi pria itu mengambil semuanya.
''Maaf berkasnya kotor.''
Pria itu mengangguk-angguk sembari fokus mengecek setiap berkas kosong.
"Ouh! Jadi kau yang bernama Ran Yuki? Senang bertemu denganmu." Pria itu mengacunkan tangannya meminta bersalaman.
''Ah, ya.''Aku menyambut tangannya.
Para petugas yang awalnya biasa-biasa saja, mendadak menjabat tanganku secara bergantian. Pandangan mereka pun berubah, lebih seperti merendahkan aku. Ada bisik-bisik kecil yang sekelebat terlihat olehku. Ada pula perasaan yang tampaknya berusaha ditahan di depanku.
"Boleh aku bertanya?" kataku pada si petugas pria.
"Ouh tentu saja. Ada yang bisa kubantu?"
"Bagaimana aku bisa mengetahui hasil ujian orientasi? Aku tidak punya kunci. Apakah aku tidak akan tinggal di asrama??" Aku bertanya dengan sedikit terbata-bata.
"Jadi kau mengkhawatirkan itu, hahaha. Kau sudah dikonfirmasi mendapatkan kunci silver. Apa Neil tidak memberikannya padamu?"
"Niel? Siapa?" tanyaku lagi.
"Dia pembimbingmu. Setiap mahasiswa baru akan memilik satu mentor selama 1 tahun. Antrian sudah mulai sesak, kau bisa ke asrama dan menunggunya.''
Hati terasa senang mendengar ucapan pria itu. Aku pun leluasa berjalan melewati barisan peserta lain. Meski pikiranku masih carut marut terhadap keanehan beberapa saat tadi.
Langit sudah tidak terang lagi, lampu-lampu telah dinyalakan. Kulihat di sekitar bangunan utama, beberapa mahasiswa senior memasuki gedung departemen lain. Seragam mahasiswa rupanya memiliki dua jenis, ada yang hanya berupa jas hitam dipadukan kemeja putih dan yang lebih mencolok, kaus berkerah dipadukan mantel panjang hitam.
Hanya dengan memperhatikan perbedaan itu, tampaknya ada level diantara mereka. Aku menghirup udara dengan leluasa sekaligus melepaskan kekhawatiran soal kunci asrama. Ini akan menjadi malam pertama aku tinggal di asrama kampus.
Suara tawa terdengar dari belakang dan melewatiku. Para peserta berlarian menuju asrama.
Hebat sekali, mereka bisa berlari seperti itu dalam kondisi lelah selepas orientasi. Sekadar berjalan saja sudah cukup melelahkan.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya asrama itu kutemukan. Aku takjub sekaligus kagum. Di lingkungan asrama, ada taman yang dibelah oleh jalan kecil. Di atasnya terdapat bunga-bunga ungu menjuntai. Adapun di halaman depan, terdapat tiga pohon sakura dan belum berbunga. Pasti sangat indah ketika massanya tiba.
Gedung asrama bertingkat, kurang lebih tingginya 30 meter. Banyak sekali jendela menghiasi bangunan bercat putih ini. Aku berhenti dan mendongak, fokus pada jendela yang sangat banyak. Kuperkirakan mencapai 100 jendela.
Memancar keluar cahaya dari jendela di lantai paling tinggi. Katanya asrama ini pakai sistem level. Lantas apa level terendah berada di lantai paling tinggi? Jika demikian, pasti melelahkan harus turun naik dengan ketinggian gila ini.
''Kunci silver ... aku akan berada di lantai berapa ya?''
''Yuki!''
Sakura memanggilku dari teras asrama. Aku tersenyum dan mendekatinya. Pintu utama asrama terbuat dari kaca besar, tata letaknya seperti apartemen. Dari luar bisa melihat meja informasi yang kosong. Bagian dalamnya ada ruang tamu, dan ternyata juga ada fasilitas lift. Para peserta memenuhi teras asrama. Mereka sibuk mengembangkan pembicaraan.
''Bagaimana, sudah mendapatkan kuncimu?'' tanya Sakura.
Aku mendengus dan ikut duduk di sampingnya, mengabaik percakapan peserta lain.
''Dia bilang aku harus menunggu di sini. Orang yang bernama Niel itu akan memberikannya padaku. Untunglah kabar itu kudengar dari mulut petugas itu, sekarang jadi lega.''
''Niel?'' ulang Sakura. Tatapannya seolah menginginkan penjelasan lebih soal nama itu.
Aku lebih penasaran ketimbang dia. Terlebih ada sepintas ingatan tentang seorang pria sebelum aku pingsan. Apakah pria itu orang yang dilihat Sakura di ruang istirahat?