Aku langsung panik melihat senyum kecil terpasang di ujung bibirnya. Dia melepas kancing baju dengan sebelah tangan, lalu membuka setengah tubuhnya. Memperlihatkan otot dada dan perut yang kokoh.
Celaka! Orang ini tak mendengarkan ucapanku.
"Kau ... Kau punya tubuh yang seksi. Ya ... aku menyukainya. Tapi," aku bangkit duduk dan punggung membentur dinding kayu. Mataku membulat berposisi tepat di depan celananya yang ketat.
[ Sebuah tonjolan aneh. ] Otakku berucap spontan. Aku membuang muka sambil mengigit bibir, tegang.
Aku mengepalkan tangan saat jantungku mulai berlomba. Darahku berdesir dan seluruh tubuh terasa panas, sensasi itu menstimulasi air liurku, sehingga harus kutelan.
Aku berpaling memilih menatap lantai kayu. Jatuh baju kemejanya di lantai itu. Jantungku berdisko dengan sangat meriah.
Aku menjulurkan kedua tangan, rasa geli muncul saat menyentuh dadanya.
"Kurasa ini tidak benar. Menjauhlah! Jangan apa-apa kan aku! Asal kau tau saja, keperawanan seorang gadis tak bisa digantikan. Aku menyimpannya untuk pria masa depanku!"
Embusan angin menerpa begitu bebas. Saat kubuka mata, aku duduk di antara dua pohon di tengah hutan.
Kesana kemari aku menoleh, pria itu ... tidak, bahkan gubuk tua lenyap dengan ajaibnya.
Aku menunduk dengan lepas, melepaskan ketegangan yang beberapa saat lalu menimbulkan sensasi aneh yang menantang.
"Sungguh gila, erotis sekali halusinasi ku! Hutan ini memang tak salah lagi, menciptakan halusinasi begitu kuatnya."
Sambil memijit kaki, aku melirik hutan sekitar. Sejauh mata memandang hanya bayang-bayang pohon di balik kabut tebal.
Kemanakah semua orang? Aku tidak melihat satu pun dari mereka. Apa jangan-jangan semuanya berhasil menemukan kunci asrama dan sedang berleha-leha di kamar baru mereka? Apa aku kehabisan waktu gara-gara halusinasi bodoh itu? Ah ... gawat!
Para panitia tidak melupakan keberadaanku, kan?
Daun-daun berjatuhan rontok dari ranting-rantingnya. Jatuh menerpa wajah hingga kaki. Rupanya hanya pohon yang kusandari ini saja yang sedang berguguran daunnya. Mungkin sudah cukup tua.
Aku menengadah dan samar-samar melihat seseorang berbaju hitam, duduk di atas ranting paling besar.
Aku berdiri dan masih menengadah, Tetapi ... entahlah kurasa aku mulai berhalusinasi lagi.
Setelah menyaksikan keanehan itu, tak buang waktu lagi, aku memutuskan untuk memulai pencarian lagi. Pada suatu ketika aku berjejak pada jalan setapak yang membelah hutan, aku menatap ke depan. Muncul perasaan sedang diawasi yang begitu kentara.
Pada arah kiri, sosok serba hitam berdiri di tengah jalan. Bola mataku beralih lagi, menoleh pada sebelah kanan jalan, ada satu lagi sedang berdiri sambil menghadap jalan dan sedang melihat kearah ku. Kemudian diiringi kemunculan beberapa lainnya di balik beberapa pohon dan semak-semak.
Entah makhluk apa itu, tetapi mereka mengelilingiku.
Aroma hutan berubah amis, dan pengap. Aku merinding. Mereka sangat menyeramkan.
Kakiku bergerak selangkah dan spontan mereka terbang kearahku. Aku berbalik dan berlari. Tanpa memelankan tungkaiku, aku menoleh. Mereka terbang mengelilingiku dalam jarak satu meter.
Mata menyala dan tubuh hitam seperti kain tanpa badan yang bebas berkibas. Salah satunya membuka mulut. Perlahan mulut hitam itu makin lebar. Lebarnya kali ini sungguh tidak masuk akal. Yang satu ini berada tepat di atas kepalaku.
Jantungku berdebar, dingin merayap sampai ke tulang.
"Aaaaakkkkhhh!!!" Aku berteriak amat lantang. Menghabiskan seluruh kemampuan suaraku. Begitu membuka mata semuanya telah hilang.
Teoriku masih sama, aku sedang berhalusinasi yang teramat dalam.
Jantungku berdetak dengan tempo yang mulai kacau, menciptakan sensasi panas dingin. Tak pandang apapun lagi, masa bodoh dengan kunci itu, lebih baik menyelamatkan diri dari hutan ini.
Aku berlari sambil melirik sekitar. Bak gerombolan zombi yang kelaparan ingin mengoyak daging dan memakan otak, mereka berlari di udara menuju targetnya, yaitu aku.
Tubuh mereka seperti bayangan bahkan mampu berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain.
Sudah tak dapat lagi kugambarkan kerja jantung ini. Mungkin akan meledak melihat keanehan pada mereka. Bulu roma tak henti-hentinya berdiri hingga akar rambut di ubun-ubunku.
"Ujian gila macam apa ini? Aku muak!" akhirnya aku berteriak lagi.
Aku jadi teringat peringatan dari seorang senior, bahwa:
''Jangan melamun kalau sudah di dalam! Jangan menghampiri orang lain! Kalau mencium tanda bahaya, berlari!"
Jadi ini alasannya kenapa harus lari. Sampai kapan aku harus lari?
Otakku yang shock ini kembali menampilkan bagaimana salah seorang dari wujud hitam, membuka mulut dan mulutnya begitu lebar hendak menelan seluruh tubuhku. Ini bukan halusinasi biasa. Aku bisa gila.
Tak ada habisnya kalau kuambil jalan lurus terus-menerus. Aku mulai mengambil jalan secara acak. Menembus semak-semak, menjauh dari jalan setapak yang selalu kugunakan. Inilah sebabnya suara-suara teriakan yang sempat kudengar. Mahasiswa baru yang lain mungkin mengalami hal yang sama denganku.
Tak cukup tenaga, akhirnya aku berhenti, entah apa yang akan terjadi aku akan hadapi.
Sudah cukup jauh aku melebarkan langkah, kemungkinan mereka tak akan bisa mengejar. Luar biasa kututurkan pujian kepada sepatu ini, lariku jadi begitu cepat.
Napas yang hampir habis, aku butuh istirahat.
Aku beristirahat di balik pohon besar, dan beberapa kali mengintip ke atas pohon dan ke belakang. Kalau-kalau makhluk tadi muncul.
Cukup lama di sana, aku berpikir untuk menemukan yang lain dan bertanya barang kali menemukan cara keluar dari hitam ini.
Suatu ketika, di balik kabut terselubung tubuh seseorang. Yang tampak oleh mataku, samar-samar sedang duduk di tanah. Lututnya terlipat dan suaranya seperti hendak memuntahkan sesuatu.
Karena menemukan keberadaan orang lain, hatipun lega dan jantung kembali normal.
Punggung seorang pria. Tubuhnya bungkuk dan tak stabil. Orang itu menumpu kedua tangan di tanah dan hendak muntah lagi.
Aku mendekatinya. "Hei, kamu kenapa?"
"Kamu perlu bantuan?" tanyaku lagi.
"Kemari!" Suara orang itu terdengar serak.
Begitu telah dekat, punggungnya ku pukul-pukul pelan tanpa menimbulkan rasa sakit.
Lagi-lagi dia muntah, air liurnya menetes di rerumputan.
Mendadak, ia menahan tanganku ketika hendak kupukul lagi.
Wajah itu seram sekali, matanya hitam memandangku, dan wajahnya teramat pucat. Aku meronta mencoba melepaskan cengkraman tangannya.
Kupukul-pukul tubuhnya, namun cengkeramannya tak longgar sedikit pun.
Mulutnya terbuka perlahan-lahan makin besar. Dan keluar seekor ular yang langsung berpindah ke mulutku. Tangan pria itu pun terlepas. Tubuhnya jatuh tak sadarkan diri.
Tekanan kuat ketika ular masuk membuat aku terhuyung ke belakang. Tubuh gemetaran, jijik dan mual saat tubuh ular yang penuh lendir memasuki kerongkonganku. Aku jatuh tersungkur, basah pipi ini kejatuhan air mata.
Ular itu hampir seluruhnya masuk, tetapi dengan kekuatan yang tersisa, kupegang ekornya lalu menariknya. Berkali-kali aku muntah meski tubuh ular itu belum keluar.
Seluruh isi perut terasa hendak meledak. Kutarik lagi tubuh ular itu. Karena tak tahan dengan jijiknya lendir yang berada di mulut. Kugigit kuat-kuat hingga tubuh ular terpotong jadi dua. Setengahnya jatuh ke tanah. Dan setengahnya meluncur bebas ke dalam perutku.
''Halusinasi ini ... akan membunuhku!''
Ketika itu, mataku mulai berkunang-kunang dan langkahku tak stabil. Beberapa saat berjalan, aku pun jatuh. Namun tak jatuh ke tanah. Samar-samar kulihat seorang pria berambut hitam legam tersenyum padaku. Dia menahan tubuhku dengan melingkarkan lengannya. Angin nan berembus di sekitar, mengantarkan aroma tubuhnya yang tak asing. Aroma bunga Higanbama yang sangat wangi.
"Siapa?" Suaraku terdengar kecil di telingaku sendiri.
"Yukiteru Niel!"
Begitulah terdengar, meski tak begitu jelas. Dia memiliki namaku di dalam namanya-Yuki.
"Bertahanlah sedikit lagi. Kalau tidak, kau akan diminta mengulang ujian ini besok hari."
Luar biasa kaget. Aku masih dalam pelukannya mendadak berkeras hati menolak diri sendiri untuk tidak sadarkan diri.
Kemudian tanpa aba-aba dia memukul punggungku kuat sekali. Sehingga aku pun tersedak. Tangannya menadah di depan wajahku. Keluar kepingan dingin berbentuk kunci silver beserta darah dari mulutku. Kunci itu tertulis namaku, Ran Yuki.
"Selamat! Kau berhasil!"
Mata mulai berat, wajahnya tak dapat kutembus. Dia tak dapat kuraba. Dan hitam legam menghantam penglihatanku.