Aku mendesah, duduk di bawah sebuah pohon. Mengilas permukaan tanah yang agak lembek, sepatu baruku menjadi kotor. Di sekitarku tercium aroma tanah, rumput dan sesuatu yang lain. Yang misterus, seperti wangi parfum tetapi bercampur dengan bau pembakaran. Sejak aku memasuki hutan ini, kabut tipis selalu membayangi dari atas sehingga hanya setengah dahan pohon yang terlihat. Langit bahkan tak tampak, cahaya matahari benar-benar tersembunyi.
Aku tertawa kecil membayangkan betapa keras perjuangan para senior membuat suasana hutan tampak menyeramkan. Di suatu tempat mereka pasti membakar sesuatu dan menyemprotkan asap ke setiap bagian hutan.
Aku masih terasa lelah setelah berjalan untuk waktu yang lama. Sejak tadi yang kutemukan hanya semak-semak yang membuat bajuku robek, compang-camping. Ah, padahal ini dres yang sangat berharga.
Mas Yushimaru pasti tertawa heboh kalau melihat penampilanku saat ini. Deodoran yang tadi pagi menyegarkan ketiak, kini tak mempan menyembunyikan bau keringatku.
Mencari 1 kunci dari 200 di seluruh bagian hutan, bukan perkara mudah. Kupikir mereka akan menyembunyikan kunci di semak-semak atau menggantungnya di atas pohon, ternyata semua itu luput dari prediksiku. Waktu sudah berjalan berapa lama, aku pun tidak tahu.
Aku terus kepikiran pada beberapa saat sebelum aku kemari. Beberapa kali terdengar teriakan orang yang membuat bulu kudukku langsung berdiri. Teriakannya terdengar bergema dan bercampur dengan suara besar yang aneh .
Sebelum masuk dari pintu, aku juga sempat mendengar pembicaraan peserta lain. Katanya, ada hutan berkabut yang bisa memutar balikkan antara ketakutan dan hal sebenarnya. Sehingga menyebabkan orang di dalamnya mengalami hal di luar akal sehat.
Kurasa, aku sudah terkena halusinasi itu. Apakah mereka menguji mahasiswa baru dengan semacam hipnotis? Ya, mungkin saja.
Apakah hutan ini benar-benar ada di Jepang? Untuk 100 orang yang berkeliaran, tidak bertemu satu sama lain, itu berarti hutan ini luas sekali. Dari tadi cuacanya mendung tapi tak kunjung hujan.
Omong-omong, kalau mau buang air, aku harus kemana? Mereka tidak mengatakan di mana toiletnya. Juga tidak ada poster peraturan untuk orientasi ini.
Keringat merayap di pipi, kuseka dengan punggung tangan. Helaian rambut kecil mulai lengket di dahiku.
Ah, sialan. Setelah kusebut, malah benar-benar ingin buang air.
Aku tak bisa berlama-lama bersantai. Peserta lain mungkin sudah menemukan kunci kamar asrama dan sedang berleha-leha di suatu tempat. Kalau tidak cepat, bisa jadi aku akan kehabisan waktu.
Kaki melangkah lagi, menjejaki hamparan tanah yang diselimuti rumput liar. Melihat sepatu baru ini, seketika teringat perkataan Sakura kalau sepatu ini bisa mempercepat lari. Apa dia mencari kunci sambil berlari? Kemampuan penglihatannya pasti luar biasa.
Tidak tahu berapa lama orientasi ini akan berakhir. Mungkin aku tak dapat kerja. Kuharap mas Yushimaru mengatakan kesibukanku agar mereka bisa memakluminya.
''Mas Yushimaru ...'' setiap kali mengingat wajahnya, aku tak sanggup kalau tak tersenyum. Pacarnya pasti bahagia sekali mendapatkan mas Yushimaru. Selama ini, mas Yushimaru jarang sekali terlihat murung, hubungan mereka pasti sangat baik.
Rasa lelahku sedikit berkurang, topik tentang mas Yushimaru selalu membuat suasana hati jadi lebih baik. Apa pun tentang mas Yushimaru, semuanya menyenangkan untuk dibahas.
Selain otot-otot kaki yang lesu, bibirku terasa lebih tebal dan panas akibat kugigit dan kupijat sejak tadi. Rasa gatalnya tak kunjung reda, bahkan lebih gatal dari pagi tadi. Sungguh mengganggu! Selesai orientasi, ke dokter mungkin lebih baik. Siapa tahu, Hiro menularkan penyakit aneh padaku.
Perhatianku teralih pada sebuah gubuk kecil dari kayu berada cukup jauh. Kebetulan, aku ingin sekali pipis. Bergegas kakiku meluncur ke sana.
Pertama-tama kuketuk pintu gubuk.
TOK! TOK! TOK!
Kesunyian yang terasa di dalam, menarikku untuk mengetuk lagi. Setelah itu tak ada tanggapan sama sekali.
''Ah, ini mungkin toiletnya.'' Aku menduga-duga.
Kutarik kenop pintu yang berkarat, pintu pun terbuka. Sekilas terlihat kain-kain putih, namun aku berbalik menutup pintu. Dari dalam, rupanya tak ada kunci untuk menahan pintu itu.
''Bagaimana jika ada mahasiswa lain masuk kemari saat aku buang air. Ah, bikin resah saja.'' pintu ini harus kutahan dengan kursi.
Aku berbalik, ruang tengah cukup besar. Di depanku, tersusun kursi dan meja yang ditutup kain putih. Sepertinya rumah yang habis ditinggalkan untuk waktu lama.
Seketika itu hinggap rasa tak wajar dalam benakku. Aku menatap ke setiap sudut dan dan langit-langitnya.
''Bagaimana bisa gubuk yang terlihat kecil dari luar, menjadi sebesar ini bagian dalamnya?''
Ruangannya tidak hangat, itu berarti tidak ada orang.
Pelan-pelan aku berjalan menuju ruang di ujung, terdapat sebuah kamar. Ada dipan yang besar dihiasi kelambu tilei berenda keemasan. Diikat dengan ranting berbunga yang sengaja dirangkai dan ... itu sangat cantik. Di dalam kamar, kutemukan pintu toilet. Untuk kali terakhir, kulihat keadaan sebelum masuk.
Aku mendesah lega. Acara buang air pun lancar. Begitu keluar, betapa terkejutnya aku melihat seorang pria rupawan duduk termenung di atas dipan.
Segera aku membungkuk. ''Maafkan aku, kupikir rumah ini kosong. Maaf juga, aku menggunakan toilet tanpa meminta izin,'' ucapku dengan gugup.
Pria itu masih terdiam, suara napas yang keluar dari mulut dapat kudengar. Dia masih sendu menatap lantai kayu.
Apa dia marah padaku?
Aku tersentak melihat dia bergerak. Pria itu moleh memandang ke luar jendela. Pakaiannya kemeja putih tranparan dan celana dalam ketat yang memperlihatkan lekuk ototnya nan menonjol.
Seragamnya tanpa atribut, dia bukan dari tim pelaksana. Mungkin kah senior ...?
Aku menoleh ke seluruh ruangan yang terlihat. Jangan-jangan mereka coba mengujiku? Tidak ada kamera yang menunjukkan hal itu. Atau mungkin, memang dia pemilik rumah gubuk ini.
Terlalu banyak dugaan yang memenuhi pikiranku. Dan tak ada satu pun dugaan itu yang cukup kuat untuk memastikan situasi ini.
Sendu sekali wajahnya, membuat aku ingin menghiburnya. Seperti dia sedang memiliki beban hidup yang berat.
"Apa kamu melihat sesuatu di luar?" Aku bertanya lalu duduk di belakangnya, mataku mengikuti arah pandangnya. Tetapi di luar tak ada hal yang menarik kecuali, kabut tipis menyelubungi hutan.
Dia menoleh padaku. "Tampan sekali!" Lolos tanpa sadar, pujianku kepadanya.
Hal itu membuat dia tertawa hingga tampak gigi depannya. Semakin menawan ketika tersenyum begitu. Heran, universitas ini memiliki banyak mahasiswa tampan.
Pria itu berdiri dengan kedua lutut di atas dipan. Aku menengadah menatapnya.
Tingginya mendominasiku. Kemudian dia mendekat, menunduk. Mata kami saling melawan. Aku bergeser menyisih. Tiba-tiba dia menarik pinggangku dengan tangannya nan kuat. Memindahkan aku ke tengah dipan.
Aku terperangah, begitu pula napasku. Baru berpikir hendak beranjak, pria itu mendorong pundakku hingga berbaring pada bantal nan empuk.
Apa yang mau dia lakukan? Jangan-jangan ...,
''Ini posisi yang berbahaya. Aku tahu aku salah. Maaf atas kelancanganku.'' Aku berusaha keluar dari posisi kami. Lengannya yang menahan pundak kananku, kudorong kuat-kuat.
''Kumohon maafkan aku!''