Chereads / White Love In The Dark Sky / Chapter 7 - REVISI: Mi Cup Legendaris

Chapter 7 - REVISI: Mi Cup Legendaris

Hujan deras mengguyur area pasar sunyi. Sunyi, karena tak ada satu pun orang selain aku dan pria serba putih ini. Hujan berlangsung kurang lebih 15 menit yang lalu. Petir menyambar, guntur bergemuruh dari berbagai arah, terkadang membuat aku bergidik.

Dari kecelakaan tak disengaja yang kusebabkan. Tak sampai hati kalau harus meninggalkan pria yang mungkin namanya benar tercetak di payung merah itu. Seharusnya aku tidak emosi dan mendorongnya. Omong-omong, aku hanya mendorong saja, mengapa dia sampai jatuh pingsan begini?

Ichinose Hirotada. Nama itu terlalu bagus untuk orang kasar dan beringas seperti dia. Kalau itu payungnya, berarti yang tadi kulihat ...?

Aku teringat dua pria saling kejar-kejaran di atap bangunan dekat lampu lalu lintas. Namun, dua orang itu tidak berambut putih.

Aku berjongkok menatap wajah pria itu. Dia tergeletak dengan seluruh luka-luka di wajahnya.

Begitu asing dengan rambut putih dan wajah pucat. Mungkin sedang mengikuti cara Cosplay Club di suatu tempat.

Kupegang kedua tangannya, dan menariknya ke punggungku dengan susah payah. Bukan main, dia berat sekali.

Disaat-saat seperti ini, ponselku sedang rusak. Andai saja ada, setidaknya bisa menelepon bantuan untuk kemari. Terpaksa, aku harus membawa pria ini ke toko yang masih buka di dekat sini.

Aku menggendongnya dan berjalan dengan tubuh sedikit bungkuk. Payung merah yang tergeletak di aspal, kuraih dengan tangan meski hampir terjungkal.

Payung itu kututup kemudian berjalan tertatih-tatih. Untuk menahan bobot tubuhnya, sepanjang jalan aku mengalihfungsikan payung sebagai tongkat.

"Aku tidak mau berlama-lama terjebak pada situasi seperti ini. Cepat bangun, brengsek!"

Guntur bergemuruh lagi seolah-olah murka, sinar petirnya memancar silau di permukaan genangan air. Hujan yang tak teduh semakin menambah bobot pria ini.

Beberapa menit aku berjalan sudah seperti bertahun-tahun lamanya. Punggung serta kakiku penat dan dadaku sesak. Sehingga bernapas pun susah sekali.

"Semakin lama, berat tubuhnya makin bertambah. Apa ini hukuman dari dewa untukku? Arhhh... SIALAN!" aku berucap nyaring dengan penuh emosi.

Dengan kekuatan tersisa aku meluruskan badan selurus-lurusnya. Pria itu jatuh dari punggungku.

"Sudah jatuh begini, tak sadar juga. Dasar!" Napas keluar masuk dengan cepat dan bebas, dadaku kembang kempis.

"Huuaaaahh!!! Biarkan ... Aku memijat .... punggungku." Aku duduk di trotoar sambil meringis. Lalu memperhatikan pria itu.

Wajahnya putih bersih, tetes-tetes hujan deras menghantam sekujur tubuhnya, menyingkirkan poni dan membuat rambut putih itu menyatu.

"Dari mana asal pria ini? Kenapa berkeliaran dengan wajah babak belur? Dilihat dari wajahnya, ia mungkin seumuran denganku."

"Kalau terlalu lama di sini, bisa-bisa ketinggalan bus." Aku beranjak, menarik tangannya dan menyeretnya sambil berjalan. Punggungnya terseret di aspal hingga mengacaukan genangan air.

Lagi pula tidak ada yang lihat. Aku sudah kelelahan setengah mati karena menggendongnya. Kupikir ini sudah cukup setimpal dengan apa yang telah kuperbuat.

Setelah cukup jauh, aku berhenti. "Dari tadi dia tidak sadar. Dia tidak mati, 'kan?"

Tangannya kujatuhkan. Aku mendekat dan memeriksa detak jantungnya. Setelah mendengar benda kecil itu, aku tersenyum lega. Dia masih hidup.

Sinar terang di toko paling ujung menjadi satu-satunya harapanku untuk meminta bantuan. Kutinggalkan dia dan aku berlari ke toko itu.

"Akhirnya aku menemukan makanan!!!" teriakku, girang.

Aku berlari bermaksud hendak meminta pertolongan orang di toko, tetapi begitu sampai di depan, aku tak melihat satu pun orang.

"Ah, sudah lah! Yang penting di dalam banyak makanan."

Aku kembali berlari dan menghampiri pria berambut putih ini. Dia kunaikkan ke punggungku dan seperti semula, berjalan dengan membawa paksa beban berat yang jauh bandingannya dengan berat badanku.

Begitu sampai di depan pintu toko, seorang kasir bergegas menghampiri dan membantu menarik pintu kaca.

"Kenapa lama sekali. Sebagai karyawan, seharusnya ... kau ... tetap berada ... di tempatmu," aku mengomelinya.

Tak sampai dua langkah aku tersungkur ke dalam took. Pria berambut putih itu terguling di sampingku.

Aku bernapas dengan cepat dan terkesan kayak orang lagi asma. Petugas kasir tampak panik melihat kami berdua.

"Kupikir, toko ini l tidak ada yang jaga. Kemana saja kau?" tanyaku pada si kasir.

Si kasir mendekat dan membantuku duduk. "Maaf, tadi aku ke toilet. Kalian ini dari mana? Apa yang terjadi dengannya?"

Aku mengabaikan pertanyaannya. Malas kalau harus menjelaskan secara detail. Aku meminta si petugas kasir membaringkan pria berambut putih itu di kursi.

Napas sudah mulai stabil. Si kasir memberiku secangkir teh hangat, cangkir itu diletakkannya di meja.

Kepulan asapnya menari, menggodaku untuk segera minum. Meski memakai jas hujan, air hujan masih menyusup di sela-sela dan membuat aku agak basah.

Jas hujan kuning ini kulepas dan kuletakkan di luar toko. Angin membawa tetesan hujan hingga ke dalam teras toko. Dingin sekali cuacanya karena hujan yang tak kunjung reda. Aku segera kembali ke dalam.

Gara-gara rebutan payung tadi, air masuk ke lengan jas hujan dan membuat seragam yang kupakai jadi basah.

Kulepas baju seragam dan meletakkannya di tepi kursi. Di tubuhku, kini hanya menyisakan kaus hitam ketat.

Mataku beralih pada kotak p3k di atas meja kasir.

Kuambil kotak itu dan berjongkok di depan wajah Hirotada. Kusingkirkan poninya yang berantakan dan kukeringkan wajahnya dengan tisu.

Dari arah belakang, si kasir datang dan menghampiriku. Dia memintaku memakai seragam tokonya agar aku tidak masuk angin. Baik sekali ternyata.

Dengan senang hati, kupakai saat itu juga. Lumaian, lebih hangat.

Aku kembali mengeringkan wajah pria pucat ini. Plaster luka kutempelkan di hidung dan beberapa di rahangnya yang cukup tegas. Kalau dilihat lebih dekat, dia pria yang tampan. Wajahnya mulai berseri. Bibirnya yang semula pucat kini agak berwarna merah padam. Bulu matanya tebal dan garis hidungnya bagus.

Tipikal orang kaya raya. Mungkin anak konglomerat.

"Sudah saatnya kau bangun. Oi! Jangan membuat aku merasa bersalah! Kalau saja, kau tidak bersikap kasar lebih dulu, mungkin aku tidak akan mendorongmu." Aku menekan-nekan pipinya.

Aku tersentak hingga jantungku berdebar. Dia tiba-tiba membuka mata, menatapku. Mata birunya berkedip-kedip.

"Apa yang kau lihat?" Dia bertanya datar.

Aku lekas berpaling lalu meninggalkannya. Dengan perasaan risih duduk mendekati secangkir teh hangat di meja. "Apa dia mendengar yang kukatakan tadi?"

Diam-diam aku melirik pria itu. Dia masih duduk sambil menyentuh kepala. Begitu wajahnya bergerak ke arahku, aku membuang muka.

Rasa lapar mulai terasa, aku beranjak dan mengambil mi cup jumbo pedas dan berjalan ke arah kasir, mengisinya dengan air panas lalu menyerahkan uang.

"Kalian terlihat tidak rukun."

Aku menggelengkan kepala, "Kami baru saja bertemu 30 menit yang lalu. Aku tidak mengenalnya, hanya saja tadi terlibat sedikit kesalahpahaman."

Si kasir mengangguk mengerti, dia menyerahkan uangku dan pergi duduk di depan laptop.

Aku berjalan melewati rak-rak barang untuk menghindari tatapan pria serba putih itu. Sejak tadi aku tak sengaja memergokinya sedang memperhatikan gerak-gerikku. Matanya menatap tajam yang membuat aku serba risih.

Aku berbeluk, kemudian duduk di depan meja. Selagi menunggu mi masak, teh hangat kuminum perlahan-lahan. Aroma teh wangi menengkan dan uapnya menghangatkan wajah. Aku menatap lurus, memperhatikan jalan yang basah dan hujan yang makin deras.

Suara di meja menarik perhatianku. Dia duduk di sampingku dan meletakkan mi cup beserta sebotol minuman.

Tanpa bersua, dia memulai pembicaraan, "Tak perlu takut. Aku yang seharusnya bersikap begitu, Nona."

"Bagaimana rasanya memukul pemilik barang yang kau pakai?" Dia bertanya lagi dan masih belum melawan tatapanku.

"Soal itu. Aku minta maaf. Tolong maafkan aku karena tidak sopan." Aku membungkuk padanya. "Payung itu kutemukan melayang di tengah jalan raya. Dari pada membuat para pengguna jalan dalam bahaya, aku mengambilnya."

Responnya tetap sama. Dia memakan mi cup tanpa bilang apa-apa. Mungkin bukan saatnya minta maaf, aku berbalik dan memakan mi cup-ku.

Sambil makan aku meliriknya. Matanya tertutup oleh poni nan panjang. Sungguh aku penasaran dengan perangai orang ini. Apa dia dengan wajah datar begitu, sedang marah padaku atau dia sudah memaafkan aku? Kalau didiamkan begini, aku yang tidak tenang.

Kami makan dengan keheningan yang membuat atmosfer di toko ini jadi lebih dingin bagiku. Aku jadi tidak enak mengenai memukul kepalanya sampai dia pingsan dan bahkan aku merebut payung itu. Hari ini aku banyak melakukan kesalahan.

[ Harus bagaimana agar dia memaafkan aku? ]

"Kau bisa panggil aku Hiro. Tak perlu menyebutkan nama panjangku, kurasa kau sudah tahu." Pria itu akhirnya berbicara denganku.

"Namaku—"

"Tidak perlu disebut. Aku tidak perlu mengetahuinya." Ucapannya benar-benar membekukan mulutku. Pria itu beranjak dan pergi ke belakang.

"Seperti berbicara dengan es, dasar wajah beku!"

PLAK!

Aku kaget, dia meletakkan mi cup baru dengan kasar di meja. [ Apa jangan-jangan dia mendengar ucapanku barusan? ]

Aku kembali menyeruput mi. Sikapnya membuatku tercengang. Dalam sekejap, dia meletakkan mi cup baru lagi. Sekarang ada dua mie cup yang masih panas dengan rasa yang berbeda. Sedangkan mi cup di ujung meja tampaknya sudah kosong.

"Rakus sekali makannya!"

Aku terkejut. Dia melirik padaku lalu membuka tutup mi dan menyantapnya .

"Kau akan usus buntu!" ujarku, menakutinya.

"Sejak kapan makanan ini dibuat?" Dia menyumpit dan menadahkannya ke atas hingga mi itu menjuntai panjang. "Walaupun bentuknya seperti rambut manusia, tapi rasanya enak sekali."

Perkataan terakhirnya sontak membuat aku menganga, dia pasti bergurau. Jaman sekarang siapa yang tidak kenal ramen. Semua orang Jepang menyantap ramen sebagai makanan yang membudaya.

Hirotadda kembali duduk dengan membawa dua cup ramen baru setelah menghabiskan tiga cup besar. "Wah, kau punya napsu makan tingkat dewa."

"Aku belum pernah mencicipi bentuk makanan seperti ini. Kapan ditemukannya?" Ia melontarkan pertanyaan konyol bahkan si kasir berdiri sambil memperhatikan pria ini.

Aku menggeleng-gelengkan kepala antara takjup dan terkejut.

Aku menghabiskan mi yang tersisa sedikit lalu meminum teh yang sudah dingin. Tiba-tiba terdengar suara dari pintu depan. Begitu kutengok, pria berambut putih itu tergeletak tak sadar.

Aku dan si kasir panik. "Jangan-jangan akibat terlalu banyak makan mi instan!"