Chereads / White Love In The Dark Sky / Chapter 13 - REVISI: Universitas Indigo- Orientasi Dadakan

Chapter 13 - REVISI: Universitas Indigo- Orientasi Dadakan

''Pakaian macam apa yang dikenakan saat memasuki universitas?''

Sejak 20 menit yang lalu aku belum selesai memutuskan untuk terlihat seperti apa? Kupikir tidak baik terlalu heboh atau terlalu banyak aksesoris. Apakah harus feminin agar terlihat dewasa? tubuhku yang pendek ini akan tampak lucu jika berpakaian seperti biasa.

Hari pertama dan pertemuan pertama adalah cara terampuh agar mudah diingat orang lain. Pastinya, harus berkesan!

Untuk terlihat dewasa, kebanyakan wanita di luar mengenakan high heels dan berlenggak-lenggok mengenakan rok pendek. Memoles wajah dengan make up tebal.

Sejujurnya aku menolak semua itu. Menurutku berpenampilan dengan mengutamakan kenyamanan adalah hal utama. Bukan sepatu tinggi yang tajam mengerikan, yang membuat para lelaki enggan mendekat, karena takut terinjak. Bisa-bisa nahas, kakimu berlubang. Bukan pula rok pendek ketat atau model balon, yang menyebabkan kau mudah terserah flu dikarenakan angin meraba-raba selangkanganmu. Rok pendekmu bisa juga akan berkibar-kibar yang menjadi bahan tontonan para pria.

Semua hal yang minim-minim dan terbuka berpotensi lebih dekat dengan pelecehan seksual sampai pada pemerkosaan.

Selama ini aku berkata pada diriku: berpakaian yang baik adalah berpakaian yang mampu mengundang orang hormat dan menghargaimu.

Tapi aku tidak tahu pakaian seperti apa yang bisa mengundang rasa hormat orang lain. Aku hanya berusaha terlihat rapi. Aku ini miskin, tidak punya banyak baju yang memadai untuk tampil layak di depan umum. Sejak keluar dari panti asuhan, kaus oblong dengan jaket denim atau kemeja kotak-kotak dan celana panjang hampir 90 persen kukenakan. Yang kupedulikan hanya belajar dan mencari uang. Rupanya kini aku sadar, telah membuang 20 tahun usiaku tanpa merawat diriku sendiri.

Aku mengigit bibir berulang kali karena terasa gatal. Sesekali kusentuh. Karena gigitan ini, bibirku terasa panas. Apa mungkin bengkak? Sejak kemarin bibirku memang tidak beres.

Aku terduduk lemas melihat beberapa pakaian di koper yang berserakan, membuat ruangan berantakan lagi. Sebenarnya, sudah dari kemarin barang-barang kurapikan. Tetapi, terpaksa kubongkar untuk menemukan pakaian yang bagus.

Ini melelahkan!

Tak ada pakaian yang sedikit feminin. Semuanya seperti anak laki-laki. Lain kali, aku harus membelanjakan uang untuk pakaian. Bukan melulu untuk ditabung.

Ah, aku baru ingat. Aku memiliki satu pakaian wanita hadiah dari suster Ritsuko. Aku berjalan mencari ke beberapa tempat, ke sela-sela meja, ke dalam lemari. Karena sudah sangat lama, hadiah itu tak pernah kupakai.

Butuh waktu lima belas menit mencari hadiah itu. Dan akhirnya kutemukan di ransel masa kecilku. Tas bag berbungkus plastik tranparan, kubuka dengan cepat dan menemukan dress putih panjang yang cukup cantik.

Suster Ritsuko rupanya sudah mempersiapkan ini. Sayang sekali, aku tidak bisa menunjukkan padanya. Ukurannya pas di badan, pendeknya dua jari di atas lutut. Dress putik itu dihiasi renda bagian bawahnya, dan berlengan sebatas siku.

Aku segera mengenakannya. Kutambahkan jaket denim oversize, dipasukan dengan sepatu sport nan datar hadiah dari Mas Yushimaru pada ulang tahun ke 18.

Aku berdiri di depan cermin, menatap bingung pada penampilanku.

"Seharusnya ini akan sempurna, kecuali rambutku. Harus kuapakan rambut keriting mekar ini?" Ku gigit bibir dan meremasnya.

Dengan cepat kuikat tinggi seperti ekor kuda, tapi ternyata lebih mirip kepala nanas. Kemudian mengepangnya rapi-rapi. Untuk sentuhan terakhir, kuoleskan liptin warna peach. Bibir ini sudah merah karena gatal. Aku harus berhenti mengigitnya.

Penampilan ini tidak akan mencolok, tapi rapi dan sopan.

Sekarang waktunya untuk turun dan memulai dunia baru. Kulihat sekeliling, pada jendela besar tempat aku sering menikmati pemandangan kota dan bangunan tingginya. Kemudian melirik pada lantai licin tempat tidurku yang sederhana tapi nyaman sekali. Dan di sini pula dua orang pria tampan menjadi tamu terakhirku. Mas Yushimaru dan si pria berambut putih itu, Hiro.

"Aashhh ... Tidak seharusnya aku mengingat pria itu. Semoga kami tidak bertemu lagi!"

Aku menggelengkan kepala, mengusik pikiranku yang otomatis menampilkan adegan-adegan yang tidak ingin kuingat lagi.

"Tempat ini memang nyaman, tapi cukuplah menjadi kuburan semua penderita ku!"

Aku menyandang ransel di bahu, menuruni tangga sambil mengangkat koper besar. Ini adalah hari terakhirku menjajakkan kaki di tempat kumuh ini. Tenang saja, aku tidak akan kemari karena sebentar lagi tempat tinggalku adalah asrama yang ramai dan gaduh oleh gadis-gadis dari berbagai daerah.

Aku tersenyum hanya dengan membayangkannya saja. Sudah berada di bangku kuliah, punya kekasih, kupikir tidak ada salahnya. Tetapi harus setara dengan Mas Yushimaru yang baik dan manis. Mungkin ada yang berpikir, kenapa tidak mengajak mas Yushimaru berkencan? Menjadi kekasihnya adalah cita-cita besarku, namun sayang sekali, mas Yushimaru sudah ada yang punya. Makanya sejak dulu aku terus memendam perasaan. Dengan begitu, sikapnya tidak akan canggung terhadapku.

Bus datang di samping jalan, aku bersama beberapa orang masuk secara bergiliran. Kursi bagian belakang menjadi tempat dudukku. Kuper dan tas kuletakkan di depan kaki.

Dari atas tempat dudukku terlihat rapi para penumpang yang memenuhi kursi. Beberapa ada yang berdiri dan memegang pengaman. Banyak diantara mereka mengenakan jas hitam dan kaus berlogo. Mereka mungkin dari universitas. Keren sekali.

Sepanjang jalan aku terus berjaga-jaga, menatap jendela berpura-pura tidak jenuh, padahal sejak tadi terasa pening karena melihat berbagai objek dengan cepat. Bus sudah melaju sejak 30 menit yang lalu, tetapi aku tak tahu kapan akan sampai. Kupikir, tempat itu tidak begitu jauh.

Setelah dibicarakan, tak lama bus berhenti tanpa kupencet tombol untuk berhenti.

Baru keluar dari bus, mataku sudah disuguhkan gerbang tinggi dari semen dengan ukiran garis-garis dan logo, bahkan lebih tinggi dari badan bus ini. Jadi semakin penasaran bagaimana penampilan universitas baruku.

"Wah!!! Besar sekali!"

Seseorang berseru seperti perasaanku saat ini. Dia perempuan dengan tubuh lebih besar dariku, dan juga lebih tinggi. Berpakaian kaus dengan celana jeans longgar. Rambutnya dikuncir sepertiku hanya saja dibiarkan tergerai. Dari cara berpakaiannya, sepertinya orang yang lebih mengutamakan pandangan sendiri dari pada pandangan umum. Dia mengenakan apa yang terasa nyaman untuknya.

Gadis itu berdiri di sampingku, lalu menoleh. "Selamat pagi! Kau mahasiswa di sini juga?" Ia bertanya dengan wajah sumringah. Tampak sangat bahagia dan tak terlihat terbebani sesuatu. Dan suaranya membuat mood menjadi naik.

Aku membalasnya tersenyum. "Iya. Ternyata cukup banyak yang datang hari ini, ya." Orang-orang berjas hitam dari bus tadi juga masuk ke gerbang di depan kami. Kusimpulkan, itulah seragam kampus di sini.

"Ayo pergi bersama-sama!" Dia mengajakku seraya menyentuh lenganku.

Aku mengangguk dan mengikutinya sambil menyentuh bibir.

"Namaku, Ran Yuki dari SMA Yukihama." Aku memperkenalkan diri lebih dahulu selagi kami berjalan.

''Aku Tomoyushi Sakura."

"Tomoyushi, punya teman di sini?" tanyaku lagi.

Dia menepuk ku. "Jangan memanggilku begitu, panggillah dengan nama belakangku. SAKURA!"

"Tapi kita baru bertemu."

"Itu akan membuat aku canggung, ayolah. Aku juga akan menyebutmu Yuki."

Dia tipikal orang yang bertindak bebas dan sepertinya akan cocok denganku.

Aku mengangguk dan kami pun melewati gerbang depan yang menjulang. Di atasnya ada beberapa pria, duduk santai memandangi ke arah kami.

Sungguh keren sekali pemandangan di dalam sini. Seperti lahan rumput hijau. Tidak ada tanaman serupa pohon, hanya lapangan luas berisi rumput hijau dan beberapa jenis bunga. Seluas 30 meter, batu-batu bergerigi menjadi jalan kami menuju gedung yang tinggi yang dipenuhi jejeran jendela. Dari beberapa jendela, banyak sekali orang sedang menonton kami. Bangunan universitas Hayakamoto ini bercat kuning kelabu yang menurutku agak bernuansa tua dan seram. Di atas gedungnya, berbaris pria-pria berkemeja putih dan berjubah hitam.

"Keren sekali. Kereeen!!" Sakura berseru kegirangan. ''Eh, jangan terlalu menatap mereka. Mahasiswa yang berpakaian jubah itu senior. Mereka para elit dari divisi.''

Aku mengerutkan kening, lantas bertanya, ''Sakura, tahu dari mana? Seperti kau sudah mengenal bagian dalam universitas ini.''

Sakura menyunggingkan senyum dan menarik dagunya, ''Tentu saja tahu, sudah lama aku mempelajari sistem kampus ini. Boleh dibilang, belajar di universitas Hayakamoto adalah impianku.''

Kami memasuki ruang depan berdesain kaca tebal bersudut segitiga. Saat berada di dalam, seorang pria berkemeja memberikan kartu nomor dan meminta kami meninggalkan barang bawaaan. Pria itu mengatakan untuk segera menuju aula.

"Hai,!" kataku pada orang lain, "Kita akan kemana?"

"Kau tidak dengar, semua mahasiswa baru melakukan orientasi sekarang juga."

"Orientasi?" ulang Sakura, juga terkejut.

"Orientasi untuk menentukan kau akan tinggal di asrama lever berapa, begitulah yang kudengar dari kakakku," jelas gadis berjaket hijau.

"Kau sendiri yang harus mengambil kunci di dalam hutan. Kunci untuk kamarmu. Jika tidak ketemu, kau harus tinggal di luar gedung. Eh, berhenti mengigit bibirmu, apa kau sedang gugup?" lanjut gadis berjaket hijau.

Bukan hanya terkejut, aku merasa takut karena tidak tahu apa-apa. Seharuanya sebelum kemari, aku mencari tahu tentang kegiatan hari pertama di kampus.