Aku berlari menghampiri Hiro, si pria berambut putih ini. Dia tergeletak tak sadar tepat di depan pintu toko. Beruntung tidak ada orang melihat, kalau tidak ini akan membuat malu aku. Dan hal terburuk mungkin saja akan disangka habis mengalami penganiayaan.
Tak sampai 5 menit usai menyantap habis 7 cup mi instan jumbo dia berakhir seperti ini. Dasar rakus! Selain bikin shock, dia juga membuat aku trauma berjumpa orang asing.
Si kasir ikut menghampiri dan memeriksa nadi Hiro. Kami kalang kabut karena takut dia mati. Bisa saja orang mati sesak napas gara-gara kebanyakan mengonsumsi mi instan.
"Tolong lakukan sesuatu!" Aku berseru seraya menarik Hiro untuk duduk dan menyandarkan punggungnya.
Sementara itu kulihat, si kasir yang panik ini sedang mengetik nomor pada telepon kabel.
"Halo, ada orang pingsan. Tolong Kirimkan—"
''Wah, gawat!'' Secepat kilat kurampas gagang telepon dan menutupnya dengan kasar. "Tidak. Tolong pesankan sebuah taksi saja untuk kami. Dia baik-baik saja."
Tadi itu hampir saja, kalau laki-laki ini sampai dirawat, aku yang akan keluar dana. Semua rencanaku untuk ke universitas akan berantakan. Dari pada itu terjadi, lebih baik aku yang merawatnya. Setidaknya minim biaya. Aku yakin, dia hanya pingsan karena belum pulih betul.
"Tolong panggilkan satu taksi untuk kami, aku yang akan urus dia." Kutegaskan kembali pada si kasir. Orang itu mengangguk dan cepat-cepat membuat panggilan baru.
Tak lama datanglah mobil taksi yang sepertinya akan menguras biaya karena ini jauh dari distrik flatku. Di banding Bus lokal, taksi yang hanya memuat dua pelanggan lebih mahal dari tarif transportasi bus.
Aku meraih seragam yang masih basah dan melepas seragam toko itu. Kuletakkan seragam di kursi dan keluar dari toko. Si kasir membawa masuk Hiro ke dalam mobil. Tampangnya tampak lebih khawatir ketimbang aku.
Siapa yang tidak kaget, seseorang makan di tempat kau bekerja dan pingsan. Jika terjadi apa-apa, polisi akan mengintrogasimu dan kau bisa dipecat dari pekerjaan karena dianggap aib dan tak becus mengurus pelanggan. Ah, aku mengerti kekhawatiran si kasir.
Aku memakluminya. Setelah memastikan keadaan Hiro, si kasir beranjak dari mobil. Aku pun masuk lalu duduk di samping Hiro.
Pria itu masih menahan pintu seraya melirik bolak-balik pada keberadaan 7 cup mi instan yang tergeletak di atas meja dalam toko.
"Ada apa, apa aku meninggalkan barang-barangku yang lain?" tanyaku.
Si kasir menggaruk kepalanya. Dia pasti pusing karena masalah ini. ''Jangan pikirkan masalah ini berlarut-larut. Fokus saja pada pekerjaanmu dan jangan beritahu siapa-siapa.'' Aku berusaha mengendalikan keadaan dengan menenangkan si kasir.
"Orang itu makan 7 cup, sepertinya ... Nona lah yang harus membayarnya. Dia berpesan padaku sebelum keluar, bahwa semua makanan yang tadi dibebankan kepadamu."
Sontak aku tercengang. Dan menatap tajam pada wajah Hiro. Andai saja mataku punya sinar ultrasonic, dia pasti sudah mati. Sialan!
Dengan berat hati, terpaksa kuserahkan semua uang dari paman Ochi. Padahal uang yang diberikan padaku cukup untuk taksi dan biaya makanan yang tadi kubeli.
Si kasir lekas mengambil uang dari tanganku dan menghitungnya dengan jari-jari secara berulang, sesekali melirik pada cup mi. Tertangkap suaranya mendesah kesal.
Aku pelan-pelan menutup pintu mobil dan taksi itu merangkak perlahan.
"Dia pasti kesal, dan sepertinya uang itu belum cukup. Apa yang kau makan sampai uang itu tidak cukup, hah? Dasar rakus!''
Sejak bertemu dengannya, aku ditabrak olehnya, harus repot-repot menggendong sepanjang jalan dan dia malah membuat aku dalam masalah.
"Mengesalkan sekali!"
Emosiku meledak, aku menghentakkan kaki.
Kupandang hampa pada langit-langit mobil, lalu teralih ketika merasa diperhatikan. Rupanya si supir merasa terganggu dengan sikapku. Aku membungkuk tanpa berkata-kata. Dia pasti mengerti apa yang terjadi padaku. Kuharap begitu, karena kalau tidak aku akan menangis sekarang juga jika disuruh menceritakan.
Ketika mobil taksi sampai di depan gedung apartemenku. Aku berlari mengambil uang di kamar dan turun lagi memberikan beberapa lembar biaya transportasi.
Tangga demi tangga aku berjalan sambil menggendong beban berat, tubuh Hiro menuju lantai dua. Cairan keringat terasa berjalan disekitar pelipis dan dagu bahkan sudah meninggalkan jejak.
[ Pria ini kenapa tidak bangun juga. Aku sudah lelah sekali membawanya. ]
"Kuanggap ini sepadan dengan apa yang kulakukan padanya termasuk membuatnya pingsan dan merampas payung merah itu. Setelah ini semoga kita tidak bertemu lagi." Aku berceloteh, mengabaikan beberapa wanita naik turun tangga.
Sesampainya di depan pintu flat, aku memasukan kunci dan memutarnya. Tubuhnya nan panas melorot hendak jatuh. Begitu pintu dibuka, aku berputar dan dia pun jatuh di dalam ruangan.
"Ahhhhh, setelah bangun nanti, dia akan sangat malu mengetahui telah digendong seorang gadis kecil sepertiku."
Aku masuk dan menarik tubuh Hiro sehingga pintu tertutup. Payung merah kuletakkan sembarangan lalu menyalakan lampu tengah. Sambil menarik napas dalam-dalam, aku meregangkan otot.
Kutarik pria ini ke ruang tengah. Kuberi dia bantal dan kuselimuti.
"Hari ini kau telah melalui banyak hal, Yuki. Kamu sudah bekerja keras." Aku menyemangati diri sendiri.
Seusai mandi, aku merebahkan tubuh yang hampir remuk ini pada kasur dari kain berisi busa tipis. Rasa hangat dan nyaman ketika semua ototku mulai rileks. Punggung ini sudah membuktikan keperkasaannya, lebih perkasa dari lelaki.
Aku baru ingat, tas beserta kardiganku tertinggal di loker toko sayur. Andai tadi aku menolak disuruh pulang sendiri, pasti tak akan terjadi hal seperti ini.
Aku berguling-guling mencari posisi ternyaman untuk berbaring dengan tenang. Mataku memperhatikan dengan lamat wajah pria asing ini. Dia terbaring tak bergerak dan kupikir dia hanya pingsan biasa. Baju kemejanya usang gara-gara aku menariknya di aspal.
Aku jadi sadar, itu adalah perlakuan kasar.
Bersama lelahnya punggung, aku mendekatinya. Menyingkirkan poni yang berantakan dan menyentuh pelan dahinya.
Dia demam, karena kehujanan. Ada baiknya kuganti bajunya. Basah dan kumal pasti dia kedinginan.
Kubuka satu persatu kancing kemeja. Dada hingga perut terlihat jelas, mulus dan bergerak karena masih hidup.
Mula-mula kutarik lengannya lalu beralih menarik punggung lehernya sehingga tubuhnya pun terduduk, meski beberapa kali hendak terbaring lagi.
Tubuhnya beraroma bunga ... ini tidak asing. Bunga Higanbana lagi dan ... aroma rumah pemakaman. Mendadak tubuhku merinding. Kenapa dua hari ini aku bertemu dua pria yang punya bau yang sama?
Kubuka kemeja bagian pundaknya, lalu kupeluk sedikit setengah tubuhnya sewaktu melepaskan lengan kemeja, mendadak dia dan aku oleng secara bersamaan. Kemudian tubuhnya jatuh menimpaku.
Aku terkejut, bibirku dan bibirnya berbenturan dengan cukup kuat.
"Arggg, sialan!"
Spontan tenagaku bangkit. Kudorong hingga dia terbaring lagi.
[ Tadi itu ... ]
Aku menoleh padanya, menyentuh bibir dan menjambak rambutku.
"Ciuman pertamaku terebut, karena insiden ketidaksengajaan ini. Tidak, ini tidak termasuk ciuman. Bibir kami hanya bersentuhan sebentar."
''Aaaaaackkk!!!'' aku berteriak tak terima dan memukul permukaan lantai sebagai pelampiasan. ''Ci-ciuman pertama itu harusnya berkesan dan ... Brengsek!'' aku memegang pundaknya dan menggoyang tubuhnya dengan perasaan marah. ''Aku menjaga bibirku selama ini untuk mas Yushimaru, bodoh! Kembalikan ciuman pertamaku! Hai!''
Mana peduli lagi, saking gemas dan kesalnya, aku menggoyang tubuhnya lebih cepat lagi. Bibirnya terbuka dan aku tersedak liur sendiri.
[ Sia-sia aku membantunya. Malah bisa berakibat lebih fatal dari ini ]
Aku memandanginya yang kini setengah telanjang dada. Kulepas tubuhnya, kutendang selimut hingga menutupi perut serta dadanya.
Aku berbaring menyamping dan membelakanginya lalu menarik selimut sebatas leher.
Lebih baik tidur saja sebelum hal yang lebih jauh terjadi tanpa sengaja. Pokoknya, dia tak boleh tahu hal ini.
Aku mengigit selimut dan memejamkan mata. Tanpa kehendakku, kejadian singkat itu mendadak terulang dalam pikiran selama beberapa puluh detik.
"Kalo begini aku tidak bisa tidur."