Anak-anak menjerit histeris melihat pelangi besar di langit. Hujan masih belum reda tapi dalam intensitas ringan. Cahaya matahari muncul dari belakangku dan telah membungkuk tajam ke bawah. Dalam beberapa jam lagi, kurasa akan segera malam.
Pada arah tenggara, ketika aku mengalihkan pandangan, dari atas ada sebuah payung merah terbang melayang terbawa angin. Orang-orang juga melihat payung itu.
Benda itu akan berbahaya jika terbang kelain tempat dan bisa menyebabkan kecelakaan. Aku menoleh ke depan, lampu merah masih 25 detik lagi.
Kalau aku turun dan mengejar payung itu, aku akan ditinggalkan si tua ini.
Muncul sebuah ide, dan langsung ku galakkan. Aku meloncat dari mobil sayur ke atas mobil di sampingnya, dan ke atas mobil lainnya. Kebagian bagasi mobil lalu meloncat lagi hingga akhirnya berhasil meraih payung merah. Sepatu boots nan kesat dan kuat menghindari kecelakaan saat aku berjalan di atas permukaan mobil nan licin. Aku kembali dengan cara sama hingga lebih kurang 3 detik lagi lampu merah berganti. Terdengar suara-suara obrolan para penumpang di salah satu bus ketika melihat aksiku.
Dari pada payung itu mencelakakan orang lebih baik diamankan bukan?
Lalu lintas berjalan lagi dan aku duduk di antara barang-barang kiriman sambil berteduh dengan payung merah itu. Dari pada hanya menggunakan jas hujan ini, berteduh di bawah payung membuat tubuhku hangat dan nyaman.
Hari mulai gelap, disepanjang jalan, lampu-lampu bersinar kuning terang bercampur sinar lampu depan mobil yang berlalu lalang. Pemandangan jalan raya bersama bangunan pencakar langitnya yang menyala memuaskan mata. Kota malam nan indah.
Tak terasa semua barang telah habis dikirimkan, kami berada di jalan kecil pertokoan yang sepi dan sedang dalam perjalan pulang. Hujan masih setia menemani perjalanan kami. Badan mobil mendadak oleng dan berhenti mendadak. Aku yang tidak berpegangan akhirnya nyungsep dan membentur permukaan lantai.
"Ah, paman Oshi jangan-jangan mengantuk? Aku tidak mau mati muda. Aku masih belum menikah!"
Terdengar pintu mobil dibuka, lalu Paman Oshi menghampiriku.
"Kamu terluka?"
Ternyata dia bisa khawatir jua.
"Ah, ya ... Hanya sedikit tergelincir. Kenapa berhenti mendadak, paman?" Aku turun dari mobil bersama payung merah.
Paman Oshi ikut berteduh di bawah payung itu. Ia merogohsaku celana dan membuka dompet kulitnya.
Ah, ada apa ini? Bau-baunya tentang uang nih.
Ia menyodorkan dua lembat uang lalu berkata, "gunakan uang ini untuk makan dan biaya taksi. Ban mobil terlindas paku besar. Kau akan kelaparan kalau menunggu mobil diperbaiki."
Aku menyeringai dan tanpa ragu menyambut uang itu.
Saat kutinggalkan, paman terlihat duduk di teras toko sambil menelepon jasa montir terdekat.
Hujan mendadak deras sekali, orang-orang berhamburan menepi dari jalan. Sehingga di jalan pertokoan itu hanya aku dan segelintir saja yang memakai payung. Aku bertanya pada beberapa orang dimana dapat menemukan halte bus, dan orang itu menunjukkan tempatnya.
Tak begitu jauh dari area pertokoan, ada jalan raya di arah timur. Tetapi perlu berjalan cukup lama untuk mencapainya.
Aroma wangi makanan jalanan menggodaku untuk berhenti. Aku membeli roti ikan dan memakannya sambil mencari halte bus.
Sisi sebelah kiri dan kanan penuh dengan sinar lampu dari toko-toko. Hiasannya dan lampu jalan. Tetapi aku bingung, karena di daerah ini tidak banyak lagi para pejalan kaki atau pun orang yang berteduh. Akulah satu-satunya pejalan kaki. Atmosfernya mendadak jadi seram. Apa aku salah jalan, jelas-jelas wanita itu menunjuk lurus saja.
Suatu ketika dari depan terdengar percikan air yang menggenangi jalan. Aku mengangkat sedikit payung dan terlihatlah, seorang pria tua berlari tanpa alas kaki menghancurkan genangan dan airnya menemercik. Wajah orang itu lesu dan pucap, kepalanya setengah botak dan pakaiannya kaos basah kuyup.
Pria setengah botak itu larinya cepat dan dalam sekedip melewati ku. Aku menoleh ke belakang dan dirinya telah lenyap, hanya menyisakan ombak kecil di genangan air.
Paman itu terlihat panik sekali, seperti habis dikerjai orang.
Aku berbaling ke depan. Mataku berkedip cepat seketika angin kuat menghantam.
Bruk
Aku terjatuh dengan pantat menghantam permukaan aspal. Tetapi rasa sakitnya tak seberapa dibanding si penabrak yang kini mengerang kesakitan.
Aku menahan nyeri di pantat kemudian mengambil payung yang jatuh lalu menghampirinya.
"Kamu terluka? Ini salahmu sendiri berlari terlalu kencang sampai-sampai menabrak orang. Kamu bisa bangun 'kan?"
Seorang pria berambut putih dengan wajah pucat menoleh sambil meringis.
Hidungnya luka dan bibirnya memar. Dia memejamkan sebelah matanya nan biru jernih ketika poninya nan basah menjuntai.
Dia babak belur.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Pria itu bertanya seakan-akan mengenalku.
Bibirnya nan robek meringis lagi saat berusaha bangkit. Tubuhnya terlihat dari kemeja putih yang basah.
"Kamu dari divisi mana?" Pertanyaannya kembali membuat kejutan dalam otakku.
"Eh, divisi? Aku sedang mengirimkan barang dan hendak mencari bus. Apa kamu terluka?" tanyaku lagi, takut dia cedera dan melaporkan aku ke polisi.
Dia tak menggubris, "Ah, brengsek! Dia lolos!"
Aku mengerti sekarang, pria tua yang tadi dikejar olehnya.
Pria itu berjalan dengan tubuh yang agak bungkuk dan tangannya memegangi perut.
Aku kasihan melihatnya yang begitu menderita. Orang tua tadi yang dikejar, dia yang luka-luka. Dunia sudah terbalik.
Aku berpaling dan meneruskan perjalanan. Aku melihat langit yang gelap, seketika aku khawatir kalau sekarang sudah pukul delapan malam. Masalahnya, apakah uang diposito flatku sudah ditranfer apa belum, aku tidak tahu.
Pagi tadi aku sempat mengobrol dengan pemilik apartemen dan memohon padanya untuk mengambil diposito. Tentu saja dengan alasan untuk keperluan biaya kuliah. Aku di sini sedang mempertaruhkan hidup dengan berkuliah di Universitas Hayakamato, kampus yang telah menerimaku.
"Hai tunggu!"
Baru dua meter aku melangkah, lelaki berambut putih itu berseru.
Aku menoleh padanya.
Pria itu memicingkan matanya menembus dengan tajam pada mataku. Seperti aliran listrik menjalar hingga membuat jantungku tersentak.
"Apa dia marah karena insiden tadi. Sungguh tidak masuk akal. Seharusnya ...''
"Ini milikku!"
Dia meraih gagang payung dan menariknya dariku.
Dalam sekejap aku merasa aneh dengannya.
"Aku yang mendapatkannya. Asal dari mana kau menyebut ini milikmu, hah?"
Aku tak memberi dia celah merebut payung ini. Dia juga tak memberi kesempatan padaku untuk merebutnya. Kami pun saling menarik payung merah itu.
"Gara-gara kau, aku babak belur, bodoh! Ini jelas payung milikku. Ada nama —"
Aku mendorongnya hingga membentur tiang lampu. Tiba-tiba pria itu merosot dan tersandar di tiang lampu.
[ Oi, apa aku mendorongnya terlalu kuat? D-dia, pingsan? ]
"Dia bilang sesuatu soal nama ..." Aku bergumam saat memutar permukaan payung dan menemukan sebuah nama yang cukup panjang tercetak bersama barcode.
Aku menggigit kuku sambil menoleh ke sana sini. Lalu mundur menjauh dari pria itu.
"Tak akan ada yang melihat ini, lebih baik kabur saja."
Aku berlari sejauh dua meter, namun mendadak hatiku resah dan mendorongku untuk membuang niat jahat itu.
[ Bagaimana jika dia mati kalau tidak kuselamatkan? ]