Aku berada di kantor polisi bersama 7 penghuni kamar di lantai dua. Sejak satu jam yang lalu waktu telah menunjukkan pukul 9.00 pagi. Di sebuah ruang tamu kecil tersusun atas 4 kursi sofa model lama. Kami diberi secangkir cup kopi hangat. Agar aku bersama 3 wanita lain tidak mengantuk saat menunggu giliran kami. Seperti yang kulihat saat ini, akan ditanyai beberapa macam pertanyaan terkait insiden bunuh diri.
Dua hari ini, sudah dua insiden yang terjadi di apartemen kumuh itu. Hari kemarin insiden pembunuhan dan pagi ini seorang pria diduga bunuh diri. Jika boleh jahat, hal positif dari kejadian ini adalah, kemungkinan besar uang sewa flat akan semakin menurun atau bahkan si pemilik akan bangkrut. Sejak dari awal apartemen kumuh itu memang memiliki keamanan yang tipis. Aku memang takut tinggal di sana, tetapi mau bagaimana lagi. Apartemen itu adalah satu-satunya yang termurah di wilayah ini. Uangku tidak akan cukup untuk pindah ke apartemen yang lebih layak. Aku harap sempat mendapatkan kamar asrama di universitas baru sehingga bisa keluar dari apartemen itu.
Aku mengembuskan napas, malas. Sejak tadi mataku bolak-balik melihat seisi ruang kantor polisi. Sesekali beberapa polisi yang berlalu lalang di depan kami melihat ke arah kami dengan wajah lesu.
Riuh sekali suasananya, beberapa polisi sedang terlibat argumen dengan beberapa orang. Di sisi lain keributan juga terjadi antara beberapa masyarakat yang saling caci, entah tentang apa. Melelahkan jika harus mendengarkan keriuhan di sini.
Pantas saja, sering kali polisi terdengar sangar ketika berbicara lantaran tiap hari mereka berteriak keras melerai perkelahian atau untuk memberi pelajaran kepada pelaku-pelaku kejahatan yang seolah-olah tidak punya kuping, bebal.
Beberapa pria tua penghuni lantai dua mulai beranjak dari kursi panas pada meja polisi nomor 5, 3 dan 1. Kemudian aku bersama tiga wanita ini dipanggil ke sana.
Aku menghampiri seorang polisi yang agaknya masih berumur 30-an. Dia masih tampak muda dan segar lain dengan kawan di sebelahnya yang sudah terlihat letih dan mengantuk. Yang satu itu mungkin berumur 50 tahun.
Leherku bergerak ke sana kemari, melihat dua wanita bersamaku tadi duduk secara terpisah pada meja 1 dan 3 sedangkan aku di meja 5. Mungkin maksudnya untuk mencegah kesepakatan antara kami yang bisa dimungkinkan sebagai pelaku pembunuhan.
"Siapa namamu?"
Aku kembali ke depan, dan bertatapan sejenak dengan polisi itu. Dari name tag, dia bernama Ouyama Hiroshi.
"Namaku? Namaku Ran Yuki."
"Usia?"
"Padahal dia tahu usiaku, kartu identitasku belum dikembalikannya,'' ucapku dalam hati.
"Sembilan belas, hampir dua puluh tahun. Bulan ini belum tepat ulang tahunku."
"Masih sekolah?" Pak Ouyama bertanya dingin dan datar. Aku jadi merasa tegang sendiri.
"Baru lulus kemarin."
Pak Ouyama mengangguk sedikit, dia memegang gagang telepon lalu menyerahkannya padaku.
"Telepon keluargamu ...,"
Belum selesai dia bicara, kupotong langsung, "Aku tidak punya orang tua. Aku tinggal sendirian, tapi sebelumnya dari panti asuhan."
Pak Ouyama menulis di kertas yang tidak dapat kulihat. "Mayat yang jatuh dari jendela bernama Takeshi Yuno, berusia 27 tahun. Kau mengenalnya? Bagaiman dia sehari-hari?"
" Tidak, aku belum pernah melihatnya karena jarang di rumah." Aku menggeleng.
"Jarang di rumah? Kerja? Kerja apa?" tanya Pak Ouyama lagi.
"Karyawan sementara di toko sayur," aku menjawab singkat dan seadanya.
Pak Ouyama menulis lagi di kertas yang kuduga adalah data diriku.
"Tadi malam, kau di mana dan bersama siapa?"
Aku dihadapkan pada pertanyaan inti yang dapat mengubah status saksi menjadi tersangka. Memang aku tidak pernah bertemu dengannya, meski begitu kurasa aku melihat pria itu pertama kali di dalam mimpi tadi malam. Pria yang sama dengan wujud yang lebih seram, dia bahkan menerjangku dan hendak melukaiku. Tetapi aku akan mendapatkan masalah jika kuceritakan mimpi itu.
"Aku pulang pukul 7.00 malam, dan tidak pernah keluar dari kamar setelah itu." Baru kusadari jawabanku terdengar gugup.
Ini gara-gara aku merasa benar-benar keluar kamar malam itu dan bertemu dengan Takeshi, padahal hanya mimpi.
Mimpi yang aneh mempertemukan aku dengan Takeshi yang belum pernah kulihat sebelumnya. Perasaan dalam mimpi buruk itu sangat mengganggu. Benar-benar terasa nyata. Apalagi soal tangan yang menghempaskan tubuhku.
Bisakah seorang yang belum pernah bertemu, dapat terwujud dalam mimpi? Sepintas, pertanyaan itu muncul dalam pikiranku.
"Jangan melamun. Hai!" Pak Ouyama menegurku.
Aku sedikit terperanjat, lalu melirik pada pak polisi. Suaranya berubah dari datar menjadi sangar, seolah-olah aku adalah si pembunuh yang ketahuan membuat-buat alibi.
"Malam itu kau bersama siapa?"
"Hanya sendirian, aku tinggal sendiri."
"Pada malam itu, apa kau mendengar suara yang mencurigakan, sebelum suara jendela yang pecah?" Pak Ouyama menangkup kedua telapak tangannya, dan memelototiku.
"Tadi malam aku ..." Aku menggeleng setelah memikirkan sepertinya ini akan menjadi masalah panjang bagiku jika aku menjawab tidak. Tapi sebenarnya memang tidak mendengar suara apa pun. Aku terlalu ketakutan dengan mimpiku sendiri.
Jarak kamarku hanya terpaut 4 meter dari TKP pertama. Jika aku mengaku tidak mendengar suara apa pun, sementara tetangga kamarku kemungkinan mengaku mendengar suara itu. Aku pasti dicurigai.
"Aku sungguh tidak mendengar apa-apa. Setelah pulang, aku minum obat alergi dan langsung tidur."
Kebetulan obat alergi memiliki efek samping yang membuat aku mengantuk. Maka kuserahkan obat itu. Sebenarnya tadi malam aku tidak minum obat apa pun. Hanya saja, pernyataanku perlu disempurnakan.
"Baiklah, kami akan mengambil ini. Kau boleh pulang. Hubungi polisi jika kau mengingat ada hal aneh pada malam itu." Pak Ouyama menyerahkan kartu identitasku.
Dari kantor polisi aku pun pergi ke sekolah untuk mengambil beberapa berkas yang akan dilanjutkan sebagai syarat pendaftaran manual universitas baruku. Pengurusan berkas itu cukup memakan waktu hingga menjelang sore.
Waktu telah berjalan pada pukul 4.15 sore. Tampaknya cuaca sedang tidak dapat diprediksi, beberapa saat lalu sinar matahari masih menyala dan dalam sekejap, sudah ditutupi awan mendung. Sialnya, aku tidak membawa payung. Kejadian kemarin bisa terulang lagi, Mas Yushimaru mungkin akan memberikan pakaiannya lagi sebagai pelindungku.
Aku membuang napas panjang dan mengingat lagi beberapa pakaiannya yang belum kukembalikan. Karena cuaca cerah hanya setengah hari lebih, sehingga jemuranku tak akan kering dengan baik.
Tetes air mulai terasa menyentuh kepalaku, resap disela-sela rambut. Sensasi dinginnya menyegarkan pikiran. Aku masuk ke toko milik bosku. Beberapa karyawan yang jaga di dalam menyapaku. Aku menyapa mereka kembali.
"Selamat sore, apa Mas Yushimaru sudah datang?" aku bertanya dengan riang gembira.
"Yushimaru hari ini ikut mengambil sayur di kebun. Dia digantikan Pak Oshi. Cepatlah ke belakang, nanti kau dimarahi," kata seorang wanita cantik bertubuh sedikit gembul.
Buru-buru kakiku melangkah dengan gusar. Hanya dalam waktu dua menit, aku telah mengganti baju. Baju kaus dengan lengan sepanjang siku.
Hari ini partner kerjaku adalah seorang lelaki tua gembul yang suka marah dan menilai tugas karyawan lain. Celaka jika aku teledor sedikit, dia akan melaporkan pekerjaanku kepada bos.
Aku mengenakan topi toko sambil berlari ke belakang toko. Begitu membuka pintu, terdengar mobil Pick Up warna putih dihidupkan.
Tanpa bertanya lagi, aku membuka pintu depan dan hendak meloncat untuk duduk, tetapi bagian depan penuh dengan kotak-kotak sayuran.
Bagaimana aku ikut kalau semua ruang depan penuh. Tatapan sinis si tua itu menusuk sekali. Dia tak bicara rupanya paham betul aku sering terlambat. Pak Ochi dengan seluruh wajah lebarnya memberi kode padaku untuk pergi ke belakang mobil.
Aku naik ke bagian barang-barang dan mobil langsung merangkak. Pak tua ini benar-benar tidak kasih ampun. Tidak sampai 5 detik aku menginjak lantai bak, mobil sudah tancap gas.
Selama perjalanan, hujan pun turun dengan kapasitas sedang. Aku duduk meringkuk di antara barang-barang, membiarkan seluruh tubuhku yang terbalut jas hujan kuning.
Barang hari ini cukup banyak dari biasanya. Kalau Mas Yushimaru yang mengemudikan mobil, dia tak akan membiarkan aku berhujan-hujanan begini. Padahal tadi itu aku datang 15 menit lebih awal, maksudnya hendak makan sebentar sebelum kerja. Alhasil aku tak sarapan dari siang sampai sekarang. Mi cup pagi tadi sudah lenyap tak terasa di perut. Udara dingin membuat aku mengigil dan perut semakin berbunyi.
Pada suatu ketika, mobil berhenti saat menunggu lampu merah, aku berdiri dan menyusun barang yang akan diserahkan kepada pelanggan berikutnya. Seorang pengemudi di mobil sebelahku menunjuk ke atas dan mengatakan ada pelangi besar di langit. Aku menengadah.
Memang ada pelangi dan besar sekali.
Selain pelangi besar itu aku menangkap dua orang berkejaran di atas atap gedung dan melompat ke atap yang lain lalu menghilang.
"Lari dari ketinggian 15 meter, mereka pasti sudah bosan hidup."