Napasku berat dan terengah-engah.
Jam masih menunjukkan setengah lima pagi, tapi aku sudah lelah karena berlatih kekuatanku.
"Apakah aku terlalu memaksakan diriku?"
Tubuhku ringan.
Jatuh begitu saja, di atas rumput hijau di tengah hutan rindang.
"Tapi setidaknya aku senang ... ada kemajuan," ujarku sambil melihat ke arah lima belas panah yang menancap tepat di tengah lingkaran.
"Lima lagi ... tapi sepertinya sudah cukup. Sisanya, aku latih saat misi nanti siang."
Kami mulai mengambil misi lagi. Kali ini kita tidak mengambil misi yang begitu berat, karena ini pertama kalinya kami menjalani misi bersama empat orang.
Avere berkata, kita masih belum memahami satu sama lain.
Kekompakkan kita kurang.
"Jadi kalau misi ini berjalan lancar, mungkin Avere akan membolehkan kami mengambil misi yang lebih tinggi."
Aku bergumam dengan kedua mata yang mulai terpejam.
Aku lelah. Berlatih dari jam dua pagi.
Ini pertama kali dalam hidupku aku melatih kekuatanku, dan menggunakannya dengan maksimal untuk melawan musuh.
Di bumi ... sama sekali tidak pernah semaksimal ini.
"Menuangkan juga tinggal di sini, apakah aku harus menetap di dunia game ini?"
.
.
.
Aku jalan di depan, Akio di belakang dan sisanya di tengah.
Kami berjalan menuju hutan aneh yang mempunyai jiwa.
Hutan ini disebut dengan hutan hidup. Atau seperti hutan yang memiliki pikirannya sendiri.
Misinya sederhana. Kami hanya disuruh mengumpulkan jamur emas langka.
Misi ini diajukan dari sebuah restoran bintang lima. Karena pasokan jamur emas mereka sudah hampir habis, jadi mereka meminta bantuan player untuk mencari jamur tersebut.
"Aku bisa bayangkan betapa mahalnya hidangan jamur tersebut," gumamku dengan kedua tangan yang menyilang di dada.
"Kau bahkan belum melihat bentuk jamurnya," sahut Avere dari belakang.
"Coba lihat sekeliling kalian. Apakah kalian tidak merasa diawasi?" tanyaku sambil melihat sekitar.
Hutan ini dihuni oleh pohon yang berwarna-warni.
Ada yang daunnya biru, ada yang merah, ada yang hitam, ada yang ungu dan warna lainnya.
Masing-masing dari mereka seperti memiliki karakter masing-masing. Ada yang senang bernyanyi, ada yang garang, dan ada yang ....
"Hei pedangku!" teriak Akio saat sadar bahwa pedangnya telah diambil oleh sebuah ranting pohon berwarna biru.
Ada yang jahil.
Aku tertawa lalu menghentikan langkah kakiku.
"Biarkan saja dia mengambil pedangmu," ujarku dengan nada meledek.
Avere menghela napasnya kasar. Dia menatapku dengan wajah datar. Meminta pertolongan untuk membantu Akio.
"Oke akan ku tolong."
Slap
Pedang Akio telah kembali ke tangan pemiliknya.
Pohon itu nampak bingung. Dia bergoyang-goyang ke kanan dan kiri, mencari seseorang yang telah mengambil pedangnya.
"Ayo pergi sebelum dia menyadari," ujar Haven.
Kami berempat pun melanjutkan langkah kami.
Kami berempat terus berjalan hingga aku melangkahkan kedua kakiku tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Haven bingung.
dug dug
Sesuatu yang besar terdengar sedang menuju kemari.
"Kalian dengar?"
Mereka mengangguk kompak. Dan bahkan sekarang ... tanah yang kami pijaki mulai bergetar.
"Kita harus minggir dan bersembunyi!" teriak Avere.
Kami berempat langsung mengikuti perintahnya.
Aku dan teman-teman mencari ke sekitar. Sebuah tempat aman untuk bersembunyi.
"Itu!"
Haven berlari, menuju sebuah pohon besar berwarna hijau.
Pohon yang normal di dalam hutan aneh ini.
Dug Dug
Suara itu semakin besar. Aku dan teman-temanku berdempetan. Menghimpit satu sama lain, agar pohon ini cukup untuk menyembunyikan tubuh kami.
Hingga beberapa detik berlalu akhirnya kamu tau, sumber dari suara besar itu.
"Raksasa batu."
Aku menyipitkan mataku. Memperhatikan lekukan tubuh raksasa besar tersebut.
Dia nampak gagah dan percaya diri. Melangkahkan kakinya ringan membuat semua yang di sekitarnya bergetar.
"Kita jangan mencoba-coba melawannya. Tetap diam di sini, hingga makhluk itu pergi," saran Avere sambil memperhatikan raksasa aneh itu.
"Aku juga tidak punya ide. Akan melawan dengan cara seperti apa pada makhluk itu," ujarku takjub saat melihat batu raksasa itu.
Beberapa detik berlalu akhirnya batu besar itu sudah pergi.
Aku dan teman-temanku keluar dari persembunyian, lalu melanjutkan perjalanan kami.
"Apakah masih jauh?" tanyaku.
"Tidak. Tinggal beberapa menit lagi sampai, jika tak ada gangguan."
Aku mengernyitkan dahiku. Mendengar jawaban ganjil dari Avere.
"Gangguan seperti tadi?"
"Iya. Oh iya, setelah ini kita akan memasuki fase salju. Kalian harus bersiap dengan apa yang terjadi."
Kami semua mengangguk mengerti.
Dan tepat seperti apa yang dikatakan Avere, di depan sana sudah berada hutan salju.
Tapi anehnya tidak terasa dingin.
"Apakah di sana dingin? Sepertinya tidak ...."
"Aneh, ini pertama kalinya aku merasakan salju tidak dingin," timpal Akio kebingungan.
Aku yang tidak pernah merasakan salju karena tinggal di negara tropis hanya bisa berdiam.
"Ya bagus juga aku bisa melihat salju. Karena belum pernah memegang benda putih itu sebelumnya," batinku semangat.
"Tapi ada baiknya kita pakai mantel kita. Hutan ini aneh, jadi kita harus siap sedia."
Aku melepaskan tas panahanku, memakai kembali sebuah jubah tebal pemberian Hana. Kami semua mengikuti saran dari Avere, sebelum memasuki hutan salju itu.
"Wah dingin!" seruku senang ketika wajahku diterpa angin-angin sejuk ini.
Tanganku mengadah ke atas. Dengan senyuman yang sumringah, aku terus berjalan sambil menangkap kepingan-kepingan salju yang terus berjatuhan itu.
"Indahnya ...."
"Tetap fokus Caramel! Kau berada di depan, kau harus berjaga-jaga di depan sana."
Aku mendengus sebal teguran dari Haven.
"Maaf ... aku ini kan tidak pernah bermain salju. Jadi tolong dimaklumi."
Suasana hening.
Tidak terdengar apapun kecuali langkah kaki kami yang sulit bergerak, dan udara sekitar yang makin tidak bersahabat.
"Sepertinya hutan ini mengamuk," celetuk Akio asal.
Gluduk Gluduk
Suara aneh muncul dari samping kanan.
Kami kompak. Mencari sumber suara aneh tersebut.
Hingga beberapa detik kemudian tiga buah bola salju besar menerjang kami.
Aku mendengus sebal. Mata coklatku menatap Akio sejenak.
Seakan melakukan telepati.
"Ayo selamatkan mereka," batinku.
Kami berdua mengangguk. Aku membawa Avere terbang, sedangkan Akio menarik tangan Haven berlari menhindari bola raksasa itu.
Namun di luar dugaan kami.
Tiga bola besar berwarna putih itu mengikuti Akio.
"Mereka mengincar Akio," ujarku sambil terus memperhatikan pria bersurai hitam yang terus menghindar.
"Apakah keadaan mereka baik?" tanyaku pada Avere.
"Aku akan mengeceknya."
Pria di sebelahku memejamkan matanya. Aku terus memperhatikan mereka, sambil sesekali menghentikkan gerakan bola salju itu dengan kekuatanku.
"Sial mereka kuat sekali," gumamku kesal.
Aku mendengus kesal seraya melihat ketiga bola salju yang mulai bergerak kembali mengejar Akio.
"Keadaan Akio aman, yang tidak aman Haven. Dia sepertinya pusing karena Akio membawanya terlalu cepat."
Aku menganggukkan kepalaku mengerti. "Jadi apa yang harus kita lakukan?"
Dia menatapku serius. "Bisakah kau membawa kita berempat terbang?"
Aku mengangguk. "Tapi tidak akan lama ... apalagi jika disuruh menyerang juga. Aku tidak bisa melakukan semuanya sekaligus."
Haven menatap ke sekitar. Melihat pohon-pohon yang terlihat kedinginan karena diselimuti kepingan salju.
"Haruskah kita berdiri di atas dahan pohon?"
"Ide yang bagus. Tapi sebelum itu mari cek dulu, apakah dia pohon yang menyebalkan atau tidak."
Aku membawa Avere terbang lalu mendarat di salah satu dahan pohon yang besar.
Aku memilih pohon ini, karena terlihat kokoh. Kami berdua menatap selidik penuh pada tumbuhan besar ini.
Tanganku terjulur, mengusap batang pohon yang tertutupi salju.
"Dia tidak bergerak seperti--"
"Caramel!"
Avere berteriak keras padaku. Aku menengokkan kepalaku ke depan.
Dan betapa terkejutnya aku melihat bola salju besar yang mengejar Akio telah lompat, dan bersiap menyerang kami berdua.
"Menyebalkan."