Aku melangkahkan kakiku kesal.
Aku menghentak-hentakkannya kasar sambil terus mengambil selebaran tak berguna itu dari dinding.
"Kenapa mereka menempelkan berita tak berguna seperti ini sih?!"
Aku benar-benar kesal. Dan jika dipikir-pikir kenapa pula orang tertarik membaca berita dengan wajah perempuan aneh di halaman depannya?
Bahkan aku melihat sebagian dari mereka tertawa ketika melihat selebaran yang tertempel di dinding ini.
"Hei sudah cukup Caramel!"
Akio menangkap tanganku. Aku menariknya kembali, berusaha untuk mengambil semua selebaran itu kembali.
Tapi itu percuma.
Tenaganya lebih kuat, karena dia adalah laki-laki.
"Lihatlah! Ada yang marah karena selebaran itu."
"Wah kau benar!"
"Apakah dia adalah perempuan bodoh dalam selebaran itu? hahaha."
Aku mendengus sebal. Kedua tanganku terkepal marah. Ingin sekali melempar mereka berdua ke atas langit.
Bahkan jika bisa akan ku lempar keluar angkasa agar tidak bisa kembali lagi.
"Kurang ajar."
"Hei Caramel tenang," ujar Akio dengan cengkeraman tangan yang mulai mengendor.
Tanganku terus ditahan olehnya, hingga beberapa menit kemudian amarahku mereda dan tidak melakukan hal kekanakkan itu lagi.
"Oh?"
Aku membalikkan tubuhku.
Mataku fokus, menatap salah satu selebaran berita yang terpampang jelas di sana.
"Satu kelompok perampas misi tewas, akibat mengambil misi yang terlalu berbahaya."
"Wah menakutkan sekali," sahut Avere yang kini telah berada di sampingku.
"Iya. Untunglah kita tidak menjadi perampas misi," jawabku datar.
"Jadi ... sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Haven yang sepertinya bosan.
Avere menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Dia melihat-lihat sekeliling, dengan beberapa orang yang membawa senjata di sakunya.
"Bagaimana kalau sekarang kita istirahat dulu, lalu besok pergi belanja."
"Belanja?" tanya kami serempak.
"Kenapa tiba-tiba belanja?" tambah Akio bingung.
"Karena sepertinya kami membutuhkannya. Aku, Haven, dan Caramel ... butuh senjata untuk perlindungan diri."
.
.
Aku sudah beristirahat selama satu hari.
Dan hari ini kami memutuskan untuk berbelanja di pasar. Persis seperti apa yang dikatakan Avere.
Pria bersurai coklat itu mengatakan bahwa, meskipun aku mempunyai kekuatan telekinetik, aku tetap membutuhkan senjata.
Itu benar.
Pada saat kemarin aku tidak memiliki senjata apapun, hingga kebingungan ingin melawan musuh menggunakan apa.
Dan untuk Avere dan Haven, mereka memang bukan pemain penyerang, namun perlu juga sengaja. Sebagai alat perlindungan diri, kalau-kalau musuh menyerang mereka.
"Aku bingung ... kira-kira apa yang cocok untukku ya?" ujarku sambil melihat beberapa senjata di depan.
"Aku akan mengambil ini!"
Haven berseru senang melihat sebuah senjata yang bentuknya sangat unik.
"Itu kan ... keris?" tanyaku sambil menunjuk senjata yang Haven pegang.
"Kau tahu ini? Oh jadi ini namanya keris," ujar Haven sambil manggut-manggut.
"Aku tahu karena senjata itu berasal dari negaraku."
Aku menjawab singkat, sambil terus memperhatikan senjata lain. Mencari sesuatu yang cocok dengan kekuatanmu.
"Sebenarnya apapun pas untukmu, kau tidak perlu sepusing itu," sahut Haven tiba-tiba.
"Tidak. Akan lebih bagus kalau dia menggunakan tipe senjata yang menyerang sekaligus banyak," saran Avere sambil mengambil sesuatu.
Dia berjalan mendekatiku dengan tangan yang memegang sebuah tas panjang namun ramping.
"Kau sepertinya cocok memakai ini."
Aku menerima tas tersebut. Tanganku bergerak membukanya, melihat apa isi dari tas tersebut.
"Panah?"
"Iya. Cocok denganmu, kan?"
Aku menganggukkan kepalaku setuju. "Kemarin saat melawan pria es, dia menyerangku dengan panah. Dan panah tersebut aku kendalikan balik jadi menyerangnya."
"Baguslah."
Aku mendongakkan kepalaku. Melihat Avere belum memilih apa-apa membuatku bingung.
"Kau tidak memilih apapun?"
"Aku sudah membayarnya. Kalian terlalu sibuk sendiri, hingga akhirnya aku memilih senjataku duluan."
"Memangnya apa yang kau pilih?" tanya Akio yang sepertinya penasaran.
Avere tertawa kecil lalu membalikkan tubuhnya.
"Rahasia."
.
.
"Sudah siap!"
Aku tersenyum puas, melihat bidikan lingkaran yang aku buat sendiri di pohon menggunakan pisau lipat.
Aku membuat lingkaran tersebut sebagai bahan latihan. Agar aku bisa menembak tepat sasaran.
"Aku harus bisa," ujarku sambil mengeluarkan beberapa panah.
Pertama-tama aku mencoba dengan satu anak panah.
Tak
Anak panah tersebut berhasil menancap di tengah lingkaran. Lalu aku mencoba lagi, dengan melemparkan lima panah sekaligus.
Tak
Hasilnya masih memuaskan.
Panah-panah tersebut masih menancap di tengah lingkaran.
"Kenapa jadi terlalu mudah ya?" gumamku sambil mengambil kembali panah-panah tersebut.
"Karena lingkaranmu terlalu besar."
Aku menengokkan kepalaku ke belakang. Melihat Avere yang datang menghampiriku.
"Halo Kapten, ini pisaumu."
Aku melemparkan pisau lipat tersebut pada pria bersurai coklat.
Dia menangkap pisau tersebut dengan mudah lalu jalan mendekati pohon yang telah aku ukir.
"Biar aku yang membuat ulang."
Pria itu membuka kembali pisau lipatnya. Dia menambah lingkaran di dalam bidikan, membuat lingkaran di tengahnya menjadi semakin kecil.
Saking kecilnya, bahkan setelah aku kira-kira tidak ada satu sentimeter.
"Jangan hanya menumpukkan panahmu di tengah sekaligus. Tapi coba tancapkan masing-masing satu, dari dua puluh lingkaran yang aku buat."
Aku menganggukkan kepalaku mengerti.
Kalau aku harus konsentrasi di satu titik pasti mudah.
Tapi apakah aku bisa menembak sekaligus di dua puluh titik berbeda?
"Aku akan mencobanya," ujarku semangat.
Aku mengeluarkan dua puluh anak panah. Dadaku naik menarik beberapa oksigen di sekitar sebelum ku hembuskan perlahan.
"Oke ... mulai!"
Tak Tak Tak
Hanya lima anak panah yang berhasil. Selainnya kacau dan malah timpang tindih ke lingkaran lain.
"Susah. Padahal waktu melawan naga es aku---"
"Naga es itu ukurannya besar. Tentu saja mudah kau membidiknya," ucap Avere sambil melipat tangannya di dada.
"Benar juga."
"Mau coba lagi?"
Aku menarik kembali panah-panah tersebut lalu menganggukkan kepalaku mantap.
"Iya!"
Tak
Tak
Tak
Latihan demi latihan aku lalui.
Waktu berlalu begitu cepat, namun kemajuan pada diriku belum nampak begitu jelas.
Dari awal latihan hanya bisa membidik lima anak panah, sekarang baru bisa tujuh.
Ternyata sulit sekali. Membagi konsentrasiku ke beberapa titik.
"Ini baru dibagi ke titik yang berdekatan, bagaimana jika titik menyebar dan kau tidak tahu itu ada di mana?" tanya Avere sambil membalikkan badannya.
"Kalau aku tidak bisa melihatnya ... aku tidak bisa memb---"
"Kau harus mempunyai firasat. Kita tidak tahu musuh apa yang akan menanti kita di masa depan. Bagaimana jika monsternya bisa menghilang?"
Aku tertawa kecil. Mendengar ucapannya dari tadi, aku mendapatkan banyak masukan.
"Kau benar juga. Oke kalau begitu ... aku akan selesaikan latihan yang ini dulu."
"Nanti saja dulu, kita harus menyiapkan makan malam," ujar Avere sambil berjalan meninggalkanku.
Aku membalikkan badanku. Berniat menyusul pria bersurai coklat tersebut.
"Hei kalian jangan hanya sibuk berlatih! Ayo bantu aku menyiapkan makan malam dan mencari kayu bakar!" teriak Haven dari ujung sana.
Aku tertawa kecil lalu berlari menghampiri pria blonde itu.
"Aku akan bantu memasak! Biar sisanya mencari kayu bakar!"