Malam ini sepi.
Setelah bercerita dengan Avere kemarin dan bertukar pikiran akhirnya pria itu meninggalkanku.
Dia menjalani misi, bersama dengan Akio dan Haven.
Tentu saja aku tidak bisa menahannya. Bagaimanapun pasti dia penasaran. Bagaimana rasanya menjalani misi di dunia game yang aneh ini.
"Sunyinya ... membuatku tenang dan mengantuk," ujarku sambil melihat ke luar jendela.
"Tidak kau tidak boleh tidur."
Tubuhku terkejut. Kepalaku berputar, menghadap ke arah sumber suara.
"Hana?"
Perempuan yang mengagetkanku cengengesan. Dia datang, dengan sebuah bingkisan di tangannya.
"Aku kira kau sedang mencari orang lain untuk dipaksa masuk ke dalam game aneh ini?" tanyaku dengan nada meledek.
Perempuan mungil itu mendengus sebal.
Dia duduk di sebelah kursi yang ada di sebelah ranjangku. "Kau pasti bosan di rumah sakit, kan?"
Aku tertawa kecil. "Iya. Terima kasih telah datang mengunjungiku."
"Tentu saja ... aku khawatir padamu."
Perempuan bersurai panjang itu menatap manik coklatku dalam.
Lalu beberapa saat kemudian, dia memberikan bingkisan padaku.
"Untukmu."
"Apa ini?" tanyaku bingung sambil menerima bingkisan rapih berwarna coklat muda itu.
"Buka saja ... Aku yakin kau pasti suka."
Aku langsung menuruti perkataannya. Karena sudah sangat penasaran dengan apa isi bingkisan tersebut.
"Oh?"
Itu adalah sebuah baju.
Baju yang bagus. Berwarna Krem dengan kedua kantung di kanan dan kiri.
Dan saat aku meraba-raba ke bawah, aku mendapatkan sesuatu yang lain lagi. Itu adalah sebuah rok. Rok pendek selutut, dengan celana pendek.
"Ini benar-benar untukku?" tanyaku lagi tak percaya.
"Tentu saja. Bagaimana? Kau menyukainya, kan?"
Aku mengangguk.
Bohong jika aku menjawab tidak suka. Karena baju ini sangat lucu dan bagus.
"Baju ini juga keren, karena tahan dari benda tajam, api, dan air. Jadi akan tetap kering atau tetap seperti ini meskipun kau melakukan misi mengerikan sekalipun."
Hana terlihat senang sekali. Dia seperti ibu yang tengah menghadiahi anaknya sesuatu, ketika anak itu mencapai sesuatu yang baik.
"Tapi kenapa tiba-tiba?" tanyaku bingung.
"Karena kemarin kau keren sekali," ujar Hana singkat.
"Kau menyaksikannya? Kenapa tidak membantu kami kemarin?" tanyaku penasaran.
Perempuan itu menggeleng. "Kalau aku membantu kalian tidak akan berkembang, toh aku percaya kalian bisa melewatinya. Ya ... meskipun kalah."
Aku tersenyum lagi menghela napasku lega.
"Begitu ya ... aku kira kau cuek pada kami."
"Tentu saja tidak. Buktinya aku tahu kau ingin punya kostum yang bagus. Itu aku belikan khusus untukmu," ujarnya dengan riang.
"Terima kasih. Tapi aku rasa ... ini tidak adil," ujarku lirih dengan senyuman kecut.
"Kenapa? Itu tidak terlalu mahal kok. Tenanglah Caramel, aku ini termasuk orang penting di sini ... gajiku banyak."
Perempuan mungil itu berucap bangga. Dia menaikan satu alisnya, memasang wajah sombong padaku.
Aku tertawa keras, melihat wajah dan tingkahnya yang menurutku menggemaskan.
"Wah benarkah? Kalau begitu sering-seringlah traktir kami makan Hana ...."
Perempuan itu mengangguk lalu menundukkan kepalanya sejenak. "Aku juga inginnya seperti itu, namun aku sibuk. Susah sekali rasanya bersantai."
Aku tersenyum lalu melipat kedua tanganku di dada.
"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan. Tapi sepertinya itu sangat berat, jadi tetap semangat ya."
Dia tertawa lalu melirik hadiah yang dia berikan padaku. "Kau harus menerima hadiahku, jika kau ingin aku bersemangat."
Aku tersenyum lalu menatap ke luar jendela.
Langit malam yang tenang. Bulan yang bulat cantik sempurna, dengan sedikit awan di langit.
"Aku takut anggota lainnya akan iri padaku. Aku takut mereka akan berpikir kau mengistimewaku," ujarku ragu-ragu.
Aku menurunkan tanganku. Kedua ibu jariku beradu, saling bertengkar seperti sedang bermain adu ayam.
Aku takut. Aku ingin menolak hadiah dari Hana dengan halus, agar tidak menyakiti perasaannya.
"Tidak perlu. Toh Haven telah membeli kostumnya sendiri," ujar Hana.
"Benarkah? Secepat itu?" tanyaku penasaran.
Tentu saja aku terkejut. Apalagi kemaren, misi kami gagal. Dan poin kami dikurangi akibat gagalnya misi tersebut.
Tapi tiba-tiba Hana bilang kalau Haven telah membeli kostum.
"Iya. Mereka menjalani misi dengan cepat. Meskipun bukan misi level tinggi," jelas Hana singkat.
Aku menganggukkan kepalaku mengerti.
Aku bersyukur mereka cepat beradaptasi.
Seharusnya aku tidak heran. Karena mereka bertiga laki-laki.
Dan yang aku pikirkan tentang laki-laki adalah, mereka cepat atau mudah bergaul.
"Jadi kau akan menerima hadiahku, kan?"
Aku menghela napasku kasar.
Perempuan ini benar-benar gigih. Terus saja memaksaku untuk mengambil hadiah darinya.
"Sebaiknya kau terima, karena jika tidak ... teman-temanmu yang akan membelikanmu kostum."
"Apa?"
Perempuan muda itu mengangguk, lalu berdiri dari duduknya.
"Pikirkan baik-baik ya!"
.
.
.
"Nona Caramel, anda sudah boleh pulang."
Aku tersenyum lega, melihat seorang perempuan berbaju putih itu tersenyum ramah padaku.
Dia memberikanmu beberapa obat, sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
"Tapi tetap harus minum obat ya, dan jangan menjalani misi dulu."
"Jadi dia sudah boleh pulang?" tanya Akio datar.
Perawat cantik itu mengangguk. "Kalian jaga dia, jangan biarkan dia melakukan hal yang aneh dulu."
"M-maaf ... apakah aku terlihat seperti orang yang akan melakukan hal aneh?" tanyaku sedikit sebal nan tersinggung.
"Hehe apakah kau belum mendengar beritanya?" tanya perawat itu.
Aku mengangkat sebelah alisku. Bingung dengan keadaan yang aneh ini.
"Pfft."
Semua teman-temanku terlihat seperti sedang menahan tawa.
Aku menatap wajah mereka satu persatu, dengan satu alis yang naik ke atas.
"Apa ada hal yang lucu?" batinku bingung.
"Apa yang kalian tertawakan?" tanyaku penasaran. Tak sanggup menahan rasa ingin tahu di dalam kepalaku.
"Ada berita besar, yang terpampang jelas di selebaran. Di dalam kertas itu dijelaskan bahwa ada seorang bocah perempuan nekat, yang berani melawan musuh dengan level kekuatan jauh di atasnya."
Pria blonde itu menjelaskan. Tubuhnya sedikit bergetar, sambil menahan tawa.
"Lalu di mana letak lucunya?" tanyaku bingung.
"Kau harus lihat sendiri."
Akhirnya pria datar bersurai hitam membuka mulut.
Akio melangkahkan kakinya maju, menghampiriku. Tangannya bergerak, seperti sedang merogoh sesuatu dalam saku jubahnya.
"Ini."
Manik kecoklatanku terbelalak. Tanganku bergerak cepat, merebut selebaran yang pria itu sodorkan padaku.
"Kenapa wajahku seperti ini?!" teriakku kesal.
Bagaimana aku tidak kesal?
Wajahku dalam foto ini sangatlah jelek.
Dengan rambut yang basah kuyup, baju compang-camping, dan wajah lesu.
Benar-benar terlihat seperti gembel.
Apalagi ekspresiku di sini terlihat sangat melas.
Seperti telah dengan yang minta dikasihani.
"Bagaimana? Cocok bukan? Wahai wanita kuat," ledek Haven.
Wajahku menghangat. Bukan karena ribuan kupu-kupu yang berterbangan di perutku akibat jatuh cinta.
Tapi karena rasa malu.
Teman-teman satu timku benar-benar menyebalkan.
Aku mendengus sebal seraya meremas kuat kertas selebaran tak berguna itu.
"Dasar! Siapa yang mencetak benda tak berguna ini?!"