Jleb
Beberapa panah berhasil mengenai tubuhku. Aku terjatuh di atas sampan, dengan mulut yang terus mengeluarkan darah.
Uhuk
Aku pusing. Tubuhku benar-benar lemas.
"Sudahku bilang ... kau bodoh."
Blue berjalan mendekatiku. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, aku mendongak. Menatap pria bersurai biru yang tengah tersenyum congkak itu.
"Katakan selamat tinggal," ujarnya dengan semua panah yang dia arahkan padaku.
Aku mendengus sebal dengan tangan yang terkepal keras.
"S-selamat tinggal."
Dia tertawa kecil lalu kemudian melepaskan semua panah itu padaku.
"Selamat tinggal juga No-- ugh."
Jleb Jleb Jleb
Semua panah itu menusuk tubuhnya.
Aku tersenyum puas. Melihat pria bersurai biru yang kini juga berlumuran darah sepertiku.
Kepalaku mulai pusing. Pandanganku buram, membuat semuanya semakin tak jelas.
Ditambah dengan permukaan air yang tak merata, menjadikan kendaraan mungil laut ini sedikit terombang ambing.
Bruk
Aku pingsan. Tidak sanggup lagi untuk membuka mataku.
.
.
"Ugh."
Aku melenguh pelan. Udara dingin masuk menyentuh kulitku. Aku menggerakan kepalaku ke kanan dan kiri, sebelum mencoba membuka kelopak mataku.
"Di mana?" lirihku dengan suara khas bangun t tidur.
"Kau sudah bangun?"
Suara yang amat ku kenal, dengan nada dingin super cueknya.
Ini bukan suara Akio.
Namun Haven.
"Haven? Kau baik saja?" tanyaku dengan kedua mata yang ku sipitkan.
Mencoba memastikan apakah yang baru saja mengajakku bicara dengan nada menyebalkan itu benar Haven atau tidak.
"Aku baik. Kenapa? Kau terkejut orang lemah sepertiku tidak sekarat sepertimu?"
"Apa?"
Aku mengernyitkan dahiku bingung. Aku bangun dari tidurku. Aku duduk lalu bersandar di ranjang ini.
Pria bersurai blonde itu melangkahkan kakinya maju.
Wajahnya seram dengan mata birunya yang amat tajam.
"Akibat rencanamu ... kita kehilangan banyak poin."
"Apa? Jadi kita kalah?" tanyaku memastikan ulang.
"Tentu saja! Jangan berpura-pura! Aku tidak akan mengasihanimu karena kau baru saja bangun! Kau tahu poin yang kita kumpulkan untuk membeli kostum itu habis!"
Manik kecoklatanku bergetar.
Ini pertama kalinya dalam hidupku aku dibentak seperti ini oleh orang yang tidak terlalu dekat.
Aku bahkan tidak menyangka kalau dia berani membentakku.
"M-maaf."
Hanya itu. Kata-kata yang keluar dari mulutku.
Pria blonde di depanku berdecih pelan. Dia kembali menatapku.
Dengan tatapan intimidasi. Aku tak nyaman, sehingga menundukkan wajahku.
"Kau sombong. Apa kau pikir mempunyai kekuatan telekinetik bisa menyelesaikan semua masalah? Bisa mengatur kami? Apakah kau ketua di sini?"
Aku mencengkram erat sprei yang menyelimuti kakiku.
"Saat aku membuat keputusan itu ... kau ada di sana. Kenapa kau tidak memberikan masukan?"
Haven tertawa.
"Aku sudah memberi masukan! Namun kau tidak mendengarkannya!"
"Iya! Oleh karena itu aku sudah meminta maaf tadi! Apakah itu tidak cukup bagimu?!" tanyaku dengan nada yang mulai meninggi.
Aku tahu aku salah.
Dan aku sudah meminta maaf.
Tapi pria ini, malah mengajak bertengkar.
"Kau memang salah! Harusnya kau dengarkan pendapatku!"
Aku mendengus sebal.
Padahal saat itu, Akio juga ada di sana. Kenapa dia tidak menyalahkan Akio?
Kenapa hanya aku?
Mataku memanas. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha untuk menahan tangis menyedihkan yang ingin keluar.
Ceklek
Aku menengokkan kepalaku ke arah pintu.
Sungguh lega hatiku. Ada seseorang yang masuk, hingga memotong pembicaraan kami.
"Akio ...."
Aku menundukkan kepalaku. Tak berani menatap manik hitam legam pria itu.
"Aku membawakanmu obat."
Dia meletakkan beberapa obat di meja nakas kecil samping tempat tidurku.
"Terima kasih," ujarku lirih.
"Kau juga harus berterima kasih pada Haven. Dia yang mengobatimu sampai bolong-bolong di tubuhmu itu tertutupi."
Aku mendongakkan kepalaku. Pria blonde itu mendengus sebal lalu berjalan menuju pintu.
Dia ingin pergi dari sini.
Seperti tidak menyukai berlama-lama denganku.
"Hei mau ke mana?"
Seorang anak perempuan menghalangi jalan Haven.
Aku tersenyum kecil melihat Hana dengan seorang pria bersurai coklat di belakangnya.
"Masuk dulu ... ada yang ingin aku bicarakan."
Haven menghela napasnya kasar. Dia membalikkan tubuhnya, lalu kembali berdiri di depan ranjangku.
"Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba saja datang?" tanya Akio seperti sedang menginterogasi.
"Caramel sedang sakit, tentu saja aku datang. Dan aku juga ingin memperkenalkan seseorang pada kalian ...." Hana menengokkan kepalanya pada pria di belakangnya.
Pria itu tersenyum ramah lalu memperhatikan wajah kami satu persatu.
"Kau bisa memperkenalkan namamu, mereka ini nantinya akan jadi rekan satu timmu." Hana tersenyum seraya menepukkan lengan pria itu beberapa kali.
Pria itu tertawa renyah lalu mulai memperkenalkan dirinya.
"Namaku Avere. Aku seorang telepati."
"Wah keren," kagumku dalam hati.
Aku menepuk-nepukkan tanganku. Bersemangat menyambut pria di depanku ini.
"Avere ini sangat pintar. Dia ahli strategi lho! Jadi kalian menjadikannya sebagai kapten!" seru Hana riang.
"Wah keren ... memangnya apa pekerjaanmu hingga ahli strategi seperti itu?" tanyaku penasaran dan mulai bersemangat.
Pria itu tertawa.
Dia menatapku dalam sambil tersenyum lembut.
"Rahasia. Maaf aku tidak bisa memberitahukannya," ujarnya dalam pikiranku.
Aku melongo.
Mendengar suaranya terngiang di kepalaku rasanya sungguh menakjubkan.
"Kau menakjubkan ... keren sekali," pujiku lagi dengan mata yang berbinar-binar.
Pria bersurai coklat itu tersipu malu. Dia menggaruk pipinya dengan jari, sambil sesekali membalas tatapanku.
"Aku juga berterima kasih pada kalian, karena telah menerimaku dalam tim ini."
.
.
Keesokan harinya
Avere datang menjengukku.
Aku tersenyum padanya, menyambut pria bersurai coklat tersebut.
"Kau tidak ikut latihan bersama Akio?" tanyaku padanya.
Karena sejujurnya hari ini Akio dan Haven sedang menjalani misi.
Mereka bilang jika terus menerus beristirahat, kekuatan mereka tidak akan naik level. Mereka tidak akan bertambah hebat, dan akan sulit menjalani misi.
"Aku sudah membantu mereka kok."
Aku mengernyitkan dahiku. "Benarkah?"
Pria itu mengangguk. "Aku memberikan beberapa saran dan strategi pada mereka. Sebenarnya aku juga ingin ikut ... namun harus ada yang menjagamu di sini, kan?"
Aku tertawa kecil lalu melemparkan pandanganku ke luar jendela.
Melihat beberapa orang yang berlalu-lalang di luar sana.
"Kau begitu perhatian, dibandingkan dengan mereka berdua."
"Hehe ... tapi yang mengusulkan untuk ke sini itu Akio."
Aku menengokkan kepalaku menghadapnya. Menatap matanya binging menyiratkan tanda "Benarkah?" padanya.
Pria itu mengangguk.
Dia mengerti.
"Akio ingin sekali menunggumu di sini, tapi aku cegah. Karena jika aku yang menjalani misi bersama dengan Haven akan sulit. Kau tahu, kan? Kami berdua buka pemain tipe penyerang."
Aku mengangguk mengerti.
Aku tersenyum kecil, membayangkan pria cuek nan datar itu ternyata mengkhawatirkanku.
"Lucu sekali ya?"
"Apa?" tanyaku bingung pada pria di samping ranjangku ini.
"Hubungan pertemanan kalian ...
kalian terlihat tak peduli, suka memarahi dan mencela satu sama lain ... namun nyatanya sayang. Hubungan kalian unik, aku sangat tertarik."
Aku tertawa mendengar penuturannya.
Yang dikatakan olehnya benar.
Meskipun aku baru menyadarinya hari ini.
Haven yang memarahiku padahal aku baru saja bangun dari pingsan. Tapi Akio bilang, dia yang menyelamatkanku mati-matian agar luka di tubuhku cepat membaik.
"Jadi apakah dia marah dan meledak kemarin karena melihatku terluka?" tanyaku pada Avere.
Pria bersurai coklat itu mengangguk. "Tolong jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati oke?"