"Meledak!"
Bom
Air laut yang asin ini berhamburan. Aku dan teman-temanku kembali masuk ke air, karena ledakan dahsyat tersebut.
Aku tidak bersiap kali ini. Karena tidak menyangka akan diserang oleh seseorang yang tidak kami kenal.
"Apakah kuda laut itu mati?" tanya seseorang dengan surai putih yang tengah melayang di udara.
Gerakannya sangat cepat. Hingga pandanganku tak bisa melihatnya tadi.
"Jadi dialah bayangan putih yang aku lihat tadi."
Ketiga orang lainnya datang menggunakan perahu es. Satu perempuan bersurai violet, dan dua orang lainnya pria kembar bersurai merah, dan biru.
Penampilan mereka nampak mencolok. Mereka tertawa-tawa keras sambil menyerang kuda laut yang berada di atas langit itu.
Perempuan bersurai violet meluncurkan gas berwarna ungu. Sedangkan si kembar melemparkan es dan api. Sesuai dengan warna rambutnya.
Aku terdiam. Melihat orang-orang saling bertarung, tanpa sadar membuat aku terpana.
"Hei Caramel! Jangan diam saja! Apakah kau mau poin dan uang kita diambil oleh mereka?" tanya Akio yang telah bersiap maju.
Aku baru sadar. Kalau mereka dibiarkan, maka poin kelompok kami akan direbut.
Aku menganggukkan kepalaku lalu menatap perempuan bersurai violet itu.
"Lempar."
Tubuh perempuan itu terlempar jauh ke depan. Hingga tenggelam di tengah lautan berwarna biru tua ini.
Teman-temannya terkejut dan bingung. Bertanya-tanya siapa yang baru saja melakukan hal itu.
Mereka berempat serempak membalikkan tubuh mereka kepada kami.
Aku menatap mereka tajam, lalu kembali melemparkan salah satu dari anggota mereka.
"Lempar."
Kali ini si terbang cepat. Aku melemparnya ke barat. Membuat pria itu menghilang tidak berada di sekitar kami lagi.
"Dasar anak baru sialan!" teriak kesal si pengendali petir.
Dia melemparkan petir-petir kecil ke arah kami berjumlah sepuluh.
Aku tersenyum kecil lalu menarik napasku dalam-dalam.
Dan sebelum petir itu mengenai kami ....
"Berbalik."
Petir itu berputar dan malah menyerang mereka.
Ctar Ctar
Mereka berteriak ketakutan. Namun si kembar berkepala biru segara mengeluarkan kubah es untuk melindunginya, beserta teman-temannya.
"Ternyata anak baru ini merepotkan!"
"Ah sial padahal aku kira ini mudah!"
Kubah es itu mencair. Bola api besar terlihat di depan kami. Membuat kami bergidik ngeri ketakutan.
"Oh tidak. Aku tidak bisa melempar bola api."
"Ah yang benar?" tanya Akio setengah panik.
"Itu terlalu besar dan sulit dikendalikan seperti air," ujarku sambil mengepalkan kedua tanganku geram.
"Tapi tadi kau bisa mengendalikan petir!" ucap Akio tak terima.
Aku juga tidak mengerti. Dari aku kecil, aku sudah bisa mengendalikan listrik. Bahkan pernah sekali menahan konsleting listrik di rumah.
"Itu terjadi begitu saja!" teriakku marah.
"Hei berdebatnya nanti dulu ... kita harus menyelamatkan diri dulu!"
Ngiing
Suara dengungan kembali muncul. Membuat semua orang yang berada di sini memegangi kepalanya karena tak tahan dengan suara nyaring tersebut.
"Akh!"
Kabut putih tiba-tiba saja muncul. Langit menjadi gelap, pandangan menjadi kabur. Kita semua ketakutan, karena tidak bisa melihat apa-apa.
Teng
Teng
Teng
Suara jam dinding terdengar keras. Aku mengernyitkan dahiku bingung saat mendengar bunyi jam berada di tengah laut seperti itu.
"Apa yang terjadi? Akio! Haven!"
Aku berteriak. Mencari teman-temanku yang barangkali berada di dekat sini.
Sunyi. Tidak ada yang terlihat lagi kecuali kabut putih dan hembusan angin yang seperti sedang berbisik.
"Caramel ...."
Suara misterius terdengar masuk ke dalam telingaku. Aku menengokkan kepalaku ke belakang.
Manik kecoklatanku teredar. Menatap sekitar yang penuh dengan kabut putih.
Aku tiarap. Tanganku menyentuh lantai kayu sampan yang aku naiki ini. Aku merangkak, sambil mengetuk-ngetukkan sampan ini.
"Kosong. Tidak ada tubuh teman-temanku. Ke mana mereka sebenarnya?"
Aku khawatir. Sungguh khawatir. Bagaimana kalau mereka sudah mati tenggelam?
Karena aku yang menaiki sampan sendiri.
"Bagaimana ini?"
Splash
Kilatan panah es baru saja melewatiku. Aku menyipitkan mataku tajam, melihat siapa orang yang baru saja menyerangku.
"Si kembar biru," gumamku saat melihat orang itu.
Dia tertawa kecil. Tubuhnya santai, duduk di atas bongkahan es tipis yang mengambang di atas permukaan air.
"Tidak ku sangka aku akan mengalahkanmu," ujarnya dengan senyuman miring.
"Apa maksudmu? Di mana aku sebenarnya?" tanyaku bingung.
"Kau bodoh ternyata. Kau mengambil misi ini tanpa mencaritahu kekuatan dari monster di misimu?" tanyanya dengan nada menyebalkan.
Orang di depanku ini benar-benar mirip dengan Akio ketika sedang meledek.
"Sang Penakluk. Kenapa dia diberikan judul seperti itu? Karena saat dia sekarat, dia akan membuat lawannya bertarung satu lawan satu, saling menaklukkan satu sama lain hingga salah satu dari kita mati."
Dia tersenyum miring lalu berdiri dari duduknya. Tangannya mengeluarkan udara dingin. Mirip sekali seperti film kartun luar negri.
Seorang putri yang bisa mengeluarkan es.
Splash
Dia mengeluarkan panah-panah tajamnya lagi.
Aku terbang menghindari panah-panah yang hampir menusuk tubuhku itu.
"Oh tidak!" teriakku dalam hati saat melihat panah itu tak ada hentinya mengejarku.
"Kau bisa membalikkan petir temanku dengan mudahnya tadi. Kenapa yang ini tidak bisa? Apakah kau sudah menghabiskan banyak energimu?" tanyanya dengan nada meledek.
Aku terus menghindar. Tubuhku meliuk-liuk gesit, menghindari serangan mengerikannya.
"Apa yang dia katakan ada benarnya. Aku sedikit kelelahan, aku terus saja menghindar mengeluarkan energi kekuatanku sedikit," batinku khawatir.
"Kau tahu berapa level kekuatan tim kami? Kami di level tiga! Kalian pasti masih di level lima, kan?" tanya pria bersurai biru itu sombong.
"Dia mengira aku masih level lima. Ini bagus, dia bisa lengah karena menganggap remeh aku," batinku senang.
Yang aku lakukan sekarang adalah berpura-pura lemah.
"Cih ... tidak seru."
Dia berdecih sebal. Matanya nampak malas, melihat kecepatan tubuhku yang mulai berkurang.
Wajahku mulai panik, saat melihat banyaknya hujaman panah yang semakin cepat.
Tubuhku sempoyongan. Aku jatuh di atas sampan, dengan kedua tangan yang menyentuh kayu sampan.
Splash
Aku membelakkan mataku. Saat merasakan sebuah panah melesat ke sampingku.
Crat
"Akh!"
Aku berteriak kesakitan. Panah itu menggores lengan atasku.
Aku terkejut. Bukan terkejut karena panah itu mengenai lenganku, namun terkejut karena dari jauh aku bisa merasakan panah tersebut.
"Kenapa ini? Apakah ini artinya ...."
Aku membatin bingung. Hingga tak sadar, pria bersurai biru itu tengah berjalan mendekatiku.
Jubah yang aku kenakan robek, begitu pula dengan piyama di dalamnya. Cairan kental berwarna merah mengalir keluar, beriringan dengan rasa perih.
"Kau lemah dan membosankan."
Dia menghentikan gerakan panahnya.
Cling
Cling
Tiap langkah yang dia ambil ... dan tiap permukaan air yang dia pijaki berubah menjadi es.
Hingga akhirnya pria tersebut berhenti di depan sampanku.
"Sekarang ada kata-kata terakhir?"
Dia tersenyum penuh kemenangan. Tangannya terjulur ke depan seakan siap menusukku dengan es yang dia buat.
Aku meringis pelan. Tatapanku sendu bercampur marah saat diledek oleh pria di depan ini.
"Jangan marah begitu. Kau masih lemah, wajar saja kalah denganku."
Aku tersenyum miring. Melihat dia merasa di atas angin, membuatku bahagia.
"Aku harus mengalahkannya," batinku.