Suara nyaring yang dikeluarkan kelelawar membuat kedua kaki kami lemas. Aku terjatuh ke tanah dengan kedua tangan yang menutup telinga.
Kedua mataku menyipit. Sambil melihat ke sekitar, di mana kelelawar raksasa itu berada.
Ini dini hari. Biasanya aku tertidur dan tenggelam di dalam mimpi indahku, kini aku berada di dalam hutan.
Bertarung melawan kelelawar raksasa yang mengerikan ini. Kehidupan setelah masuk ke dalam dunia game ini benar-benar berubah.
Cratt
Satu tebasan kencang Akio lontarkan pada hewan malam kejam itu.
Pria bersurai hitam itu langsung terjatuh, tepat saat kelelawar membuat suara tidak mengenakan lagi. Dia berteriak kesakitan. Apalagi mata pedang tajam milik Akio berhasil menggores salah satu sayapnya.
"Ugh sial ... ayo bantu aku!" teriak Akio dengan suara parau.
Aku menatap ke sekitar. Mencari-cari adakah sesuatu yang bisa menjadi senjataku.
"Oh?"
Mataku berhenti, saat melihat beberapa batu-batu berukuran lumayan besar.
Aku tersenyum kecil lalu melemparkan batu-batu tersebut secara serempak.
Bugh
Bugh
Bugh
Kalelawar itu terlihat kesal. Dia berteriak marah lalu terbang ke arahku.
Cratt
Cratt
Dan di saat itulah makhluk raksasa itu lemah. Akio dengan cepat langsung memotong kedua sayap kalelawar tersebut hingga lepas.
Binatang malang itu jatuh. Berteriak kesakitan dengan mata yang perlahan menutup.
"Aku tidak tega dengannya ... haruskah kita benar-benar membunuhnya?" tanyaku lirih.
"Iya. Aku akan menebas lehernya. Kalau kau tidak ingin melihatnya silahkan berbalik badan dulu."
Aku membungkam mulutku. Melihat aura gelap dari pria yang memegang dua pedang itu benar-benar membuatku takut.
"Baik."
Aku membalikkan tubuhku lalu berjalan menjauhi teman-temanku.
"Ah sial ...."
Aku mendengus sebal. Dengan langkah kaki yang sedikit gontai, aku memaki piyama panjangku ini yang sepertinya sudah tak nyaman lagi di pakai.
Lagipula siapa yang ingin memakai piyama saat menjalankan misi bertarung?
"Aku harus mengumpulkan uang agar bisa membeli kostum. Haah ... aku jadi rindu ke-- wah!"
Tubuhku mundur ke belakang. Aku terkejut saat melihat kunang-kunang raksasa yang berada di depanku.
Dia mendaratkan tubuh besarnya. Bagian belakang tubuhnya yang menyala itu berkerlap-kerlip seperti sedang mengajakku berbicara.
"Aku tidak mengerti bahasamu. Tidak bisakah kau menggunakan bahasa manusia?"
Kunang-kunang itu terbang. Beriringan dengan teman-temanku yang menghampiri.
"Kau mengobrol dengan hewan raksasa itu?"
Aku tersenyum sambil terus menatap serangga raksasa itu pergi.
"Mungkin? Tapi sayang sekali ... aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan."
.
.
.
Aku termenung. Duduk di batu, pinggir sungai yang amat jernih.
Kepalaku penuh dengan banyak dugaan-dugaan akan misi selanjutnya atau bagaimana caraku untuk mengumpulkan uang yang banyak di sini.
"Banyak barang yang harus aku beli ... aku bingung," gumamku dengan tatapan kosong menatap sungai.
"Melamun seperti itu tidak ada gunanya. Lebih baik kau berdiri sekarang, dan ikut kami mengambil misi di ibukota."
Celetuk pria sombong itu masuk ke telinga. Aku menatapnya malas dengan bibir yang mengerucut sebal.
"Misi?"
"Iya. Kau tidak mau ikut?" tanya Akio dengan datar.
Aku berdiri dari dudukku menghampiri pria bersurai hitam itu.
"Tentu saja aku ikut. Tapi misi level berapa yang ingin kita ambil?" tanyaku penasaran.
"Level lima ...."
Aku mendengus kesal lalu berjalan melewati Akio begitu saja.
"Kenapa? Apa menurutmu itu terlalu kecil?"
Untung saja dia peka. Aku mengangguk lalu berbalik menghadapnya.
"Ayo kita pilih misi level tiga."
"Tidak!"
Teriakan dari belakang begitu nyaring. Haven yang baru saja teriak itu datang, menghampiri kita berdua.
"Jangan! Kekuatan kita itu belum cukup! Bagaimana bisa kau yakin sekali mengambil misi tingkat tinggi?!" tanyanya dengan nada naik satu oktaf.
"Kita perlu banyak uang Haven. Apakah kau tidak mau pakai baju baru?" tanyaku seraya melihat kedua tangan di dada.
"Tapi itu berbahaya!" sanggah Haven.
"Tenang saja ... ada Akio dan aku. Jika kita terluka, kau juga bisa mengobatinya. Kita adalah tim yang saling melengkapi," ujarku sambil menyunggingkan senyumanku.
"T-tapi ...."
"Kau tidak yakin dengan kekuatanmu sendiri Haven?" tanya Akio bingung.
"T-Tidak aku hanya," ujarnya gugup dan ragu-ragu.
Aku menghampirinya. Tangan kananku terjulur menepuk pundaknya. "Kau pasti bisa. Tenang saja kami akan membantumu kok."
Dan pada akhirnya kami menerima misi level tiga itu.
Setelah selesai melakukan registrasi, kami langsung berangkat. Perjalanan untuk menyelesaikan misi level tiga ternyata cukup jauh. Misi tersebut adalah mencari 'Sang Penakluk' yang berada di tengah laut Bibimorgana.
Kami saja tidak tahu di mana laut tersebut. Apalagi dengan Sang Penakluk. Seluruh tempat di dalam dunia game ini masih terasa asing bagi kami.
Hingga beberapa jam berlalu akhirnya kami sampai di salah satu dermaga yang menyewakan kapal mereka pada pemain game ini.
"Kalian terlalu muda untuk mengambil misi itu," ujar seorang kakek tua.
Kakek ini adalah orang yang menyewakan perahunya pada pemain game. Dia terlihat seperti kakek tua pada umumnya. Janggut dan rambutnya putih, wajahnya berkeriput, dan tubuh yang sedikit kurus.
"Tapi kami sangat membutuhkan uang." Aku memohon pada kakek tersebut. Agar Kakek itu mau, menyewakan perahunya pada kami.
"Lebih baik kalian menjadi pemburu misi dari pada menjalani misi level tiga. Itu sangat berbahaya ... lagipula apakah kalian bisa berenang?" tanya Kakek tersebut cemas.
Pandangan kakek itu terlihat takut. Aku tidak tahu alasannya, tapi dia tidak ingin menatap mata kami.
"Aku bisa berenang. Toh kalo mereka jatuh ke laut aku bisa mengangkatnya," jawabku dengan percaya diri sebisa mungkin.
Aku ingin meyakinkan kakek ini. Agar tim kami diberikan kesempatan untuk menyewakan kapalnya.
"Kalian tidak tahu. Kalau Sang Penakluk itu sangat berbahaya, banyak orang yang tidak pernah kembali habis menjalankan misi itu ...." Raut wajah kakek itu berubah sedih.
Dia menundukkan wajahnya ke bawah sambil mengusap gusar kulit wajah yang keriput itu.
"Apakah seberbahaya itu?" tanyaku dalam hati.
Perasaan ragu malah mulai masuk ke dalam hatiku.
Aku berdecih sebal lalu menggelengkan kepalaku pelan.
"Tidak! Aku harus bisa, kita kan sudah mengambil misinya!" ujarku percaya diri dalam hati.
"Baiklah jika kalian memaksa, tapi ada hal yang perlu kalian ingat."
Ucapan kakek tua itu membuat aku dan teman-teman mematung.
Menunggu mulutnya kembali berbicara menyampaikan sesuatu dari sana.
"Kalau perahu kalian sampai rusak, tolong kembalikan dengan harga dua kali lipat."
Aku dan teman-temanku meneguk air liur kami kasar.
Kedua tanganku ku kepal keras. Menahan rasa takut yang sepertinya mulai menghantui kepalaku.
Puk
Sebuah tangan besar mendarat tepat di bahuku. Aku menengokkan kepalaku ke samping, melihat Akio yang tengah menatap wajahku datar.
Dia menganggukkan kepalanya satu kali. Seperti sedang memberikan semangat padaku.
"Tidak apa. Toh kami yakin akan berhasil."
Ucapan Akio membuat kakek tua itu tersenyum. Entah apa isi dari senyumannya itu, bisa membuat hatiku kembali ragu.
"Apakah akan baik-baik saja?" batinku.