Aku menarik udara di sekitarku dalam-dalam. Manik kecoklatanku menatap ke sekitar, melihat para binatang buat itu yang siap menerkamku.
Ekor-ekor macan tersebut bergoyang. Beriringan dengan bagian belakang tubuh mereka. Seperti sedang melakukan ancang-ancang, untuk menyerangku.
"Awas!" teriak Haven saat melihat salah satu macan tutul itu melompat.
Sudut bibirku naik. Aku menatap macan tutul yang lompat tersebut, dan ...
"Hempaskan."
Tubuh macan tutul itu terbang lalu terbentur pohon besar di belakangnya.
"Tusuk."
Satu jarum suntik melayang ke arahnya saat macan tutul malang itu tengah berusaha bangkit.
Namun sayang sebelum dia kembali menyerangku, jarum bius itu sudah menacancap tepat pada bokongnya.
Rawwr
"Kucing yang malang," lirihku sambil memperhatikan mereka satu persatu.
Satu persatu dari mereka mulai menerkamku. Aku kembali mengulangi tindakanku tadi, hingga tersisa dua ekor macan tutul.
"Ugh."
Rasa sakit di kepalaku tiba-tiba saja muncul.
Sangat sakit rasanya seperti ada ribuan jarum yang menusuk di sana.
"Argh!"
Aku berteriak kencang. Tubuhku lunglai hingga tak kuasa terbang lagi.
Bugh
Aku terjatuh ke tanah. Mataku tidak bisa berfungsi dengan baik, semuanya buram hingga membuatku mual dan pusing.
Rawwr Rawwr
Raungan lapar para hewan karnivora itu mendengung di telingaku. Aku merauk tanah di tempat aku terjatuh. Meluapkan rasa kesal dan menahan sakit dari genggaman tersebut.
"Caramel jangan lakukan apapun!" suara Haven masuk ke dalam telingaku.
"A-ah m-macan t-tutulnya," ujarku terbata dengan pandangan yang kabur.
Tap
Tap
Tap
Seorang bersurai blonde mendatangiku. Wajahnya yang pucat itu terlihat tak berbentuk, akibat pandanganku yang tidak jelas.
"Tidak perlu khawatir, Akio akan mengurusnya." Dia memegangi keningku pelan.
Sebuah cahaya silau keluar dari tangannya. Aku menutup kedua mataku perlahan. Tak tahan dengan rasa sakit dan pusing, serta cahaya silau yang aku lihat dari tangan Haven.
"Kau istirahat dulu ... biar kami yang mengurusnya!" teriak Akio.
Aku tersenyum sinis lalu menenangkan tubuhku. Bersiap untuk istirahat sejenak.
"Baik. Tolong urus dengan baik teman-teman."
.
.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Suara-suara langkah kaki, dengan decitan roda-roda mengganggu tidurku yang nyenyak.
"Ke sini! Ayo masukkan dia ke dalam ruang gawat darurat!" teriakan salah satu orang yang tidakku kenal.
"Apa itu?" gumamku sambil membuka kedua mataku.
"Caramel?!"
Suara teriakan dari dua orang pria masuk ke dalam gendang telingaku. Aku menatap mereka datar, berbeda dengan mereka yang ternyata menatapku khawatir.
"Oh? Akio juga bisa khawatir ternyata," batinku.
"Kau baik-baik saja? Dokter bilang kau terlalu memaksakan diri," ucap Haven.
Aku menganggukkan kepalaku pelan dengan senyuman kecil. "Bagaimana tadi? Apakah berhasil?"
"Tentu saja berhasil. Haven juga sangat bekerja keras tadi hingga mimisan," jawab Akio dengan nada datar andalannya.
Kedua bola mataku sedikit melebar.
"Mimisan? Kenapa?" tanyaku bingung setengah terkejut.
"Iya. Sepertinya juga aku terlalu memaksakan. Tapi yang aku terima tidak separah dirimu Caramel ...." Haven menggarukkan pipinya sambil tersenyum kikuk padaku.
"Iya. Haven hanya mimisan, sedangkan dokter bilang kau akan kena mati otak jika terlalu memaksakan telekinetikmu itu," ujar Akio.
"Apa?!" tanyaku berteriak.
Para pasien yang lalu lalang di depan kami berhenti. Mereka sontak menengokkan kepalanya menghadap kami, yang sedang bergosip ria di ranjang koridor rumah sakit.
Aku tertawa kecil lalu menundukkan wajahku malu.
"Mati otak?" tanyaku ulang dengan nada berbisik.
"Iya. Kekuatan kita semua kan berasal dari otak. Hanya saja yang membedakan dengan manusia lainnya, otak kita bisa digunakan 12% sedangkan manursia normal pada umumya hanya 11%" Aku manggut-manggut mengerti lalu meremas kuat sprei putih rumah sakit ini.
"Kau benar Akio ... itu sebabnya kenapa nama game ini 12%" tambah Haven.
Aku terus menundukkan wajahku, sambil menghela napas kasar. "Jadi sampai kapan aku harus istirahat?"
"Kata Dokter tadi sekitar dua hari. Otakmu akan kembali menyesuaikan. Kau tadi terlalu memaksakan, padahal kau anak baru. Kau juga Haven, kau mimisan tadi. Kalian jangan terlalu gegabah ... terkena mati otak level lima itu bukan suatu hal yang menyenangkan," jelas Akio marah.
Entah kenapa melihatnya marah lucu. Karena dalam ocehan itu terdapat sebuah pesan tersirat kalau dia mengkhawatirkan kami.
Tapi yang membuatku penasaran adalah kata-katanya yang terakhir.
"Mati otak level lima?" tanyaku bingung.
"Iya. Apa itu? kenapa kau berkata seperti itu seakan sudah pernah mengalaminya?" tanya Haven bingung.
Aku menganggukkan kepalaku setuju. Karena jujur, aku juga sangat penasaran saat Akio mengatakan itu.
"Aku melakukan misi ilegal, dan mengalami cedera kaki dan perut hingga mati otak level lima. Mati otak di dunia game ini ada lima level sama seperti level kekuatan," jelas Akio sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Apa yang kau rasakan saat mati otak?" tanyaku penasaran.
"Seperti tidur. Tapi dokter bilang aku tidur selama dua hari, dan saat itu aku langsung menjalani misi level sepuluh. Ya ... meskipun misiku itu diambil oleh seseorang." Akio menatap mataku sinis.
Aku tertawa cengengesan pura-pura lupa. Perasaan iba sepertinya mulai tumbuh di hatiku sekarang.
Entah apa alasannya hingga dia berani mengambil misi ilegal itu.
***
Sesudah istirahat akhirnya kami bertiga berbelanja dan menjalani misi-misi ringan level sembilan dan sepuluh.
Kami membeli tenda besar. Tenda jumbo yang dapat dihuni hingga lima orang di dalamnya. Karena aku berfirasat, tenda ini akan lebih dipakai nantinya ketimbang dengan tenda kecil.
Toh tidak rugi juga membeli ini. Karena sedang diskon.
"Kita sudah beli tenda, dan beberapa item untuk menjalankan misi. Sekarang kita harus membeli makanan," ujarku sambil melihat sekeliling pasar yang ramai dengan orang-orang.
"Tapi makanan mahal. Kita tangkap ikan saja di sungai," saran Akio dengan kedua tangan yang penuh dengan tenda.
"Kau benar. Kita harus menghemat untuk membeli kostum yang pantas."
Aku menganggukkan kepalaku setuju lalu menundukkan kepalaku menghadap piyama dan jubah yang diberikan Hana padaku.
"Kau benar aku belum berganti baju," ujarku dengan nada lesu.
Melihat orang-orang berkeliaran dengan kostum yang bagus membuat diriku sedikit iri.
"Kostum harganya mahal sekali ... dan yang paling murah seratus keping woni, tapi aku tidak yakin dengan kualitasnya," ucap Akio sambil melihat ke sana kemari pada toko yang menjual baju.
"Kalau begitu sepertinya kita memang harus menghemat. Bagaimana kalau kita segera menangkap ikan? Matahari sudah mulai turun," ujar Haven dengan kepala yang mengadah ke langit.
"Ayo! kita harus membeli sedikit bumbu juga agar ikannya terasa tidak hambar," ucapku lalu mulai berjalan mendahului mereka.
"Hei Caramel, tapi apakah kau tahu ingin membeli apa?" tanya Akio yang sontak membuat kedua kakiku berhenti.
"Ada benarnya juga. Aku bingung ingin mem--"
"Tidak perlu khawatir. Aku sepertinya tahu apa yang kalian butuhkan," ujar Haven dengan senyuman percaya diri.