"Caramel ... Akio berhentilah. Ada anggota baru di sini, apakah kalian tidak malu kalau junior kalian melihat kalian berdua bertengkar?"
Aku mengerucutkan bibirku sebal. Manik coklatku melirik tajam ke arah pria bersurai hitam di depanku.
"Maaf Hana. Lagi pula bukan salahku. Ini semua salah Akio," ujarku sambil menunjuk pria itu tanpa dosa.
"Lihat Hana siapa yang memulai pertengkaran lagi. Sudahlah percuma, kalau kau menjelaskannya pada Caramel. Dia itu bodoh dan tak akan mengerti," ledek Akio sambil melipat tangannya di dada.
Aku kesal. Hingga rasanya ingin. Melempar pria ini ke tengah sungai.
"Jangan berkata begitu, atau kau akan ku lempar ke tengah sungai!" teriakku kesal.
"Benarkah? Sepertinya kau tidak punya tenaga untuk it-- Hei!"
Pria bersurai hitam itu panik. Ketika merasakan tubuhnya tak bersentuhan lagi dengan tanah. Aku memindahkan tubuh itu cepat, hingga ke atas sungai jernih.
"Caramel hentikan!" teriak Akio takut.
"Kenapa? Apa kau tidak bisa berenang?" ledekku lalu menjulurkan lidahku padanya.
"Caramel hentikan," ucap Hana sambil menatapku lesu.
Nampak sekali di sana dia telah lelah dengan kami berdua. Wajahnya terlihat pasrah. Seperti tidak tahu harus bagaimana lagi dengan kami.
Aku menghela napasku kasar lalu mengangguk kepalaku pelan.
"Argh!"
Kepalaku pusing tiba-tiba. Kedua kakiku lemas, membuat tubuh ini jatuh ke tanah. Bersamaan dengan tubuh Akio yang bersentuhan dengan air.
"Akio!" teriak Hana.
Pria malang itu. Harus jatuh ke dalam air akibat ulahku.
.
.
"Pusing," keluhku sambil terus memijit pelipisku pelan.
"Kau bisa mengatakan itu setelah membuatku jatuh ke sungai?" sindir Akio kesal dari seberang tempat tidur.
Aku berdeham pelan lalu menyelimuti diriku hingga ke atas kepala.
"Kau seperti itu karena tenagamu habis Caramel ... kau harusnya tahu, batas kekuatanmu di mana," ujar Hana yang duduk di samping ranjangku.
Aku menghela napasku kecil lalu berbalik menatap Hana. Yang dikatakan Hana benar. Aku merepotkan mereka secara tidak langsung. Kalau aku tidak gegabah dan menghabiskan kekuatanku hanya untuk menjahili Akio, mungkin aku tidak akan berakhir di rumah sakit.
"Tapi tubuhmu baik-baik saja. Kau tidak perlu di rawat," ujar Haven. Pria baru yang katanya akan masuk ke dalam kelompok kami.
"Iya. Kalau dipikir-pikir aku belum berkenalan dengannya," ujarku dalam hati.
Tubuhku bergerak. Berusaha duduk dari tidurku.
"Kita belum berkenalan," ujarku lalu menjulurkan tanganku padanya.
Pria blonde itu tersenyum lalu menyambut hangat tanganku. "Namaku Caramel."
"Aku Haven. Salam kenal."
Aku melepaskan tangannya. Manik coklatku melirik ke arah pria di seberang tempat tidur yang tengah menutup kedua matanya.
"Namanya Akio. Sepertinya dia kelelahan," ujarku pada Haven. Mengenalkan pria bersurai hitam itu.
"Jadi kekuatanmu penyembuhan?" tanyaku basa-basi padanya.
Dia menganggukkan kepalanya singkat. "Wah keren ... selain itu apalagi? Kau bisa membuat obat?"
"Hanya bisa membuat obat dari tanaman. Tidak dari bahan kimia karena pekerjaanku seorang koki. Dan ah ya ... aku juga bisa meregenerasi tubuh kalian," jelasnya dengan senyuman kecil.
Dia menggarukkan tangannya ke tengkuk. Nampak seperti orang yang tengah gugup.
"Wah keren ... kalau ada kau di tim kami mungkin saja kita tidak akan pernah terkena sakit!" ujarku senang.
Kami berdua tertawa. Hana tersenyum senang lalu menepukkan tangan mungilnya pada pahaku. "Kalian harus akrab ya ... karena aku ingin kalian menjadi satu tim yang saling membantu."
"Iya. Aku juga sepertinya ingin berubah. Meskipun Akio menyebalkan, tapi dia baik. Jadi ... sepertinya aku akan mencoba dekat dengannya," ujarku sambil menatap perempuan mungil di depanku.
"Terima kasih. Semoga pertemanan kalian langgeng sampai tua."
.
.
.
Aku, Akio, dan Haven sedang berada di dalam hutan. Hari ini setelah beristirahat panjang kemarin, kami memutuskan untuk mencoba mengambil misi bertiga.
Kali ini misi tingkat enam.
Misi yang seharusnya lebih susah dari misi kemarin yang aku jalani.
Aku, Akio, dan Haven tengah bersembunyi di balik semak-semak. Mengendap-ngendap, memperhatikan sekumpulan macan tutul putih berjumlah enam ekor, di depan kami.
"Kapan kita akan maju?" ujarku pelan pada mereka berdua.
"Saat mereka selesai menghabiskan daging rusa putih raksasa itu."
Aku menganggukkan kepalaku setuju saat mendengar pendapat Haven.
"Ya. Harap-harap mereka tidur siang setelah kenyang."
Aku dan Haven mengangguk kompak.
Manik tajam kami bertiga serius, melihat hewan sebesar lima meter itu menghabiskan daging rusa putih berukuran sepuluh meter.
Mengerikan. Benar-benar menggambarkan kehidupan hutan yang sebenarnya. Yang kuat menghabisi yang lemah. Memakan atau dimakan.
Beberapa menit setelah melihat pertunjukkan makan besar itu, akhirnya para hewan buas tersebut tidur.
Aku, Akio dan Haven kembali berjalan mengendap-ngendap berusaha menangkap macan tutul putih tersebut.
"Kita harus cepat membiusnya," ujarku sambil mengendap-ngendap mendekati hewan buas ini.
Padahal kalau aku ingin. Bisa saja membius hewan-hewan buas ini dari jauh.
Tapi kemarin Hana berkata, tubuhku masih harus menyesuaikan dengan dunia game. Aku tidak bisa memaksakan tubuhku terus mengeluarkan kekuatan. Apalagi masih berada di level empat.
"Mungkin dia takut aku lelah, atau akan ada hal buruk yang terjadi padaku nanti," batinku.
Rencana kami bertiga sederhana.
Aku dan Haven akan menusukkan satu suntikan ke kedua macam tutul, dan empat sisanya Akio yang menancapkan. Karena dia bisa berlari cepat.
"Siap?" bisik Haven sambil melirikkan matanya padaku. Tepat saat kami berdua telah berada di samping macan tutul tersebut.
Aku menganggukkan kepalaku pelan lalu bersiap menodongkan jarum suntik tersebut pada macan tutul.
Aku dan Haven menghitung pelan. Dan dalam hitungan ketiga kami bertiga kompak mulai menyuntikkan benda tajam tersebut.
"Satu ... dua ... ti--"
Rawwr
Macan tutul putih itu bangun. Manik merahnya terlihat menyeramkan.
Menatap buas penuh amarah pada kami bertiga.
Rawrr
Salah satu macan tutul menyerangku dan Haven secara bersamaan. Aku sontak menerbangkan kami berdua dengan kekuatan telekinetik Menghindari serangan mematikan macan tutul tersebut.
"Bagaimana ini?" tanyaku bingung.
Rawwr
"Argh!"
Aku dan Akio terkejut. Melihat salah satu macan tutul yang melompat tinggi hingga bisa menggigit ujung kaki Haven.
Jari-jari kaki pria blonde itu putus. Membuatnya merintih kesakitan.
"Argh!"
"Ugh pasti sakit," gumamku seraya menatap ngeri pria bersurai blonde itu.
Aku menggigit bibir bawahku. Gemas dengan keadaan yang ada saat ini.
Kami terlalu ceroboh. Level misi yang kami ambil lebih susah dari misiku kemarin, tentu saja monsternya juga akan lebih sulit dihadapi.
"Kita bodoh karena menganggap ini semua enteng," batinku kesal.
Rawwr
Splash Splash
Di bawah sana Akio juga sedang berjuang. Dia berusaha mati-matian menghadapi macan tutul yang gesit ini.
Meskipun tubuh Akio cepat, tapi macam tutul tersebut juga tak kalah cepat.
Pantas saja ibukota menyuruh kami untuk menangkan macan ini.
Karena jika masuk ke ibukota bisa bahaya.
Tubuhku diam beberapa saat. Memikirkan keputusan tepat, yang harus aku ambil dengan bijak.
"Aku harus menggunakan kekuatan telekinetikku. Tapi Hana bilang ...."
"Caramel jangan melamun! Ayo cepat bantu Akio!" teriak Haven.
Aku menengokkan kepalaku padanya. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat jari kaki Haven yang sudah pulih seperti sedia kala.
"Kau bisa melakukannya! Mungkin tidak apa tidak mendengarkan perkataan Hana sekali ... keadaannya genting Caramel!" teriak Haven.
Aku menganggukkan kepalaku.
Keadaannya darurat. Aku tidak bisa membiarkan temanku digigit oleh salah satu kucing besar ini lagi.
"Maaf Hana, sekali ini saja … aku tidak mendengarkanmu."