"Hei Caramel jangan bercanda dan cepat selesaikan ini!"
Aku menghembuskan napasku kasar. Mendengar Akio memerintahku rasanya menyebalkan.
Aku tidak bercanda.
Ini memang serius, aku takut sekali pada ular.
Ketika melihat ular besar ini otakku kosong. Tidak bisa memikirkan apa-apa kecuali kabur.
Ditambah dengan bisanya yang terciprat keluar dari dalam mulut.
Menambah poin plus pada monster mengerikan ini.
Splash
Akio mengejarku dengan larinya yang super cepat itu.
"Kau serang dia dengan apapun! Jangan melarikan diri!'
Aku membalikkan tubuhku lalu mendarat di salah satu batang pohon besar.
Aku melipat tanganku di dada menatap marah. "Kenapa kau malah menyuruhku melakukan sesuatu? Kau bukan ketua di sini."
Pria itu berbalik menatapku kesal sambil sesekali melihat ke arah ular raksasa itu yang merayap cepat ke arah kami.
"Karena aku ingin kita semua hidup! Apa kau mau mati di sini?!" teriak Akio kesal.
"Tentu saja tidak! Tapi cara memerintahmu itu menyebalkan!" Aku membentaknya balik dengan bibir yang mengerucut sebal.
Pria bersurai hitam itu berdecih kesal lalu mengeluarkan pedangnya dari sarung. "Kalau begitu biar aku saja yang menebasnya."
Aku menghela napasku kasar lalu mendudukan diriku di dahan pohon ini.
Bersiap melihat pertunjukkan menyenangkan yang akan Akio perlihatkan padaku.
Pria dengan pedangnya yang berwarna hitam itu berbalik. Kedua kakinya kuat, memasang kuda-kuda.
"Dia tidak bisa menangkap burung kecil, apa dia pikir bisa membunuh ular raksasa ini?" gumamku dengan tangan yang ku letakkan di dagu.
Akio menghembuskan napasnya sejenak lalu ....
Splash
Dia menghilang. Hembusan angin dan debu-debu dari tanah yang dia pijaki terangkat.
Crat Crat
Sayatan-sayatan tajam pada tubuh ular tersebut mulai nampak. Meskipun tubuh pria bersurai hitam itu tidak bisa ku tangkap jelas dengan mata.
"Wah keren," pujiku saat melihat ular tersebut merintih kesakitan.
Crat Crat
Darah segar bermuncratan dari tubuh ular tersebut. Aku membulatkan mulutku kagum dengan tangan yang bertepuk tangan.
"Argh!"
Bugh
Aku membelakkan mataku. Saat melihat pria bersurai hitam itu jatuh di atas tanah. Dia memegangi kaki dan tangannya, sambil meringis kesakitan.
Seperti mencoba balas dendam. Ular raksasa itu menatap penuh amarah pada pria yang tengah berbaring di depannya.
Aku berdiri dari dudukku, saat melihat ular besar itu membuka mulutnya lebar-lebar.
Manik coklat ku mengedar ke sekitar. Berusaha mencari celah, apakah ada sesuatu yang bisa aku jadikan senjata.
Dan mataku berhenti tepat ke arah baru besar raksasa di belakang tubuh ular.
Aku memejamkan kedua mataku. Pikiranku fokus, membayangkan bagaimana batu tersebut terangkat dari tanah.
"Bunuh ular itu!"
Bugh
Seakan mengerti perkataanku. Batu itu terbang dan mendarat tepat di atas kepala sang ular.
Ular itu tewas dengan bercak-bercak darah di sekitarnya. Seperti seekor semut yang tertindih sebuah kerikil.
Begitu pula dengan Akio, yang terkena cipratan darah sang ular. Dia ikut meringis.
"Argh!"
Aku turun dari dahan pohon menghampiri pria yang tengah kesakitan ini.
"Akio kau tidak apa?" Aku mencoba memegang wajahnya, yang kini bau amis akibat cipratan darah ular.
Entah apa yang aku khawatirkan tapi saat ini yang aku pikirkan adalah mencuci tubuhnya dulu dengan air.
Aku mengangkat tubuhnya dengan kekuatan telekinetikku, lalu membawanya terbang ke sumber air terdekat.
"Ada di mana sumber air? Ah sial aku tidak mengambil peta tadi," ujarku kesal sambil melihat ke bawah, mencari-cari sumber air.
Mataku terus fokus mencari di antara pohon dan semak-semak ini. Tubuhku lincah, terbang ke sana ke mari mencari sumber air.
Hingga saat tenagaku mulai habis. Akhirnya aku menemukan sumber air.
Sungai kecil dengan batu-batu mungil di sekitarnya.
"Sungainya dangkal, aku harap tidak ada buaya di sini." Aku turun lalu mendaratkan tubuh Akio di pinggir sungai.
Kedua kakiku berlari kecil mendekati sungai yang airnya jernih itu.
Aku berjongkok di depan sungai tersebut, menangkupkan tanganku membentuk mangkuk untuk mengambil airnya.
"Ah segar!" seruku saat merasakan rasa dingin air jernih tersebut di tenggorokanku.
"Aku harus membersihkan wajah Akio."
Aku mengambil air sungai itu lagi dengan tanganku lalu menyipratkannnya pada wajah pria bernama Akio ini.
"Hei basah," lirih pria itu dengan pelan.
"Diamlah. Baumu sudah seperti bangkai," ujarku sambil mengusap wajah pria bersurai hitam itu dengan jaket yang dia pakai.
"Kenapa tidak pakai tanganmu sendiri? Kenapa harus jaketku--- argh!" protes Akio dengan rintihannya.
"Aku tidak mau tanganku kotor," ujarku singkat padat jelas.
Dia tertawa kecil melirik sinis padaku. "Sepertinya aku tahu kenapa Tuhan menghadiahimu kekuatan telekinetik. Mungkin karena ini."
"Apa?" tanyaku bingung.
"Kau pi--"
Cling
Sebuah pintu berwarna coklat muncul di depan kami. Aku membelakkan mataku saat melihat Hana dan seorang pria berwajah bule muncul dari sana.
"Wah Caramel Akio!" seru Hana yang nampaknya terkejut.
"Hana!" balasku.
"Ada apa dengan Akio? Kenapa wajahnya pucat?" tanya Hana khawatir. Perempuan mungil itu berjongkok tepat di samping tubuh Akio.
Dia meletakkan tangannya di atas kening Akio. Berupaya memeriksa keadaan pria bersurai hitam ini.
"Sedikit demam." Hana membalikkan tubuhnya menghadap pria bule bersurai blonde di belakangnya.
Aku ikut menatap bingung pria tersebut.
"Haven kau bisa melakukannya, kan?" tanya Hana riang pada pria blonde itu.
Pria itu menanggukkan kepalanya mantap lalu duduk di samping kaki Akio.
"Apa yang dia lakukan? Jangan ma--"
"Caramel diam dulu! Biarkan koki handal ini mengobati Akio." Hana memotong ucapanku. Bibirku langsung membungkam meskipun pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan.
"Koki tapi kenapa mengobati?" batinku bingung.
Pria bersurai blonde itu mengulurkan tangannya. Dia meletakkan tangannya di paha dan perut Akio.
Dengan hembusan napas pelan cahaya putih dingin keluar dari sana.
Kesiur angin sejuk mengelilingi tubuh Akio.
Mulutku berdecak kagum. Melihat wajah pucat Akio yang kian membaik.
"Wah keren!" kagumku sambil bertepuk tangan.
Cahaya putih itu menghilang. Pria yang dipanggil Haven oleh Hana tadi menarik tangannya sambil tersenyum ramah pada Akio.
"Cederamu lumayan parah. Apa yang kau lakukan hingga membuat tulang kaki dan pinggulmu patah?" tanya Haven bingung.
Akio mendudukkan dirinya.
Bola mataku membesar, menatap pria yang baru sembuh ini takjub. "Kau tidak mati? Seharusnya kau mati karena tulang kaki dan pinggulmu pa--"
"Kau mengharapkan aku mati?" tanya Akio sinis dengan wajah datar.
"Tidak ... tapi itu kan--"
"Aku membeli item regenerasi. Tapi karena kurang istirahat nampaknya item tersebut tidak berjalan dengan baik di tubuhku," jelas Akio sambil menggerak-gerakkan kakinya pelan.
"Wah ... keren juga. Kalau begitu kita bisa patah tulang sesukanya di sini."
Semua orang di sana tiba-tiba menatapku aneh. Aku menaikan satu alisku ke atas, menatap mereka satu persatu dengan bingung.
"Apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?"
"Meskipun begitu kau harus hati-hati. Kalau bukan karena Haven pasti keadaan Akio bisa fatal," jelas Hana.
"Tidak perlu menjelaskan padanya. Dia ini memang bodoh." Akio menyahut ucapan Hana datar dengan tangan yang dikibas-kibaskan.
"Hei berhenti bilang aku bodoh! Aku telah menyelamatkanmu!" teriakku kesal.
"Kau tidak menyelamatkanku, yang menyelamatkanku itu si bule ini," ujar Akio santai sambil menunjuk ke arah Haven.
"Namaku Haven. Tolong panggil dengan nama hehe ...." Haven tertawa hambar melihat pertikaian kami.
"Dasar tidak sopan. Sudah mematahkan tulang sendiri dengan ceroboh, tidak sopan pula," cibirku kesal.
"Kau sendiri bodoh. Sudah bodoh, lamban pula," balas Akio yang membuat suasana bertambah panah.
Hana dan Haven saling berpandangan. Seperti bingung apa yang harus mereka lakukan dengan kami berdua.
Lagipula ini semua memang ide buruk. Menyatukan aku dengan Akio sepertinya memang sulit.