"Haah ... kalau kau tidak mau memberikannya secara baik-baik, terpaksa aku akan mengambilnya dengan kasar."
Aku mengerucutkan bibirku sebal. Aku menatap tubuhnya fokus lalu berkata, "Terbang."
Pria bersurai hitam itu terkejut. Tubuhnya bergoyang-goyang saat merasakan kedua kakinya sudah tak lagi menapak di rumput.
Aku kembali menjulurkan lidahku padanya. "Coba saja ambil dengan paksa. Kalau kau berani melakukan itu, aku bisa menghempaskanmu ke tengah ibukota itu," ujarku sambil menunjuk ke arah kota dengan daguku.
"Merepotkan sekali anak ini." Dia menghela napasnya pasrah lalu menatap mataku dengan datar.
"Baiklah-baiklah. Aku akan mengajarimu dan membimbingmu dalam dunia game ini." Aku tersenyum kecil. Mendengar perkataannya membuat diriku puas.
"Kau berjanji?" tanyaku memastikan.
Dia menganggukkan kepalanya singkat. Aku menurunkan tubuhnya mensejajarkan dirinya dengan tubuhku.
Aku meletakan pedang dan jubah tersebut di tanah sebelum menyodorkan kelingkingku padanya.
"Ayo kita buat janji kelingking!"
Dia menghela napasnya pasrah lalu mengaitkan kelingkingnya padaku.
"Bagus! Kalau seperti itu ... apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanyaku sambil memungut jubah yang aku letakan tadi di rumput.
Dia berjongkok lalu mengambil kedua pedangnya yang ada di tanah. "Ke ibukota. Sepertinya banyak hal yang belum kau ketahui."
Aku menganggukkan kepalaku paham seraya menatap jubah hitam dengan pinggiran putih berbulu ini. Sudut bibirku naik dan dengan segera memakai pakaian tebal nan hangat itu pada tubuhku.
"Kau juga harus menjelaskannya padaku."
"Iya. Kau rewel sekali ... ayo kita harus bergegas." Dia berjalan mendahuluiku. Aku tertinggal di belakangnya. Membuatku mau tak mau harus berlari menyusul langkah pria bersurai hitam itu.
"Hei tunggu!"
.
.
"Ayo dibeli! Diskon sampai lima puluh persen! Dapatkan perlengkapan regenerasi di Toko Piyo!"
"Jagung bakar ... jagung bakar ... beli satu gratis satu. Harganya hanya dua buah keping woni!"
"Baju model terbaru! Anti sobek, anti api, dan anti air! Ayo dapatkan sekarang!"
Aku membuka mulutku tanpa sadar. Melihat banyaknya orang yang berlalu-lalang, berjualan dan bahkan beratraksi dengan kekuatan unik mereka di sini.
Ramai seperti pasar malam.
Terlihat keran, membuatku takjub.
Dunia ini terasa benar-benar nyata. Dengan orang-orang di sekitarku, dan suara-suara mereka yang kian masuk ke gendang telinga.
"Wah hebat ... haruskah aku membeli pakaian seperti mereka juga?"
Pakaian mereka sangat unik dan nyentrik. Jika mereka memakai di dunia nyata. Baju-baju mereka terlihat seperti para cosplayer yang sedang pawai di festival Jepang.
Banyak dari mereka yang membawa pedang, panahan, katana, atau senapan. Rambut dan bola mata mereka juga beraneka ragam. Ada yang sama seperti warna baju, atau ada yang sama dengan warna rambut.
Aku tertawa kecil melihat orang-orang di sekitarku ini. Bukan untuk menertawakan pakaian mereka yang nyentrik, melainkan untuk menertawakan diri sendiri.
"Bisa-bisanya kau diundang ke dunia seperti ini Caramel," batinku.
"Hei berhentilah melamun. Kita sudah sampai," ujarnya dengan nada dan wajah yang datar.
Aku mendongakkan kepalaku, menatap bangunan antik berwarna krem di depanku ini.
"Apa ini gereja? Kau menyuruhku ibadah?" ceplosku sembarangan.
Lantaran gedung megah berwarna krem ini memang terlihat seperti gereja. Hanya saja tidak ada salib di sana.
"Ini adalah kantor pusat game. Seperti kantor para guru di dalam sekolah. Di sini tempatku mengambil misi untuk mendapatkan poin. Kau juga bisa mengisi identitas diri, mencari tempat tinggal, atau mencari seseorang yang hilang."
Aku menganggukkan kepalaku mengerti. Ini masuk akal, mengingat banyak sekali orang yang keluar masuk dari gedung ini. Pria bersurai hitam itu masuk lebih dulu ke gedung. Meninggalkan aku sendirian di belakang.
"Hei tunggu!"
Aku menyamakan langkah kakiku dengannya lagi.
"Wah ...."
Sesaat setelah masuk ke dalam gedung ini aku kembali takjub. Ternyata ruangannya kosong. Tidak seramai yang aku duga. Hanya ada beberapa pintu berwarna coklat dengan tanda nama di atasnya.
"Kau harus menjalani misi dulu. Agar kau tahu, apa bakatmu ... sehingga kau bisa bijak dalam memilih atau membeli perlengkapan-perlengkapan di sini," jelasnya sambil terus berjalan menuju pintu dengan tanda nama "Misi."
"Setiap menjalankan misi kita harus mengambilnya dulu ke sini? Bukankah itu merepotkan? Tadi aku mengambil misimu tanpa harus kemari, tapi tetap mendapatkan point." Pria bersurai hitam itu melirikkan matanya sejenak padaku, sebelum memutar knop pintu di depannya.
"Memang bisa tapi, pointnya akan dikurangi lima puluh persen," jawabnya singkat.
"Ah ... jadi seharusnya hadiah menangkap burung tadi itu sepuluh poin." Aku menganggukkan kepalaku mengerti sambil terus melangkah masuk ke dalam pintu ini.
Sepi.
Aku kira ruangan dengan pintu bertanda nama "Misi" ini akan ramai. Karena orang-orang di sini berlomba-lomba menyelesaikannya.
Tapi kenapa malah sepi sekali?
"Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria dengan rambut berwarna coklat yang duduk di belakang meja resepsionis.
"Aku ingin mengambil misi tingkat sepuluh untuknya," ujar Akio datar.
"Tingkat sepuluh? Kalau begitu ... siapa nama Nona, agar aku tahu identitas diri anda terlebih dahulu. Dengan begitu aku bisa memastikan apakah misi yang anda ambil itu sesuai atau tidak," jelas pria itu ramah sambil tersenyum.
"Caramel."
"Baik Nona Caramel, tunggu sebentar ...." Pria itu mengetikkan sesuatu dengan komputernya. Manik hitam legamnya fokus melihat ke arah layar yang menyala itu.
Hingga beberapa detik akhirnya dia mendapatkan informasi yang dia cari. "Menurut data di sini, Nona Caramel memiliki kemampuan telekinetik tingkat empat. Meskipun masih tergolong kecil, Anda bisa mengambil misi tingkat delapan atau tingkat tujuh."
Aku memiringkan kepalaku dengan dahi yang mengernyit bingung. "Apa maksudnya itu?"
"Semakin kecil tingkatan misi Anda, maka semakin banyak juga poin yang bisa anda dapatkan. Seperti tingkat sepuluh yang hanya mendapatkan sepuluh poin, tingkat sembilan dua puluh poin, tingkat delapan tiga puluh poin dan seterusnya. Begitu pula dengan tingkat kekuatan. Tingkat 5 adalah yang terendah dan tingkat 1 adalah yang tertinggi."
Aku membulatkan mulutku. Kepalaku bergerak mengangguk setelah mendengar penjelasannya. "Baik kalau begitu aku akan mengambil misi tingkat delapan."
"Oke tunggu sebentar, Saya akan mempersiapkan data diri Anda untuk akun tabungan uang dan tabungan poin Nona Caramel."
"Apakah kau yakin bisa melewatinya? Aku tidak akan membantumu." Aku mendengus sebal melirik pria di sebelahku kesal.
"Tentu saja jangan! Kalau kau membantuku dan menyelesaikan misinya, nanti malah kau yang mendapatkan poin." Tanganku bergerak, terlipat di depan dada.
"Terserah kau saja."
.
.
Aku membuka mulutku lebar saat melihat seekor ular kobra raksasa berukuran dua puluh meter tengah berdiri di depanku.
Lidahnya yang panjang itu terus mendesis membuat harimau yang ada di dalam hatiku ini ciut bak kucing terkena air.
Ular itu terlihat marah. Seakan tahu kami datang untuk menangkapnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar hingga keluarlah bisa berwarna ungu dari sana.
Aku terbang. Menghindar ke sana ke mari agar tidak terkena bisa beracun itu.
"Ini menyeramkan aku takut ular! Aku tidak bisa!"