"Ah sialan."
Pria di depanku mendengus sebal. Dia menghela napasnya berat lalu membalikkan tubuhnya ke arahku.
"Kenapa kau tidak lepaskan saja burung itu?" tanyanya dengan wajah datar.
Aku memiringkan kepalaku sambil mengangkat tangan kanan yang memegang burung mungil nan lembut ini. "Memangnya kenapa? Burungnya lucu ... aku suka."
"Ah ... malah kau yang mendapatkan poin! ugh sudah kuduga kau memang bodoh itulah kenapa kau tidak mengerti. Harusnya poin itu untukku." Dia meracau tidak jelas, sambil terus mengatakan aku bodoh.
Aku mendengus sebal sambil menatapnya sinis.
"Bagaimana aku bisa mengerti ... aku saja masih tidak percaya kalau ini semua nyata," lirihku seraya menatap burung mungil dalam genggaman ini sendu.
"Halo teman-teman!"
Suara anak kecil perempuan yang menyuruhku tinggal itu datang. Bocah berwajah ceria itu dengan santai mendaratkan tubuh mungilnya di tengah-tengah kami berdua.
"Wah apa ini?! Akio sudah bertemu dengan Caramel?!" seru anak perempuan itu tidak percaya.
Pria bersurai hitam yang disapa Akio itu menghela napasnya kasar kemudian melangkahkan kakinya maju. Berniat meninggalkan kami berdua.
"Hei tunggu aku sedang bicara denganmu!" Pria itu cuek dan tetap meneruskan jalannya.
"Berhenti Akio!"
Deng
Tubuh pria itu berhenti tiba-tiba. Dia mendengus sebal sambil terus mengangkat kakinya dari tanah. Namun nihil, usahanya sia-sia. Kedua kaki pria bersurai hitam itu tersebut tidak bisa dia angkat.
"Apa yang kau inginkan dariku Hana?" tanya Akio datar.
"Namamu Hana?" tanyaku memastikan. Ini pertama kalinya aku mendengar nama perempuan mungil ini.
"Hehe iya namaku Hana. Maaf aku lupa berkenalan denganmu. Habisnya aku senang sekali bertemu orang dengan kekuatan sepertimu!"
Perempuan mungil itu melompat-lompat senang. Dia menghampiriku seraya mengambil burung mungil yang ada di tanganku. "Jadi bagaimana Akio? Kau sudah bertemu dengan Caramel ... dan kau juga merupakan seniornya, jadi kau harus mengajari beberapa hal baik padanya."
"Aku tidak ada urusan dengannya." Dia menjawab singkat dengan wajahnya yang datar itu.
"Tidak bisa seperti itu ... bukankah aku sudah bilang kalau kita ini harus bekerja sama? Apalagi kalian semua adalah anak didikku ...."
"Anak didik?" gumamku bingung.
"Bukankah aku sudah bilang padamu juga? Kalau aku ini individualisme," tukas Akio dengan tangan yang terlipat di dada.
Hana mengerucutkan bibirnya kesal. "Kau harus mencoba berteman dengan Caramel! Kau juga sudah melihat kekuatannya bukan? Bukankah kemampuannya sangat berguna dalam menyelesaikan misi?" tanya Hana dengan mata yang berbinar-binar. Memohon pada pria yang wajahnya dingin se dingin freezer kulkas.
"Username Akio dikurangi sepuluh poin karena gagal menjalani misi."
Suara cempreng dari langit-langit itu terdengar lagi. Pria yang disebut namanya itu kesal. Dia mengepalkan tangannya, menatapku penuh dengan amarah.
"Jangan ganggu aku lagi anak baru."
"Aku tidak tahu. Aku hanya mencoba untuk membantu," belaku.
"Apakah kau tidak menjelaskan peraturan game ini padanya?" sinis Akio pada anak kecil imut itu.
Hana mengangkat bahunya santai. "Dia tidak bertanya padaku. Bahkan dia masih tidak percaya kalau ini semua sungguhan."
"Memang benar kau bodoh." Dia berkata datar, dengan mata tajamnya yang memincing padaku.
Aku mendengus kesal. Tanganku terkepal kencang menatap tajam pria bersurai hitam itu.
"Apakah semua ini masuk akal?! Semuanya aneh dan nampak tidak nyata! Jadi wajar saja kalau aku tidak percaya!"
Aku berteriak kesal padanya. Wajahku memerah karena tak tahan dengan ejekannya.
"Kau juga temperamental ternyata ... hei apakah kau sudah gila ingin aku bekerja sama dengan orang ini?" tanya Akio pada Hana.
"Hei jangan berkata sembarangan!" Aku mengacungkan jariku padanya mengancamnya dengan serius.
"Aku tidak berkata sembarangan ... aku berkata apa adanya," ujarnya cuek.
Aku mendengus sebal. Manik coklatku melirik, dua buah sarung pedang milik pria sombong itu.
"Pindah."
Slap
Dua buah sarung berisikan pedang itu mendarat tepat di tangan kanan dan kiriku. Aku tersenyum senang sambil memperhatikan sarung pedang yang terlihat mahal itu.
"Wah kau beli dengan harga berapa ini? Mewah sekali ...."
"Hei apa yang kau lakukan?!" Akio berteriak marah. Pria bersurai hitam itu menggerak-gerakan kakinya, berusaha untuk mendekatkan dirinya padaku.
"Dasar bocah sialan! Cepat hapus sihir aneh milikmu dari kakiku ini! Aku ingin segera menyayat tubuhnya!"
Aku tertawa puas. Melihat pria sombong itu kesal bisa menjadi hiburan ternyata. Aku menjulurkan lidahku padanya, membuat si empunya makin kesal.
"Ini bukan sihir aneh, dalam fisika ini disebut dengan gravitasi ... aku menitik beratkan gaya te--"
"Iya iya aku mengerti aku juga belajar hokum newton di sekolahku ... cepat lepaskan ini!" potong Akio tak sabaran.
"Kau ini psikopat ya? Atau di dunia asli ... kau itu seorang yakuza dari Jepang?" tanyaku sambil iseng mengeluarkan pedang tersebut dari sarungnya.
"Bukan urusanmu."
"Aku akan melepaskanmu, kalau kau mau bekerja sama dengan Caramel. Dia itu anak baru, jadi kau harus mengajarkannya banyak hal," jelas Hana dengan suara anak khas anak kecil.
"Kenapa tidak kau saja yang mengajarinya? Kau yang membawanya sendiri ke sini bukan?" tanya Akio sambil menghela napasnya pasrah.
"Aku sibuk. Aku masih mencari orang lain untuk tim kalian." Hana tersenyum ramah, menatap satu persatu wajah kami berdua.
"Tim? Apakah kita akan melaksanakan misi bersama?" tanyaku penasaran.
Hana menganggukkan kepalanya cepat. Dia menatapku dengan antusias sambil menggenggam tanganku yang sedang memegang pedang.
"Iya! Dengan melakukannya secara bersama-sama kalian dengan mudahnya bisa mendapatkan poin!"
Aku menganggukkan kepalaku mengerti. Manik kecoklatanku jatuh, ke pedang tajam yang gagangnya berwarna hitam ini.
"Tajam sekali, sepertinya bisa menebas pohon besar," batinku ngeri.
"Apakah kau mau bekerja sama dengannya Caramel?" tawar Hana dengan mata yang berbinar-binar.
Dia menatapku lembut seperti sedang memohon padaku. Manik-manik mata indahnya berbinar. Seperti anak kecil yang memohon untuk dibelikan eskrim. "Haah ... tergantung. Kalau dia masih bersikap seperti itu, aku tidak mau satu tim dengannya."
"Memangnya siapa yang ingin satu tim denganmu?" sahut Akio tak mau kalah.
"Tuh kau lihat sendiri, kan?!" tanyaku kesal seraya menujukkan jariku pada Akio.
"Hei Akio bersikaplah baik pada Caramel! Dia itu perempuan yang baik, kau ha---"
Ting Ting Ting
Hana menghentikan ucapannya. Dia memejamkan kedua matanya saat mendengar dentingan dari atas langit.
Anak perempuan yang imut itu tersenyum dia mengangkat kedua tangannya ke atas, mengeluarkan sebuah pintu dari sana.
"Ada manusia berbakat lainnya yang harus aku jemput! Kalian harus akur ya. Oh iya Caramel aku membelikanmu ini!"
Hana melemparkan sebuah kantong putih kepadaku. Aku menangkapnya dan langsung membuka kantung tersebut.
"Wah jubah!" seruku.
"Kau pakai itu saat ingin pergi ke ibukota. Aku tidak ingin kau terlihat aneh dan mencolok di sana," ujar Hana ramah.
Aku menganggukkan kepalaku mengerti lalu melambaikan tanganku padanya. "Hati-hati di jalan Hana!"
"Hehe terima kasih. Kalian juga harus akur ya! Aku akan mengunjungi kalian beberapa jam lagi!"
Anak perempuan mungil itu masuk ke dalam pintu kecoklatan tersebut. Tubuh mungilnya menghilang, beriringan dengan pintu tersebut.
"Akhirnya aku lepas!"
Aku menengokkan kepalaku pada pria bersurai hitam itu, menatap hati-hati wajahnya yang terlihat kesal.
Manik hitam legamnya tajam, melirik ke arah pegang yang sedang aku pegang. Aku mendekatkan pedang itu ke dada, mendekapnya dengan erat bersamaan dengan jubah yang diberikan Hana tadi.
"Jangan coba-coba mengambilnya!"
"Apa yang kau maksud? Itu milikku dasar bodoh."
"Jangan berkata aku bodoh! Dasar kau menyebalkan! Aku tidak akan mengembalikan pedangmu!"