"Ini adalah sebuah game. Bukankah itu hal yang lumrah di sini?" tanyanya santai.
"Jadi ini benar-benar sebuah game?! Dari perusahaan mana game ini? Siapa developernya? Wah jenius sekali dia bisa membuat game seperti ini ...."
Aku berdecak kagum sambil memperhatikan sekitarku sekali lagi.
Aku benar-benar tidak percaya. Aku merasa ini adalah sebuah mimpi.
Bunga tidur indah, yang membuat semua orang ingin selalu berada di dalamnya.
Anak kecil di depanku itu menghela napasnya pasrah. Dia kembali terbang, mensejajarkan wajahnya denganku.
"Haah ... harus berapa kali aku jawab hingga kau percaya ini dunia game hm?"
Plak
Dia menamparku.
Aku terkejut lalu memegangi pipi kananku yang terasa sakit itu. "Wah ... ini jelas bukan mimpi. Aku bisa merasakan denyutan rasa sakit ini."
"Tentu saja bukan! Ah sudahlah ... memang sepertinya jika dijelaskan dengan kata-kata kau tidak akan mengerti. Oleh karena itu, ayo aku akan membawamu ke suatu tempat."
Dia menarik kasar tanganku menuju desa yang ada di hadapan kami ini.
"Kita ingin ke mana? Apakah aku benar-benar tidak apa masuk ke sana?" tanyaku ragu.
"Ah iya kau benar. Sebelum ke sana ... ada baiknya kau berganti pakaian terlebih dahulu. Pakaianmu kuno dan tidak cocok di dunia ini."
"Apa?"
Aku berdecih sebal. Padahal aku memakai piyama bagus yang baru saja aku beli kemarin dari salah satu mall terkenal di ibukota.
"Bisa-bisanya bocah seperti dia mengatakan pakaianku kuno," batinku kesal.
"Kalau begitu kau tunggu di sini. Aku akan memberikanmu sebuah pakaian dulu di ibukota."
Anak perempuan bersurai merah itu terbang. Dia tersenyum manis padaku, sebelum melayang meninggalkanku di bukit kecil ini.
"Jangan ke mana-mana dan jangan lakukan hal aneh Caramel!" teriaknya kencang.
Aku mendengus sebal lalu kembali duduk di atas rumput bukit ini. "Jadi aku benar-benar tidak akan bisa pulang?"
Aku menghela napasku kasar. Tubuhku merasa lelah hingga berniat untuk merebahkannya di atas rumput hijau ini.
Splash
Sesuatu yang kecil berbentuk seperti burung melesat cepat di atas tubuhku.
"Apa itu?" tanyaku sambil menengokkan kepalaku ke belakang.
Splash
Splash
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, ketika samar-samar melihat benda yang melesat cepat.
Benda tersebut nampak lebih besar dari benda awal yang melewatiku. Tubuhku bergerak. Aku berdiri dari tidurku, berusaha mendekat ke arah dua benda yang saling kejar-kejaran itu.
"Oh?"
Setelah aku mengamati lebih dalam, itu bukanlah benda, melainkan seorang pria yang sedang mengejar burung berwarna putih.
"Wah keren dia berlari cepat sekali," gumamku sambil terus memperhatikan mereka.
Splash
Splash
Burung kecil itu terus saja menghindar hingga membuat pria berkecepatan super itu sulit menangkapnya.
Entah apa yang dia inginkan dari burung tersebut, hingga mau bersusah payah untuk menangkapnya.
Aku melipat kedua tanganku di dada. Menonton santai pertarungan kecil yang ada di depanku ini.
"Sungguh kasihan."
Bruk
Pria yang mengejar burung cepat itupun ambruk. Telentang di atas rumput hijau ini. Napasnya tak beraturan terlihat jelas pada dadanya yang naik turun.
Aku mendekatinya, melihat wajah pria yang memiliki surai hitam itu dengan jelas.
"Wah wajahnya seperti orang je---"
Pria itu membuka kedua matanya tiba-tiba. Aku sontak mundur, takut-takut dia marah atau menyerangku.
"Siapa kau?" tanyanya sambil menatap tubuhku dari atas ke bawah.
Aku melirikkan mataku ke kanan dan ke kiri. Aku berpikir berusaha mengatakan jawaban selogis mungkin.
"Aku manusia da--"
"Kau pasti anak baru. Pakaianmu terlihat dari bumi sekali. Dan bahasa yang kau pakai ... itu dari Indonesia, kan?" ujarnya sambil berdiri.
Aku membulatkan mulutku. Mendengar dia menyebut bumi dan asal negaraku membuatku berpikir bahwa dia dari sana juga.
"Apakah dia juga sama sepertiku?" batinku.
"Anu ... apakah kau juga da--"
"Jangan berbicara denganku. Aku ingin menangkap burung setan itu, agar bisa menyelesaikan misi dan mendapatkan poin." Dia mendongakkan kepalanya, menatap burung kecil yang terbang ke sana ke mari dengan santainya.
"Misi? Poin? Apa itu?" tanyaku bingung.
"Apa bocah perempuan yang membawamu kemari tidak memberitahumu akan hal itu?"
Aku menggeleng cepat mendengar ucapannya. Dia menghela napasnya kasar, lalu berjalan menjauhiku dengan tangannya yang melambai.
"Sudahlah kau urus saja urusanmu sendiri. Jangan ganggu aku dulu," ujarnya datar sambil memperhatikan burung kecil itu.
Aku mengangkat bahuku santai sambil berkata, "Aku bisa membantumu untuk menangkapnya."
Dia menengokkan kepalanya menghadapku dengan satu alisnya yang naik. "Apa?"
Aku menatap penuh konsentrasi burung kecil itu, dan dalam hitungan detik.
"Tangkap."
Burung tersebut berada dalam genggamanku.
"Wah lucunya ...." Kedua manik coklatku berbinar, menatap makhluk imut berwarna putih ini.
Bulunya benar-benar halus dan tebal seperti kucing.
"Burung ini unik sekali. Tidak seperti burung yang ada di bumi ya, kan?" Aku mendongakkan kepalaku menatap pria tadi.
Pria yang menyuruhku untuk diam itu pun termangu. Mimik wajahnya tegas, dengan mata yang memincing tajam melihat ke arahku.
Dia melangkahkan kakinya mendekat dengan tatapan setajam silet tersebut.
"A-apa yang ingin kau lakukan?" Aku memundurkan langkahku, berusaha menghindar dari pria yang tatapannya menakutkan ini.
Dia menggerakan tangannya, menyentuh sebuah sarung pedang yang ada di kedua sisi pinggangnya.
Sring
Dia mengeluarkan dua buah pedang tajam tersebut dari sarungnya lalu menghunuskannya padaku.
"Apa yang ingin dia lakukan apakah dia ingin membunuhku?" batinku takut.
Aku refleks memejamkan mataku saat melihat tangan pria tampan itu mengayunkan pedangnya ke arahku.
"Lempar!"
Aku membuka kedua mataku. Pedang yang berada di kedua tangannya lepas, dan jatuh di atas rumput hijau.
Aku menghela napasku lega sebelum menatap tajam pria di depanku ini.
"Kau menakutkan," ujar kami kompak.
"Eh?"
Aku bingung. Tidak ku sangka ucapan kita sinkron.
"Kenapa kau mengatakan aku menakutkan?!" tanyaku tak terima.
Dia berjalan santai, mengambil kembali pedang yang jatuh ke rumput tadi. "Karena kau memiliki kekuatan telekinetik."
"Apa yang menakutkan tentang itu? Harusnya kau yang menakutkan! Karena kau baru saja ingin memenggal kepalaku!"
Dia menatapku datar dengan tatapan tajamnya lagi.
Pria yang mirip dengan orang Jepang ini kembali berjalan mendekat sambil memasukkan kedua pedangnya ke sarung.
"A-apa yang kau ingin lakukan?!" tanyaku kesal setengah gugup.
Dia berdecih sinis sambil memiringkan kepalanya. "Ya ... setidaknya aku bersyukur kau bodoh. Kalau kau pintar, mungkin kau bisa menghancurkan seluruh dunia game ini."
Dia santai berjalan mendahuluiku begitu saja.
Mulutku menganga. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku diejek bodoh oleh seseorang.
Sungguh menyebalkan rasanya.
"Dasar orang sombong!" teriakku kesal sambil mengacungkan jariku ke arahnya.
Dia cuek dan terus saja berjalan ke arah ibukota yang ramai itu.
Aku mendengus kesal karena merasa diabaikan. Kedua kakiku bergerak, menyusul pria bersurai hitam itu.
"Misi telah berhasil! Caramel mendapatkan lima point!"
Suara cempreng dari langit-langit terdengar.
Aku dan pria menyebalkan itu kompak menghentikkan langkah kaki kami.
Aku melongo tak mengerti, mengerjapkan kedua mataku sambil menatap bingung ke arah pria bersurai hitam di depanku ini. "Aku dapat poin?"