Pintu tersebut terbuka. Aku memundurkan tubuhku hingga menghimpit pinggiran ranjang. Kedua manik coklatku menatap serius, siapa yang membuka pintu aneh itu.
Kriet
Kosong.
Isi pintu itu hitam. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali warna hitam. Seperti blackhole yang ada di ruang angkasa.
Aku memberanikan diri, mengumpulkan segala doa dan keyakinan untuk mendekati pintu aneh itu.
Tanganku teracung ke depan. Alih-alih kalau benda kayu itu mengeluarkan sesuatu yang berbahaya.
Perlahan tapi pasti ... aku mengendap-ngendap. Mendekat ke arah pintu berwarna coklat tersebut.
"Tidak perlu takut."
"Hah?!"
Tubuhku tersentak. Kedua kakiku berhenti berfungsi, begitu pula dengan tangan. Ketika mendengar suara anak kecil ini, mengingatkanku pada sesuatu.
"Ah benar! Yang di mimpiku!" teriakku semangat.
"Hehe. Ya kau benar, ini aku anak kecil yang kau bilang sedang cosplay tadi di mimpimu. Sepertinya cara aku mengundangmu kurang ramah. Aku harus memikirkan cara lain agar kau tidak begitu terkejut."
Suara anak kecil nan imut itu menggema di kamarku. Aku merasa was-was, menengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Takut kalau dia muncul tiba-tiba layaknya hantu.
"Aku ada di dalam pintu ini. Kau tidak perlu takut," ujarnya lagi.
"Kenapa kau bisa berada di sini?" tanyaku bingung.
"Karena kita tersambung." Aku mengernyitkan dahiku bingung. Tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dia katakan.
"Ter--sambung? Apa tubuh kita punya semacam kabel atau bagaimana?"
"Hahaha."
Anak kecil itu tertawa. Entah apa yang lucu, tapi dia tertawa puas sekali.
"Ponsel pintar, tidak mempunyai kabel tapi bisa terhubung satu sama lain," ujarnya tiba-tiba.
"Tentu saja! Karena ada jar--"
"Lalu kenapa kita tidak? Padahal mereka hanyalah ciptaan manusia, sedangkan kita ... ciptaan langsung dari tuhan. Seharusnya kita lebih canggih bukan?"
Tap
Sebuah kaki mungil keluar dari dalam pintu yang gelap itu.
"Halo Caramel kita bertemu lagi," ujarnya ramah sambil memperlihatkan wujudnya.
Baju yang sama dengan tadi. Baju yang aku bilang mirip cosplay.
"Kenapa kau bilang bajuku ini cosplay? Padahal ini bagus sekali di dunia sana," ujarnya dengan bibir mengerucut sebal.
"Tunggu ... kau bisa membaca pikiranku?!" tanyaku panik.
"Tentu saja tidak. Aku hanya menebak-nebak ... dan sepertinya jawabanku benar." Aku melongo.
Perempuan bersurai merah itu santai, melihat-lihat seisi kamarku. "Jadi apakah kau sudah memutuskan?"
"Memutuskan apa?"
"Menerima undanganku, untuk bergabung dengan si dua belas persen lainnya."
"Jadi benar-benar ada orang sepertiku? Bagaimana wujud mereka? Apakah mereka manusia? Apa kekuatan mereka sama sepertiku?!"
Kedua mataku berbinar. Aku terlalu bersemangat ketika mendengar ada orang lain yang mirip denganku.
"Tentu saja ada. Kalau kau sangat penasaran dengan mereka, bagaimana kalau langsung masuk saja ke dalam sana?"
Perempuan kecil itu tersenyum sambil membalikkan badannya menghadap pintu yang dalamnya berwarna hitam itu.
"Apakah itu aman? Sebenarnya apa itu?" tanyaku penasaran.
"Pintu menuju dunia game," ujarnya.
"Dunia game? Game jenis apa?" tanyaku penasaran.
"Jenis apa ya ... umm pokoknya sangat menyenangkan. Apakah kau tidak ingin masuk? Apakah kau tidak merasa terkekang di dunia ini Caramel? Kau pasti ingin mengeluarkan kekuatanmu dengan bebas ... namun terhalang keadaan bumi yang tak sesuai. Tapi di game sana, kau bebas. Kau bahkan bisa menjadi superhero yang bertugas menyelamatkan warga."
Aku menatap mata merah perempuan mungil ini tak percaya. Kedua tanganku terkepal. Aku ingin sekali masuk ke sana.
Mengingat paman dan bibiku yang selalu bertengkar, membuatku tak nyaman di sini dan malah membuatku tertekan.
"Dan juga aku membenci mereka, mungkin ini ide yang bagus," batinku.
"Aku ingin masuk ke sana ... tapi bagaimana dengan sekolahku?" tanyaku bingung.
"Penolakan yang bagus. Tapi sayangnya aku tidak menerima penolakan," ujarnya sambil menarik tanganku.
Dia menggenggam tanganku erat lalu membawaku masuk ke dalam pintu tersebut.
Kalau kalian pernah iseng mencoba mendekatkan tangan kalian ke pembersih debu, mungkin akan tahu rasanya.
Ya. Kurang lebih seperti itu. Rasanya seperti di sedot masuk ke dalam.
Kepalaku pusing berputar, dan tubuhku rasanya ingin remuk. Entah apa yang sedang aku lalui, tapi rasanya seperti keluar angkasa mengunakan rollercoaster.
Slap
Kami berdua pun sampai. Aku membuka kedua mataku, dengan tubuh sempoyongan. Tubuh yang terasa seperti puding ini ambruk begitu saja di atas rumput lembut.
"Ugh ... aku ingin muntah."
"Mohon maaf atas ketidaknyamanan perjalanan Anda hehe. Aku janji akan memperbaiki pintu tersebut menjadi lebih baik lagi," ujarnya sambil menepuk-nepukkan punggungku.
Aku menggeleng lalu mendongakkan kepalaku.
Sebuah desa sederhana dengan rumah dan toko-toko yang terlihat antik masuk ke dalam pupil mataku. Mulutku sedikit terbuka. Aku takjub melihat pemandangan yang nampak seperti di dunia anime atau game ini.
Aku mendirikan tubuhku, lalu berlari pelan dari bukit kecil tempat aku sampai tadi.
"Wah ... di mana aku? Apa nama desa itu?" tanyaku penasaran dengan telunjuk yang mengarah pada desa itu.
"Sudah ku bilang kau masuk ke dalam dunia game ... kenapa kau tidak percaya?" ujarnya dengan kedua tangan yang melipat di dada.
Gadis mungil nan lucu itu nampak merajuk.
"Aku tidak percaya ini. Bagaimana bisa? Wah ... apa aku sedang bermimpi?"
Aku terus meracau. Mengatakan bahwa tidak percaya dengan apa yang aku alami sekarang. Padahal jelas sekali, beberapa meter dari tempatku berdiri aku melihat orang-orang berlalu lalang dengan pakaian vintage mereka.
Beberapa dari mereka bahkan ada yang membawa seekor naga kecil, kupu-kupu besar dengan belalai, dan capung besar yang bisa ditunggangi.
"Jadi ini yang namanya dunia anime ... tak heran para wibu ingin sekali kemari," gumamku kagum saat melihat orang-orang di sini.
"Kau bisa menjadi salah satu di antara mereka jika kau mau. Toh tempatmu memang di sini Caramel ... bumi itu bukan tempat yang cocok untuk orang sepertimu," ujarnya sambil berjalan mendekatimu.
"Benar juga ... aku stress sekali tinggal di bumi. Oke kalau begitu, aku akan memikirkannya dulu. Jadi bolehkah aku pulang sekarang?" tanyaku sambil melipat tangan di dada.
Perempuan mungil itu tertawa. Aku bingung menatapnya bertanya-tanya.
Apakah aku mengatakan hal yang lucu atau semacamnya?
"Kata siapa kau boleh pulang lagi ke sana?"
"Hah?"
"Kau harus tinggal di sini Caramel. Sepertinya kau tidak menyimak ucapanku dengan benar ya." Dia menggelengkan kepala, sambil meletakkan kedua lengannya di pinggang.
"Aku tinggal di sini?!" tanyaku tak percaya setengah berteriak.
Dia mengangguk cepat. "Bagaimana caraku untuk kembali?"
"Kau harus menjalankan sebuah misi. Ini akan menyenangkan, kau pasti akan menyukainya."
Manik coklatku memincing tajam. Aku menatap anak kecil di depanku ini dengan penuh kecurigaan.
"Misi?"