Prang
Bunyi nyaring dari dalam rumah terdengar jelas di telingaku. Aku menghentikkan kedua langkah kakiku, menatap pilu rumah sederhana di depanku ini.
Hari sudah mulai gelap. Tetapi suara piring tersebut, tetap tidak menghilang.
"Tidak bisakah mereka tenggelam dan menghilang seperti matahari di jam enam sore?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku membuka pagar rumah yang berisik dengan suara nyaring tersebut sebelum masuk ke dalamnya.
Prang
Aku menutup kedua mataku dengan tangan yang mengepal keras.
Napasku berat, jantungku berdegub kencang. Pikiranku sangat kacau.
Membayangkan betapa berantakannya rumahku, membuat moodku hancur.
"Kenapa mereka selalu bertengkar? Padahal mereka bukan anak kecil. Ah iya aku lupa. Mereka bertengkar juga karena aku."
Aku mulai melangkahkan kakiku maju, menuju pintu belakang.
Kriet
Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam, setelah membuka pintu tersebut.
Suara tangisan perempuan terdengar keras dari arah ruang tamu. Aku mencengkeram keras gagang pintu, menutupnya perlahan.
"Kau seharusnya bisa mencari uang lebih banyak!"
"Tapi kau suami! Kau yang harusnya bisa mencari uang lebih banyak dasar sialan!"
"Jaga bicaramu kau itu perempuan!"
Aku melangkahkan kakiku cepat. Berlari di tangga, menuju kamar tidur.
"Huft ... harus tenang," lirihku sesaat setelah masuk ke dalam kamar tidur.
Tubuhku lemas. Rasanya lelah sekali, apalagi saat mendengar dua orang ribut di dalam rumahku.
Bruk
Aku menjatuhkan tubuhku itu ke atas ranjang empuk berbalut selimut lembut berwarna hijau.
"Aku ingin tidur, bermimpi indah dan tidak akan pernah terbangun lagi."
Seperti Tuhan mendengar doaku. Keinginan yang ku buat asal-asalan itu pun terwujud.
Di detik selanjutnya setelah mengatakan hal tersebut, aku tidur dan mendapatkan sebuah mimpi yang sangat aneh.
Suara burung berkicau adalah hal yang pertama kali ku dengar saat membuka mataku.
"Di mana aku?"
Aku mendudukkan diriku, yang ternyata telah berada di bawah pohon apel.
Aku mengusap kedua mata, berupaya untuk memperjelas penglihatan. Tanganku bergerilya, meraba-raba pakaian yang aku kenakan.
"Aku masih memakai seragam sekolah," gumamku sambil memegang seragam putih abu-abu itu.
"Apa ini benar mimpi?" batinku sambil melihat ke depan.
Hamparan rumput pendek luas, dengan capung yang berterbangan di depanku membuat suasana hatiku tenang.
"Tidurmu nyenyak?"
Aku tersentak kaget. Seorang anak perempuan berusia lima tahun sedang duduk manis di sampingku.
Aku memperhatikan anak kecil itu lekat. Seperti sedang menyelidik apakah dia ini hantu atau manusia. Bajunya yang ramai dengan aksesoris, serta tas pinggang berwarna merah muda yang senada dengan bajunya. Membuat aku bertanya-tanya.
"Apakah dia sedang cosplay? Dia terlihat seperti sedang cosplay seseorang dari karakter game. Apalagi rambut dan matanya yang berwarna merah itu," batinku bingung.
"Siapa?"
"Selalu saja pertanyaan itu yang keluar dari mulut kalian. Apakah kalian tidak ingin bertanya hal yang lain selain itu?"
Aku mengernyitkan dahiku. Rasa bingung dan penasaran bercampur aduk menjadi satu di dalam kepalaku.
"Kalian?"
"Hmm! Orang-orang dua belas persen lainnya," jelasnya sambil memainkan surai hitam panjangku.
"Dua belas persen? Apa itu? Apakah aku juga termasuk?" tanyaku beruntun penasaran.
Anak kecil itu tertawa. Dia menangkupkan kedua pipiku dengan tangannya yang mungil. Menatap langsung kedua bola mataku.
"Kau adalah salah satu orang terpilih. Jadi aku minta ... malam ini kau harus datang. Oke?"
Aku menggeleng pelan. Tanganku mencengkeram pelan bahunya, berusaha memundurkan tubuh mungil tersebut dariku. "Ke mana? Kau ini bicara apa? Aku tidak mengerti."
"Ke tempat indah, di mana seharusnya kau berada."
Perempuan mungil itu tersenyum. Dia berdiri, lalu memejamkan kedua matanya.
"Wah!"
Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Aku sungguh terkejut.
Bagaimana tidak? Perempuan bersurai merah itu terbang. Dia terbang seperti hantu di film-film horor. Hanya saja, penampilannya yang imut tidak memberikan kesan horor terhadapku.
"Bukankah ini sudah jelas? Jadi, apakah kau sudah membuat keputusan, wahai si manusia dua belas persen?"
.
.
Aku menempelkan kedua pipiku, dengan dua buah plastik berisikan es batu di dalamnya. Aku tidak bisa tidur, dan kepalaku terasa seperti habis terbakar.
Semua ini akibat mimpi aneh itu.
Aku terus menghela napasku, menatap langit malam dari atas atap rumahku ini.
"Aku tidak mengerti ... apa maksudnya aku ini si dua belas persen?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku melipat kedua tanganku di dada, membiarkan dua buah kantung plastik itu melayang di dekat kedua pipiku.
"Tapi dia bilang ada manusia lainnya juga ... itu berarti aku tidak sendirian?" tanyaku lagi.
Pluk
Pluk
Kedua kantung es itu jatuh ke atap rumahku. Konsentrasiku terpecah, membuat dua buah plastik itu jatuh dan berguling ke halaman rumah.
Sudut bibirku naik. Aku berdiri di atas atap rumah sambil menatap kedua buah plastik yang telah jatuh itu. "Tapi kalau semua yang dia katakan benar, pasti akan seru sekali. Aku memiliki teman yang mirip denganku."
Aku memejamkan kedua mataku. Pikiranku fokus, merasakan aliran darah yang menjalar cepat di seluruh tubuh.
"Terbang," batinku.
Tubuhku melayang. Aku terbang, lalu masuk ke dalam kamar melalui jendela.
Aku menjatuhkan tubuhku di atas tumpukan kapuk berbalut sprei lembut tersebut.
"Haah ... akhirnya aku bisa menghela napasku lega."
Kedua mataku terpejam. Tangan dan kakiku bergerak-gerak, menelusuri hawa dingin di sprei berwarna hijau tosca ini.
"Eh?"
Aku merasakan sesuatu. Gerakan tangan dan kakiku berhenti. Aku mendudukkan tubuhku, berusaha mencari benda apa yang tak sengaja menyentuh kulit tanganku itu.
Tap
Dan akhirnya aku menemukannya. Itu adalah sebuah amplop. Benda putih polos biasa, yang sering kali kalian temukan ketika sedang hajatan ataupun upacara kematian.
Aku membuka benda tersebut, merobeknya dengan tak sabaran. Hingga pada akhirnya, terlihat sebuah kertas berukuran tujuh sentimeter.
Kertas tersebut berkilauan. Berwarna silver, dengan pinggiran yang berwarna biru tua. Kertas tersebut kosong. Tidak ada tulisan apa-apa kecuali motif bunga merambat kecil yang tidak aku kenali.
"Apa ini? Siapa yang meninggalkan ini di kamarku?"
Aku terus bertanya-tanya sambil meraba kertas tersebut.
Permukaan kertas ini ternyata tidak rata. Bisa aku rasakan, permukaan tersebut seperti melambangkan sesuatu.
Dahiku mengernyit saat merasakan sebuah ukiran angka yang berada di pojok kiri atas. "Satu ...." Aku terus meraba secara perlahan. Merasakan tiap senti kertas berukuran kecil tersebut.
"Dua ...." Angka itulah yang aku rasakan selanjutnya. Angka ini tertulis terpisah, dan kali ini berada di pojok kanan bawah.
"Apakah selanjutnya tiga? Oh mung-- ah bukan!"
Aku heboh sendiri. Jari-jemariku mulai merasakan ukiran gaib itu lagi. Kali ini bukan angka dan bukan juga huruf. Ukirannya benar-benar terasa asing di jariku.
"Bentuknya seperti lambang ... persen?"
Cling
Cahaya putih terang tiba-tiba saja keluar dari kartu mungil itu. Kartu kecil itu terbang di udara, dan perlahan memunculkan sebuah pintu besar berwarna coklat.
Aku membuka mulutku lebar-lebar, seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat ini.
Fakta bahwa aku bisa menggerakan benda tanpa menyentuhnya, itu sudah cukupa aneh. Tapi kali ini, aku menemukan sesuatu yang lebih aneh lagi.
Sebuah kartu yang bisa memunculkan pintu. Pintu ini mengingatkanku pada seorang tokoh kartun, yaitu si robot kucing biru tanpa telinga yang sering kali tayang di hari minggu itu.
"Apa aku sedang menghayal sekarang? Apakah aku sebodoh itu hingga dikirimkan sebuah robot cerdas dari masa depan?"