Terkadang, pria itu terlihat menyebalkan, tapi di satu sisi pria itu jua terlihat baik dan bertanggung jawab. Buktinya, Juan mentraktirnya makan dengan alasan rasa terimakasihnya karena sudah mau membantunya, juga mengantarnya pulang. Clara jadi bingung, Juan ini pria macam apa? Meskipun tidak menebak pria itu, Clara berpikir bahwa dia adalah pria yang baik. Jadi, tidak ada yang perlu di khawatirkan.
Mungkin, jika pria itu menginginkan dirinya menjadi kekasih pura-puranya itu tidak akan menjadi masalah besar untuknya karena dilihat-lihat Juan adalah pria yang baik. Sebelum turun, gadis itu mengatakan sesuatu pada pria itu. "Pak Juan, tentang uang ganti rugi saya ...." baru saja Clara ingin membicarakan kembali tentang uang ganti rugi terebut. Namun Juan memotong ucapannya.
"Kamu gak perlu menggantinya dengan uang, kamu hanya perlu membantu saya agar terlepas dari pejodohan saya dengan Rere," ucap Juan yang mengetahui apa maksud gadis itu.
"Tapi, Pak. Bukankah harga handphone itu mahal? Emangnya setara sama apa yang Bapak bilang?"
"Saya bisa beli puluhan ponsel kalau saya mau. Tapi saya tidak bisa menolak perjodohan itu."
"Dan satu-satunya cara adalah saya harus memiliki kekasih, oleh karena itu saya minta bantuan kamu."
"Tapi, kenapa harus saya? Bukankah Pak Juan bisa aja pilih gadis lain buat dijadiin kekasih?"
Saya yakin kamu gak akan suka dengan saya kan?" tanya pria tersebut melihat ke arah Clara, gadis itu pun membuang pandangannya.
"Yaaa gak akan!" seru gadis itu dengan wajah yang memerah. "Lagian, siapa juga yang bakalan suka sama orang yang baru dikenal? Apalagi saya berhutang uang seharga Handphone ke orang itu," jawab gadis itu dengan kesal. Ia masih tidak terima waktunya di rampas oleh orang ini seharian.
"Ya makanya saya pilih kamu, saya belum ada niat untuk jatuh cinta, perjodohan itu juga dilakukan secara sebelah pihak tanpa sepengetahuan saya. Untungnya saya laki-laki dan saya bisa bernegosiasi ke Ibu saya agar sebisa mungkin perjodohan itu tidak ada. Tapi beliau bilang saya harus memiliki kekasih terlebih dahulu untuk meyakinkannya dan itu akan saya lakukan," ucap pria itu.
Clara memandang pria itu dengan iba, padahal kalau di lihat-lihat Juan termasuk pria tampan yang bisa saja mendapatkan gadis-gadis cantik untuk menjadi pacarnya, apalagi dari caranya bicara dia pasti seorang konglomengrat yang kaya raya, tapi di balik itu semua pria tersebut nampaknya tersiksa oleh keadaannya yang sedang di alami.
"Yaudah kalau begitu saya permisi dulu," kata Clara pamit pulang.
"Oh iya, berikan nomor ponsel kamu," kata Juan hampir lupa.
"Eh? Nomor handphone saya?" tanya gadis itu sedikit bingung.
"Iya, sebagai pacar saya, saya harus punya nomor ponsel kamu," ucap pria itu. Clara pun mengangguk membenarkannya.
Juan mengulurkan pulpen yang ada di saku kemejanya pada gadis itu. Clara menerima pulpen tersebut namun ia bingung harus menuliskan nomor ponselnya di mana. "Ng ... Pak, Pak Juan gak kasih saya kertas? Saya nulis nomor saya di mana ya?" tanya gadis itu.
Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Juan mengulurkan tangannya. Clara sempat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh pria itu. Ia memandang tangan Juan dengan tatapan heran. "Kenapa kamu lihatin aja? Cepat tulis nomor ponsel kamu di tangan saya," ucap pria itu dan Clara pun langsung melaksanakan perintahnya. Dengan cepat gadis itu menuliskan nomor ponselnya.
"Oke, rumah kamu saya sudah tahu, nomor ponsel kamu juga saya sudah tahu. Kamu sudah boleh pulang," kata Juan dan Lala pun mengemasi barangnya dan keluar dari mobil tersebut. Sebelum pergi, gadis itu mengatakan terima kasih karena telah di traktir juga diantar pulang olehnya. Juan mengangguk kemudian menutup kaca jendela dan segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah Clara.
Setelah Juan pergi, Clara membawa makanan yang dibelikan Juan untuknya ke dalam rumah. Hari ini adalah hari yang melelahkan, namun ini juga hari sialnya. Naskahnya yang sudah di persiapkan dari semalam sia-sia, ia tidak bertemu dengan Editor yang sudah menghubunginya kemarin.
"Huh, anggap saja kalau gue lagi sial dan Penerbit itu bukanlah Rejeki gue," ucap gadis itu menghibur dirinya sendiri. Bagaimana pun juga, ia harus menerimanya.
Ia melangkah menuju rumahnya, di dalam ada teman satu kos nya bernama Maria.
Ketika masuk ke dalam rumah, gadis itu terkejut sebuah perayaan terjadi di rumahnya.
"Selamaaat, Penulis Clara!" seru Maria memberi ucapan selamat kepada Clara, sahabatnya.
Gadis itu tidak tahu apa yang terjadi, yang ia tahu hanyalah Clara pergi untuk menemui Editornya karena naskah yang ia upload ke sosial media dan itu adalah berita menyenangkan.
Karena sahabatnya sebentar lagi akan menjadi penulis terkenal dan akan sibuk serta tidak akan ada waktu untuk bersama dengannya nanti, Maria memberikan pesta pada Clara. Ia menghias ruangan serta memberikan ucapan selamat sekencang-kencangnya.
"Clara, gimana sama naskah lo? Kapan Novel lo terbit? Terus-terus ada rencana gak novel lo bakalan di film-in? Gue gak sabar nih nunggunya!" tanya Maria memberikan pertanyaan pada sahabatnya bertubi-tubi. Ia sangat senang sahabatnya ini akan menjadi penulis yang terkenal sebentar lagi.
"Apaan sih lo? Lagian siapa yang bakalan jadi penulis terkenal? Gak ada!" seru Clara dengan wajah kesalnya. Gadis itu berlari menuju kamarnya dengan wajah seperti itu, Maria kebingungan melihat sikap Clara yang tidak biasanya. Padahal, semalam gadis itu sangat senang hingga tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi, kenapa dia malah tampak kesal?
"Kenapa Clara?" Heran Maria dengan sikap Clara yang sedikit aneh.
"Clara! Lo kenapa Clara!" seru Maria memanggil-manggil gadis itu namun tidak didengarkan olehnya.
Maria semakin penasaran dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya, gadis itu pun segera menyusul Clara.
"Clara, lo kenapa? Apa terjadi sesuatu waktu lo ketemu sama editor lo?" tanya Clara mengetuk-ngetuk pintu kamar Clara.
"Clara, kalau emang terjadi sesuatu cerita sama gue. Gue mungkin gak ngerti tentang kepenulisan ataupun novel, tapi kalau ada apa-apa lo bisa cerita sama gue," ucap gadis itu berharap di dalam sana Clara mendengarkan apa yang ia katakan dan mau membukakan pintu kamar untuknya.
Beberapa detik kemudian pintu kamar Clara terbuka, gadis itu terlihat sangat kelelahan. Clara menyuruh Maria masuk untuk menceritakan semua yang telah terjadi pada gadis itu yang niat awalnya ingin bertemu dengan editornya, namun sesuatu yang tidak terduga terjadi sehingga membuat pertemuannya dengan editor tersebut gagal. Tentu saja hal tersebut membuat Clara tidak bersemangat setelah pulang ke rumah. Ia sangat kesal dengan apa yang terjadi tadi siang.