"Rahel, lo denger soal kasus hantu di asrama?" bisik Linda.
Rahel menggeleng tanpa menatap lawan bicaranya, dia masih sibuk mencatat poin penting dari papan tulis. Sementara Linda mulai melihat situasi yang memang sedang aman, semua orang fokus mencatat, dan guru pun sibuk dengan laptop. Dia kembali menatap teman sebangkunya, ekspresi serius dia berikan dengan senyum yang cukup lebar.
Namun, ketika Linda membuka mulut sedikit lebar tiba-tiba saja Rahel menoleh, dan berkata, "Maaf ya, tapi sebenernya kuping gue geli kalau ada yang bisik-bisik. Bisa... ngasih tau lewat whatsApp aja gak?"
"Ih, gak bisa." Linda mulai membuat jarak sedikit jauh dari telinga Rahel, tapi sedikit dekat wajah Rahel. "Anak kelas sebelah kesurupan beberapa kali, katanya sih ketempelan hantu gitu deh. Ada yang bilang juga kalau doi abis buang sesuatu di toilet."
"Toilet mana?" tanya Rahel tanpa menatap lawan bicaranya. Dia masih sibuk mencatat.
"Sekolah. Dia buang apa ya? Gue aja gak tau, pokoknya dia buang terus kesurupan selama tiga hari ini."
"Tiga hari?" Rahel menatap Linda tak percaya. Bagaimana bisa ada yang kesurupan sampai tiga hari? Rahel tak habis pikir, tapi menurutnya ini juga bisa terjadi karena korban membuat kesalahan yang mungkin bisa dikatakan cukup fatal.
"Tapi sekarang dia masuk sekolah loh. Tapi temennya pada bilang kalau dia agak aneh."
Rahel hanya mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. Dia sangat penasaran dengan gadis yang Linda maksud, tapi janjinya pada Febby membuat dia tidak bisa mendekat. Dia mencoba untuk membuang jauh-jauh rasa penasaran itu, kembali mencatat rumus yang baru saja ditulis guru kimianya. Membiarkan Linda yang masih bercerita panjang lebar tentang kesurupan, dan hantu yang mengikuti gadis malang itu.
Bunyi bell pulang membuat Rahel segera mengemas alat tulisnya dengan cepat, tapi dia kalah cepat dengan Linda yang sejak tadi tidak mengeluarkan buku. Gadis itu sudah berlari pergi bersama guru, sementara Rahel mencoba untuk bersabar karena harus keluar secara bergantian. Semua orang ingin pulang lebih dahulu kali ini.
"Itu loh anaknya."
"Ah, yang itu. Kok agak beda ya? Gak kaya biasanya."
"Auranya yang bikin beda, gue juga ngerasa aneh dari pagi."
Percakapan beberapa gadis membuat Rahel berhenti di koridor kelas. Dia ikut menoleh ke arah perempuan yang sedang berdiri didekat pot bunga mawar. Tidak ada yang aneh di mata Rahel, malahan dia merasakan kesedihan sejak tadi. Banyak rumor yang beredar dengan cepat, dan jelas perempuan yang menjadi korban itu pasti merasa malu sekarang.
"Ih, serem!" ucap salah satu gadis dengan surai pendek sambil berlari. Rahel yang masih mematung kebingungan mulai mendengar suara teriakan yang begitu nyaring.
Gadis yang menjadi pusat perhatian seantero sekolah sedang dibopong. Entah akan di bawa ke mana dengan mobil sekolah, padahal kondisinya sedang tidak baik. Berteriak sambil terus memberontak.
Rahel menghela samar, dia merasa kasihan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain meninggalkan sekolah yang masih ramai. Dia berjalan dengan lamban, sampai seseorang menepuk pundak kanannya, dan berkata, "Rahel, gue kangen!"
"Gak pulang?" tanya Rahel tanpa menoleh, seakan tahu siapa yang mengajaknya berbicara.
"Pulang kok." Vito tersenyum begitu lebar ketika berjalan tepat di samping Rahel.
"Kok gak bawa tas?" kening Rahel bertaut ketika melihat punggung Vito yang kosong. "Waktu ketemu di halte pagi tadi juga lo gak bawa tas."
"Di bawa temen," sahut Vito sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Oh gue pikir lo tinggal di kelas gitu semua bukunya." Rahel tertawa kecil mengatakan hal bodoh itu, "Eh, tapi rumah lo di mana sih? Gue penasaran deh."
"Deket halte, komplek melati nomor empat lima, mau main ke rumah?"
"Emang boleh?" Rahel menoleh, langkah kakinya juga berhenti sekarang.
"Engga."
"Kenapa gitu?"
"Gapapa, pokoknya gak boleh," jawab Vito sebelum melenggang pergi.
Rahel yang ditinggal hanya bisa menatap punggung Vito dengan kening bertaut. Penasaran dengan alasan Vito melarangnya mampir ke rumah. "Vito, lo pelit!"
*****
Langit masih setia dengan warna pink keunguan, bahkan awan pun ikut berwarna pink. Seakan mereka sedang merayakan sesuatu, bersama dengan angin jahat karena terasa menusuk kulit ketika kali berdiri di luar rumah tanpa menggunakan jaket atau celana panjang.
Jalanan yang biasanya penuh dengan kendaraan beserta kepulan asap sekarang tengah sepi. Hanya ada beberapa motor, dan mobil yang lewat, bahkan bisa dihitung dengan jari.
Aspal nampak sedikit basah, dedaunan dan bunga-bunga pun memiliki banyak butiran air. Seakan-akan hujan mampir sebentar, dan mencoba tidak meninggalkan jejak yang cukup banyak.
Cahaya matahari mulai nampak meskipun hanya sedikit. Gadis dengan hoodie berwarna putih itu juga mulai berlari tanpa mempedulikan hawa dingin sejak tadi. Jalanan mulai ramai, ada banyak orang dari pasar yang pulang ke rumah.
Rahel menghentikan langkahnya di dekat rambu lalu lintas. Napasnya tak teratur, keringat di mana-mana, dia mencoba untuk bernapas normal, tapi cukup sulit. Perutnya pun terasa sakit sekarang, padahal sudah sering dia melakukan olahraga pagi seperti ini. Lari selama satu jam bukan apa-apa bagi Rahel, tapi kali ini berbeda.
Setelah istirahat selama beberapa menit, Rahel kembali berjalan cukup cepat. Dia memilih untuk naik taksi menuju rumahnya. Mandi, dan mengganti pakaian penuh keringatnya dengan seragam sekolah yang wangi adalah tugas utama sebelum sarapan dengan Febby.
~o0o~
"Pagi banget Non, masih belum ada yang dateng loh. Ini baru saya yang dateng buat buka semua kunci kelas sama pintu pagar," ucap penjaga sekolah yang masih belum Rahel tahu siapa namanya.
Rahel hanya tersenyum kikuk sebelum berdiri diambang pintu pagar. Dia memperhatikan sekolah beberapa kali, dan kembali menatap pria paruh baya dengan kaos hadiah dari salah satu bank. "Biasanya sekolah rame jam berapa Pak?"
"Em... kayanya sih setengah jam lagi Non, kalau sekarang mah gak bisa ditunggu."
"Kepagian banget ya berarti."
"Banget Non, anak saya yang masih SD sekarang lagi asyik nonton kartun di rumah sambil disuapin bundanya."
"Ahaha! Saya juga harusnya masih di kamar sambil main HP Pak, tapi udah terlanjur juga gapapa deh. Makasih ya Pak udah bukain pagar sekolah, saya permisi," ucap Rahel sebelum melenggang dengan senyum ramahnya.
Rahel sampai di kelas dengan durasi waktu yang cukup lama karena tersesat. Hari keduanya setelah berkeliling sekolah sebesar ini membuatnya pusing. Banyak tempat yang seharusnya tidak ada, dan membuatnya tersesat. Hembusan napas panjang keluar begitu dia duduk.
Buku tulis dia keluarkan beberapa detik kemudian, tugas kimianya belum selesai. Ada banyak soal yang harus dia kerjakan dengan otak yang masih segar, dan dengan perut yang sudah penuh dengan makanan.
Rahel mengernyit bingung karena soalnya berubah menjadi mudah, padahal semalam terasa sulit sekali. Sampai-sampai dia ingin meminta jawaban dari ketua kelas yang katanya sangat pandai, dan baik hati.
Tugasnya selesai dengan cepat, tapi masih belum ada orang yang datang. Rahel kembali mendesah, dia bingung ingin melakukan kegiatan apa sepagi ini. Menyesali kebodohannya pun tidak memiliki arti sekarang.
Rahel beranjak tanpa ransel, dia memilih untuk pergi tanpa tujuan. Kembali mengelilingi sekolah baru untuk ketiga kalinya. Suasananya berbeda kali ini, mungkin karena terlalu sepi, dan Rahel yang mulai memperhatikan setiap sudutnya.
Langkahnya terhenti, dia tidak tahu sedang ada di mana, tapi tempatnya begitu asing. Tempat ini kumuh dan sedikit gelap, padahal matahari sudah terlihat di langit ketika dia menyusuri koridor tadi.
Lorong ini seperti jauh dari jangkauan matahari, dan sepertinya tidak pernah di lewati. Dibiarkan begitu saja tanpa pernah di bersihkan. Auranya juga tidak menyenangkan, seperti ada aura negatif yang menyapa Rahel sejak tadi, tapi sayangnya Rahel masih tidak paham. Dia memilih untuk berjalan lurus. Seakan-akan ada sesuatu yang menuntunnya untuk terus melangkah tanpa ragu.
Rahel mengernyit ketika langkahnya berhenti di depan pintu toilet perempuan. Dia memilih untuk membuka pintu yang ternyata sudah rusak, jatuh begitu saja ke belakang. Aroma debu khas tempat kotor, dan jarang di bersihkan tercium. Rahel tidak tahu kenapa dia harus ada di sini dengan rasa penasaran yang tidak bisa ditahan.