Rahel berlari begitu cepat tanpa mempedulikan orang di koridor, mereka menatapnya aneh karena ekspresi Rahel sekarang. Pintu utama toilet dia buka tanpa menghentikan langkah, masih dengan berlari ketika membuka pintu bilik nomor tiga. Pintu toilet dia tutup dengan terburu-buru sampai menimbulkan suara yang cukup nyaring.
Suara air kloset yang keluar membuatnya bernapas lega dengan senyum sebelum beranjak. Kedua tangannya dia cuci di wastafel dekat dengan bilik toiletnya. Kaca besar itu memperlihatkan wajah Rahel yang masih cantik berseri. Rambutnya pun masih rapi, tapi rasanya masih belum sempurna. Rahel memutuskan untuk mengubah gaya rambutnya yang semula dia kucir kuda menjadi terurai.
Bilik toilet nomor dua terbuka, memperlihatkan gadis berkacamata keluar tanpa mencuci tangan. Rahel hanya memperhatikan sekilas sebelum kembali menatap wajahnya dari pantulan cermin. Suasananya berubah menjadi hening sekarang, tapi Rahel tidak begitu peduli. Dia masih fokus dengan rona bibirnya yang terlalu merah, tapi dia hapus dengan tisu sedikit susah.
"Ini kenapa susah banget sih?" gumamnya sambil terus menghapus lipstik di bibirnya, tapi kemudian aktivitasnya terhenti. Rahel mengernyit ketika merasa ada yang meniup telinganya. Angin yang begitu dingin hingga membuat bulu kuduknya meremang.
Rahel memperhatikan sekitarnya, bahkan dia sampai mendongak untuk memeriksa tempat angin keluar. Sayangnya tempat ini sangat tertutup, hanya ada lampu dengan pintu utama toilet yang tertutup rapat. Tentu tidak ada orang lain di sampingnya tadi, dan sekarang Rahel benar-benar merinding.
Aura toilet mulai terasa berbeda, Rahel mulai was-was. Keran air segera dia buka agar suasana tak begitu mencekam, tapi sayangnya aura negatif masih dia rasakan. Buru-buru dia buang tisu bekas, dan berjalan pergi. Namun, langkahnya berhenti tepat di dekat pintu utama karena suara keran air, seperti suara orang yang sedang mandi.
"Ada orang gak sih di luar?" teriak seseorang dari arah ujung toilet, tepat di dalam bilik yang tidak pernah Rahel buka sebelumnya. "Keran airnya mati, gue lagi keramas jadi perih mata gue. Tolong dong siapa pun kasih gue air cepetan!"
Rahel tak langsung menyahut, dia masih memperhatikan ujung toilet. Ketukan pintu toilet beserta suara seorang gadis yang meminta tolong dengan nada kesal membuatnya berani untuk melangkah maju. Dia dengarkan sekali lagi dengan sungguh-sungguh. "Ada orang beneran?" sahut Rahel dengan perasaan lumayan takut.
"Eh, iya ini ada gue di sini. Gue lagi keramas, boleh minta tolong gak kasih gue air? Suruh satpam sekolah idupin sanyonya ya, soalnya mata gue udah perih banget!"
"Airnya mati?" kening Rahel bertaut tak percaya.
"Iya, gue ngapain teriak kalau gak mati airnya?"
Cepat-cepat Rahel buka keran wastafel, dan benar saja tidak ada air yang keluar. "Gak ada?" gumamnya kebingungan karena baru beberapa menit yang lalu dia membuka keran, dan air keluar seperti biasanya tanpa ada kendala.
Pintu toilet kembali di ketuk beberapa kali dari dalam, tentu Rahel menoleh terkejut. "Lo masih di sana gak sih? Tolongin gue dong, gue butuh banget sama airnya. Nanti kalau gue mati gara-gara mata perih gimana? Masa lo mau tanggung jawab? Gak lucu dong."
"Ah, iya sebentar gue cariin satpam sekolah ya, bentar!" sahut Rahel sebelum pergi berlari. Langkahnya berganti berjalan pelan ketika dia berada di luar toilet, seseorang yang harus dia temui tak terlihat. Padahal biasanya satpam sekolah sering dia lihat sedang duduk di ujung koridor dengan kopi yang sudah dingin.
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas sebelum dia berlari mendekati pos satpam. "Pak?" panggilnya dengan deru napas yang tidak stabil. "Pak Eko, saya boleh minta tolong gak Pak?"
Tentu Pak Eko buru-buru keluar dari ruangannya, berdiri tepat di depan Rahel dengan senyum ramah ala pak satpam. "Tumben Neng Rahel minta tolong, ada yang darurat ya Neng?"
"Air toilet gak bisa nyala Pak, saya pikir di penampungan udah abis. Ada yang lagi keramas di toilet soalnya, kasian kalau gak di tolongin."
Kening Pak Eko bertaut kebingungan. "Keramas? Sekarang belum jam istirahat loh Neng, masa udah keramas aja sih? Emangnya kalau lagi bolos kelas gitu suka pada keramas ya?"
"Oh iya, lagi ada kelas sejarah indonesia di kelas saya Pak!" Rahel menepuk jidat karena benar-benar lupa dengan hal ini. "Tapi saya udah janji buat nyariin Bapak ke dia, saya udah janji kalau airnya bakalan keluar."
"Hm, gitu ya Neng. Ini saya lihat penampungannya dulu ya, Neng Rahel mau ikut atau nunggu di depan toilet?"
"Saya ikut Bapak aja deh."
"Oke, ayo ikut saya ke belakang sekolah!"
Rahel mengekori Pak Eko dengan cemas. Memikirkan gadis yang sedang menahan perih di dalam bilik toilet, dia harap gadis itu bisa menahan rasa perih di mata atau melakukan sesuatu supaya wajahnya tak memiliki busa shampo.
Mereka sampai di pekarangan belakang sekolah. Pak Eko mengambil tangga, mengecek penampungan air yang ada di atas atap. Tak lama untuk melihat banyaknya air di sana, hanya melihat dan kemudian turun. "Gak ada yang salah kok Neng, airnya masih banyak sama selurannya pun kerja. Gak ada yang nyangkut, kayanya ada yang salah sama keran airnya. Kita ke toilet sekarang?"
Rahel mengangguk sebelum kembali berjalan di belakang Pak Eko. Toilet tak begitu jauh dari pekarangan belakang, mereka sampai begitu cepat. Namun, anehnya toilet benar-benar hening. Tidak ada suara apa pun, bahkan ketika Rahel mencoba untuk mengetuk sambil memanggil orang di dalam pun tak ada sahutan.
"Neng, beneran ini toiletnya?" Pak Eko merubah ekspresinya sambil menunjuk pintu toilet.
Rahel hanya mengangguk tanpa bertanya dengan ekspresi Pak Eko karena sepertinya apa yang dia rasakan pun dirasakan Pak Eko.
Pria paruh baya itu mencoba untuk membuka pintu toilet secara perlahan, tapi karena tidak terkunci membuatnya langsung membuka pintu sampai menimbulkan suara nyaring karena benturan knop pintu dengan dinding toilet.
Tak ada siapa pun. Tidak ada busa, dan lantainya pun kering seperti tidak pernah dipakai. Bak mandinya juga terisi dengan air, bahkan penuh.
Rahel dan Pak Eko saling pandang dengan bibir Rahel yang terbuka sedikit karena terkejut. Dia benar-benar bingung. "Saya gak bohong kok Pak, tadi beneran ada yang minta tolong," ucap Rahel tak enak hati.
"Tidak apa-apa Neng, saya tau kok. Udah biasa juga, tapi lain kali kalau ada yang minta tolong di toilet bagian sini jangan langsung dijawab ya Neng!"
"Kenapa emangnya Pak?"
"Penunggu." Pak Eko tersenyum kecut. "Kalau gitu saya lanjut tugas lagi ya, Neng Rahel juga harus ke kelas supaya gak di marahin guru. Saya permisi Neng," lanjut Pak Eko sebelum berjalan pergi dengan tergesa-gesa.
Sementara Rahel masih mematung, dan mencoba untuk mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Dia tidak sedang bermimpi ataupun berkhayal, suara itu benar-benar ada, dan air tidak keluar ketika dia menghidupkan keran wastafel. Seingatnya pula tidak ada arwah yang memiliki kekuatan sebesar itu, bahkan hanya untuk menghentikan air.
"Kenapa lo nyuruh orang lain dateng?!"