Rahel sibuk memainkan rubik sementara Vito masih saja bercerita soal hantu-hantu yang ada di sekolah. Katanya ada banyak arwah yang ingin pulang, tapi bingung dengan cara yang harus dipakai karena sudah terlalu sering melakukan berbagai cara. Bahkan meminta bantuan pada makhluk yang lebih kuat dan besar. "Tapi gue gak mau minta bantuan mereka Hel."
"Kenapa?" sahut Rahel tanpa menatap lawan bicaranya.
"Ya... apa ya? Alesannya sih... soalnya... mereka suka minta imbalan gitu loh. Imbalannya bukan makanan, tapi gue harus jadi babunya mereka."
Rahel menghentikan aktivitasnya ketika kening bertaut, rubik dia letakan di atas paha berlapis selimut. Kali ini ekspresi bingung dia berikan untuk Vito. "Tadi katanya di bantuin pulang, kok bisa jadi babu?"
"Di bohongin Rahel. Gak beneran di anterin pulang, tapi banyak yang ketipu juga. Ada juga yang masuk ke wilayah mereka langsung gak bisa pulang, udah jadi punya mereka. Pokoknya gitu deh."
"Ribet ya ternyata dunia lo ini. Gue baru tau."
"Banget, masih mending dunia manusia. Gue kalau tau kaya gini mah udah jelas pilih hidup ketimbang bunuh diri."
"Tapi kalau lo masih hidup artinya... sekarang lo udah punya keluarga gak sih?"
Vito mengangguk setuju, "Pasti udah punya anak sama istri, gue lagi kerja sementara anak gue lagi main di rumah sama mamanya."
"Dan kita gak pernah bisa ketemu."
"Yaps! Betul banget, kita gak akan pernah ketemu kecuali papasan tanpa pernah saling kenal satu sama lain."
Suara pintu terbuka membuat Rahel menoleh sambil memberikan senyum terbaiknya untuk sang mama. Sementara Vito buru-buru beranjak karena dia tak mau memangku manusia hanya karena tidak pindah tempat.
Wanita dengan setelan berwarna navy mendekati Rahel, memberikan kecupan kasih sayang beserta pelukan hangat sebagai tanda kerinduan. Sesuai dugaan Febby duduk di tempat Vito tadi setelah meletakan tas tangannya di atas nakas. "Mama langsung ke sekolah waktu dapat telepon kalau kamu pingsan di toilet, kamu kenapa sayang? Belum sarapan atau kenapa?"
"Gak tau juga, tapi tiba-tiba aja pusing terus mata berat banget jadinya pingsan di sana," bohong Rahel.
"Astaga untungnya kamu gak kenapa-kenapa ya, dan untungnya lagi ada anak laki-laki baik yang gerak cepat buat bantuin kamu. Kata dokter, kamu itu dehidrasi jadi harus dapet pertolongan detik itu juga." Febby masih saja cemas dengan kesehatan putri semata wayangnya ini. "Mama gak tau lagi kalau gak ada anak laki-laki itu, kamu bakalan gimana nantinya?"
"Mama tau yang nolongin aku?"
"Tentu, waktu mama ke sana dia masih duduk di kursi nungguin kamu sama perawat. Katanya nunggu mama buat dapet penjelasan, mama cuman bilang makasih banyak tanpa nanya alasan dia. Memangnya kalian gak saling kenal?"
Rahel menggeleng pelan tanpa menatap sang mama. Dia sangat penasaran dengan sosok laki-laki yang menjadi dewa penolongnya hari ini.
"Dokter bilang, kamu harus istirahat buat beberapa hari ke depan. Mama juga udah bilang ke sekolah kok, mereka setuju."
"Engga Ma!" sahut Rahel begitu saja, kedua netranya sedikit melebar. Membuat Febby bertanya alasannya karena bingung. "Engga, besok ada materi yang harus aku catat supaya bisa ikut ujian pertama."
"Ujian? Kamu baru masuk sekolah loh Rahel."
"Iya, ini ujian harian gitu loh Ma. Setiap selesai materi A itu kita langsung ujian. Di tes gitu apa beneran udah paham atau belum, jadi aku harus catet materinya. Kalau minta tolong temen sekelas gak worth it Mama."
"Kenapa?"
"Ya soalnya aku gak bisa sepaham itu. Pokoknya besok aku harus sekolah, aku janji gak akan banyak aktivitas," ucap Rahel bersungguh-sungguh.
Febby hanya bisa menghela berat, tidak mengerti dengan jalan pikiran sang putri, dan berakhir dengan anggukan sebagai persetujuan akhir.
"Berarti besok aku sekolah dan hari ini harusnya udah bisa pulang."
"Engga, hari ini kamu masih butuh infus. Besok kamu bisa sekolah, tapi mama bawain seragamnya. Jadi dari rumah sakit ke sekolah, bilang aja pelajaran apa aja yang harus mama bawa buat besok!"
"Yah, Mama gak pernah asik."
"Rahel, kamu gak boleh bantah ya! Mama udah setuju loh sama permintaan kamu barusan."
Rahel memendam bibir sejenak untuk merutuki kebodohannya. Seharusnya dia tidak melakukan hal bodoh agar Febby tetap menurut, untungnya wanita itu tidak marah-marah dan menyuruh Rahel tetap di rumah sakit selama beberapa hari ke depan.
"Kamu mau makan apa sekarang? Mama tau kamu belum makan karena makanan rumah sakit gak begitu enak."
"Mau burger MCD!" sahut Rahel dengan penuh semangat, bahkan dia tambahkan tepuk tangan karena sudah rindu dengan rasa burger yang khas itu. "Ekstra saus sambal sama kentang ya Ma!"
"Oke, mama pergi dulu ya!" Febby beranjak sambil meraih tas tangannya.
"Loh, gak delivery order aja?"
"Engga, mama harus ketemu sama orang juga soalnya. Sekalian buat beli, gak akan lama. Mama beli makanannya dulu sebelum ketemu sama temen mama."
"Ah, oke. Take care Mama!"
"Kamu jangan buat ulah di sini ya, mama pergi dulu!" Febby mengecup puncak kepala putrinya sebelum melenggang pergi. Menghilang dari balik pintu dengan sangat cepat.
Vito pun duduk di tempatnya lagi setelah menunggu di ujung ruangan. Di dekat tembok sambil memperhatikan vas bunga yang menurutnya cantik. "Lama banget ngobrolnya," kata Vito begitu saja.
"Namanya juga nyokap, kalau bentar mah temen biasa."
"Temen gak deket ya. Pertanyaannya seputar, 'Rahel kenapa pingsan?, Rahel besok sekolah?, Rahel besok ini gak? Itu gak?' hahahah!"
"Yeee si tai malah ngejekin orang."
"Hahaha! Asik tau, lo harus coba kapan-kapan!"
"Gak ada waktu buat kaya gitu, mendingan tidur sih kalau gue mah," sahut Rahel, posisi duduknya dia ubah menjadi bersandar tanpa peduli dengan reaksi Vito sekarang. "Btw, besok gue ada rencana."
"Rencana apa lagi? Jangan deket-deket sama hantu yang hampir ambil alih tubuh lo ya!"
"Ih, engga! Gue gak segila itu. Gue pengen tau penolong gue aja. Gue yakin banget kalau dia ada di toilet besok, gue yakin banget!"
"Kenapa seyakin itu?"
Rahel mengangkat kedua bahunya begitu saja. Dia sendiri tidak tahu kenapa seyakin ini, tidak dia turuti untuk yakin malah membuatnya memikirkan cowok itu terus. Bahkan wajah yang dia lihat tadi pun masih terasa tidak nyata karena kurang jelas. Menyedihkan untuk dirinya yang harus penasaran malam ini.
"Mau liat dia kapan?" tanya Vito dengan suara sedikit lesu.
"Besok di jam pelajaran, gue yakin dia ada soalnya bisa masuk gitu aja ke toilet."
"Masa? Nanti kalau ada yang masuk gimana? Bukannya malah teriak?"
"Bener juga ya." Rahel mengernyit sambil berpikir, Lagi-lagi dia harus memikirkan jam yang tepat ketika cowok yang tidak dia kenal pergi ke toilet. Dia harus memilih jam yang sesuai agar tidak sia-sia. "Jam berapa ya?"
"Gue bantu buat buntutin anaknya gimana?"
"Lo tau anaknya?"
"Engga sih, heheh!"
"Aduh, gak usah ambil risiko deh kalau kaya gitu! Bikin gue pusing aja tau gak?"
"Ya, maaf kan tadi gue pikir bakalan bisa gitu."
"Udah-udah, gue ke sana pas pulang sekolah aja. Pas sekolah udah sepi pasti dia ada di sana."
"Lo yakin?"