"Juna!" Rahel berteriak sambil berlari menghampiri cowok yang sekarang berdiri tepat di samping mobil ayla berwarna putih. Dia sedikit terkejut dengan type mobil yang Juna bawa karena cukup berbeda dengan yang lain. "Maaf banget bikin lo nunggu lama soalnya tadi ada jam tambahan dari guru matematika wajib."
"Gue juga baru keluar," jawab Juna seadanya, ekspresi datar masih dia berikan. Seakan tak pernah ada niatan untuk memiliki hubungan dengan Rahel. "Udah bilang sama nyokap lo?"
"Kabar terbaiknya hari ini nyokap gue lembur, jadi pulangnya bakalan lebih larut dari biasanya. Tempat les gue juga udah gue kasih tau kalau gue gak bisa dateng hari ini."
"Hm, bagus kalau gitu. Kita pergi sekarang!"
"Naik mobil lo ini?"
Juna mengangguk pelan. "Kenapa? Lo alergi naik mobil kaya gini karena mobil lo lebih mewah ya?"
Rahel terkejut mendengar kalimat aneh itu, dia langsung menggeleng dengan kedua tangannya yang ikut melambai tepat di depan Juna. "Gak gitu kok, gue cuman nanya aja soalnya takutnya entar naik bus atau baik apa gitu."
"Gak ada waktu kalau naik bus, ayo!" Juna melenggang begitu saja ke dalam mobil, dan Rahel masih mematung dengan berbagai macam pertanyaan di dalam kepala.
Selang beberapa menit akhirnya dia ikut masuk ke dalam mobil. Menunggu Juna untuk segera melakukan kendaraan beroda empatnya. Sebenarnya Rahel bingung juga dengan sekolahnya yang ini, kenapa harus memberikan ijin menggunakan kendaraan beroda empat untuk anak sekolah yang masih di bawah umur. Mereka belum memiliki surat ijin, dan pasti mengendarai dengan ugal-ugalan.
Rahel sudah sangat yakin dengan hal itu, tapi melihat Juna yang mengemudi dengan santai, dan terlihat sangat lihai membuatnya membuang jauh-jauh tuduhannya tadi. Tidak semuanya seperti itu, tapi sebagian karena Rahel selalu berpapasan dengan pengemudi jelek, entah itu motor atau mobil. Pasti tidak pernah menaati peraturan lalu lintas.
Rahel kembali melihat Juna dengan ekor matanya tanpa menoleh. Ada yang ingin dia tanyakan, tapi rasanya terlalu berat untuk bersuara. Melihat wajah Juna saja sudah membuatnya ketakutan, bahkan sekarang dia harus mengumpulkan semua kekuatannya untuk menanyakan hal yang tidak begitu penting. Rahel mendesah samar.
"Kenapa?" kata Juna, terlalu peka untuk gerak-gerik Rahel yang kentara. "Kenapa Hel? Ada yang mau lo tanyain? Tanyain aja!"
"Um... jadi tuh dari tadi yang ada di kepala gue itu... toilet sekolah. Tujuan kita kan ainun, tapi kenapa kita harus pergi? Lo mau ke mana sebenernya?" tanya Rahel takut-takut.
"Kita ke rumah ragil karena dia jalan supaya ainun bisa pulang. Gue rasa sih ainun gak bisa pulang karena ada dendam sama ragil, jadi sekarang kita harus minta ragil ketemu ainun buat minta maaf." Juna menghela cukup berat dengan ekspresi datar yang fokus pada jalanan di depan sana. "Tapi gue kurang yakin kalau ainun bisa pulang dengan cara ini."
"Kenapa gitu?" Kali ini Rahel berani menatap wajah Juna.
"Ya soalnya dia punya banyak dendam ke ragil, dan ragil pun gue gak tau dia ada rasa penyesalan atau engga. Lo paham kan sama maksud gue?"
"Gak paham sebenernya, tapi gue iyain aja."
Merasa familiar dengan suara itu membuat Rahel menoleh ke belakang, kedua matanya membulat begitu saja. "Vito!" ujar Rahel cukup terkejut.
Juna melirik melalui kaca spion tengah, ekspresinya masih saja datar. Tidak ada rasa terkejut untuk hantu asing yang tiba-tiba saja duduk di belakang. "Lo kenal dia Hel?" tanyanya.
"Kenal." Rahel kembali duduk dengan benar sebagaimana mustinya. "Kita ketemu di halte waktu itu, dia mau ke sekolah juga. Lo tau Vito juga?"
"Dia gak tau gue," sahut Vito.
"Tau," kata Juna begitu Vito diam.
Tentu Vito terkejut mendengar jawaban Juna barusan, dia memajukan tubuh agar bisa dekat dengan Juna, dan Rahel. Dia lihat pengemudi itu dengan seksama sebelum memperhatikan Rahel dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kalian berdua beda, gue liat lo beberapa kali, tapi gak pernah tau kalau lo indigo. Kok bisa?"
"Kok bisa gimana? Semua anak indigo bakalan ngelakuin hal yang sama kaya gue. Tapi beda kasus sama Rahel."
"Kenapa emangnya sama gue?"
"Karena lo anak baru yang masih gak bisa ngendaliin energi lo," jelas Vito tanpa di minta. "Tapi bagus sih jadinya gue punya temen sekarang."
Rahel, dan Juna tak menyahuti Vito. Mereka fokus dengan jalanan di depan yang masih sangat ramai.
"Kalian berdua mau ke mana?" tanya Vito ketika mobil berhenti karena lampu merah.
"Rumah ragil," sahut Rahel, keningnya bertaut ketika ingat sesuatu. "Lo udah lama di sini atau baru sih? Kok gak tau kita mau ke mana?"
"Udah lama sih, gue masuk pas lo masuk juga. Gue nanya pun cuman buat memastikan aja."
Juna ikut mengernyit, menoleh ke arah Vito dengan sejuta pertanyaan. "Lo masuk, tapi diantara kita berdua gak ada yang tau? Kok bisa?"
Vito menggeleng sambil mengangkat kedua bahunya. Dia sama sekali tidak tahu soal ini. "Tapi seharusnya lo tau gak sih?"
"Gue sama sekali gak tau soal ini, biasanya yang bisa kaya gini ya... hantu yang punya kekuatan gitu. Lo sendiri punya kekuatan apa? Lo cuman arwah penasaran."
"Lo bener, gue cuman arwah penasaran yang gak punya kekuatan lebih. Tapi kenapa bisa? Gak ngerti banget, tapi mendingan di lupain aja gak sih? Gue penasaran sama kegiatan kalian hari ini."
"Ke rumah ragil, pacarnya ainun. Hantu toilet yang bikin gue pingsan beberapa hari yang lalu," jelas Rahel sambil menatap wajah Vito di sampingnya. "Seinget gue sih seragam sekolahnya ini sama kaya lo. Lo kenal mereka gak?"
"Oh, iya seragam kalian sama ya ternyata," kata Juna terkejut, rasanya sangat kebetulan bisa bertemu dengan Vito, dan Rahel meskipun dengan hari yang berbeda. "Ainun sama ragil itu anak kelas IPS, tapi gue lupa IPS berapa. Cuman waktu gue buka buku alumni itu nama ainun sama ragil cuman ada satu."
"Kenal gue mah, mereka itu populer di sekolah. Ainun yang pinter main piano sama matematika sampai juara nasional, sementara ragil anak basket yang populer di kalangan cewek-cewek. Sayangnya ainun harus mati padahal dia mau pergi ke LN buat pentas seni piano gitu kalau gak salah, gue lupa soalnya bukan bagian gue."
"Jadi yang lo tau cuman sekadar ini?"
Vito mengangguk, kedua sudut bibir bawahnya dia tarik ke bawah saat itu. "Tapi ada yang aneh sama kasus kematiannya si ainun ini."
"Aneh gimana?" Rahel mulai penasaran karena dia pun merasa ada yang janggal.
"Waktu itu jasad ainun di temuin sama anak kelas sebelah, satu angkatan sama gue cuman beda kelas. Ragil gak masuk kelas, tapi bokap sama nyokapnya ada di sekolah. Ainun langsung di kubur tanpa ada campur tangan polisi, bahkan kedua orang tua ainun pun terima aja gitu anaknya meninggal kaya gitu."
"Padahal anaknya mati di toilet dengan kondisi rambut penuh busa shampo?" Rahel terkejut, tak percaya dengan kedua orang tua Ainun yang terlalu acuh.
"Seinget gue sih gak ada busa, cuman rambutnya kering kusut abis keramas gitu loh. Banyak darah sama dia ngalamin pendarahan. Banyak rumor kalau ainun hamil, dan rumor itu yang bikin ragil pindah sekolah."
"Wah, gila ya mereka jahat banget."
"Polisi beneran gak ada?" tanya Juna yang masih tidak percaya.
"Gak ada, emang udah jadi buah bibir di sekolah tapi gak ada yang berani buat lihatin polisi karena ragil punya power."
"Power?"
"Bokapnya wali kota waktu itu, kalau sampai ada skandal soal anaknya pasti nama dia jadi jelek. Jadi ya mau gak mau harus nutup mulut semua orang tanpa peduli sama caranya."