Bell pulang berbunyi begitu nyaring, semua anak kelas kecuali Rahel. Mereka memasukan semua alat tulis ke dalam ransel sebelum akhirnya pergi untuk pulang. Rahel masih di tempatnya, memperhatikan semua teman kelasnya terutama Linda benar-benar pulang. Bahkan dia juga memerhatikan ratusan siswa melalui jendela kelasnya.
Lapangan mulai sepi, tidak ada satu orang pun di sana. Namun, sayangnya masih ada kendaraan pribadi guru sekolahnya yang belum pulang. Meskipun begitu Rahel tetap merasa lega karena mereka akan tetap di dalam kantor sampai tugasnya selesai, dan satpam sekolah pun akan menutup pintu ketika malam tiba.
Rahel bersiap hanya dengan memasukan satu buku tulisnya sebelum berjalan pergi dengan buru-buru. Langkahnya memelan ketika dia hampir dekat dengan toilet perempuan yang pernah menjadi mimpi buruk. Pintu masuk toilet terbuka sedikit, Rahel berdiri tepat di balik pintu yang tertutup untuk mengintip.
Kedua mata Rahel membulat sempurna ketika melihat arwah perempuan itu berteluk lutut kepada cowok misterius yang memenuhi kepala Rahel hari ini. Dia terlihat menangis sambil memohon, sementara cowok tinggi itu hanya memberikan tatapan dingin dan cukup menusuk.
Rahel tidak tahu setinggi apa ilmu yang di miliki cowok itu sampai bisa membuat arwah jahat bertekuk lutut. Bisa memberikan pertolongan tanpa melakukan apa pun, malahan hanya datang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rahel sangat kagum, tapi sayangnya tidak ada keberanian untuk mendekat.
Rintihan dari arwah perempuan itu membuat Rahel membulatkan kedua matanya lagi. Entah apa yang sedang cowok itu lakukan sampai membuat arwah perempuan itu berteriak kesakitan, terdengar cukup pilu sampai membuat Rahel ingin membantu, tapi sayangnya tidak ada keberanian untuk mendekat. Dia sangat takut pada mata tegas nan menusuk itu.
Rahel menggeleng pelan sambil melangkah mundur. Dia tidak bisa mendengar teriakan memilukan itu lagi, lebih baik pulang dari pada harus membuat masalah baru. Rahel mencoba untuk tenang ketika sampai di halaman sekolah, dan untungnya satpam sekolah yang sedang piket tidak ada di pos.
"Lo kenapa?"
Suara itu membuat Rahel menghela lega, sekarang dia bisa bercerita tanpa takut. "Cowok yang nolongin gue kemarin lo masih ingetkan?"
"Masih, bahkan gue inget banget kalau hari ini lo ada misi rahasia," sahut Vito yang sekarang mengangguk-anggukkan kepalanya seperti Rahel. "Jadi apa? Lo berhasil ketemu sama dia terus kenalan sambil tukeran nomor handphone?"
"Engga, gue gak berani buat nemuin dia. Gue cuman ada di depan pintu toilet aja buat liat dia lagi ngapain." Rahel mengambil napas beberapa kali sampai merasa siap untuk bercerita. "Gue liat arwah yang gangguin gue itu ada di bawahnya si cowok. Lagi mohon-mohon buat di ampunn, tapi pas cowok itu pegang kepalanya si arwah malah arwah cewek itu teriak kesakitan. Gue kagum karena dia sekuat itu, tapi gue gak tega dengerin arwah cewek itu nangis."
"Dia... sehebat itu?" Vito masih tak percaya dengan cerita Rahel barusan karena seharusnya dia tahu siapa orang yang kuat, dan bisa membantunya untuk pulang. "Tapi kenapa gue gak pernah tau anaknya?"
Rahel mengangkat kedua bahunya, dia tidak tahu soal itu karena dia pun baru tahu kalau ada anak indigo lain yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya. "Gue ketemu sama banyak orang di sekolah, tapi gak pernah ngerasain ikatan batin. Lo tau kan kalau anak indigo saling terikat? Tapi gue gak pernah nemuin, terus waktu liat dia di toilet pun gue gak ngerasain apa-apa."
"Barusan?" tanya Vito penasaran. "Barusan gimana?"
Rahel menggeleng sedih. "Sama aja gue gak ngerasain apa pun, kayanya ada sesuatu yang bikin dia lebih dari istimewa."
"Mungkin dia belajar jadi anak indigo yang kuat kali ya?"
"Bisa jadi." Rahel kembali menghembuskan napas panjangnya. Langit sore ini nampak begitu cerah dengan matahari yang masih enggan untuk tenggelam, sepertinya kegelapan akan datang lebih lamban dari biasanya.
Rahel lebih suka dengan bagian itu karena dia sedang tidak ingin memejamkan mata dengan keadaan awas. Sebenarnya dia ingin tidur dengan nyenyak, tapi sayangnya sesuatu yang tak pernah dia duga selalu saja datang menggangu. Membuatnya tak bisa tidur sampai subuh. "Ngomong-ngomong, lo dari mana aja? Kenapa baru keliatan sekarang?"
"Ada urusan tadi sama bagian luar sekolah jadi gue harus gercep."
"Soal orang tua lo?" Rahel menatap Vito sekilas, ekspresi hantu tampan itu begitu murung, tapi dengan cepat dia ubah menjadi ceria sebagaimana biasanya.
"Iya, gue penasaran mereka ada di mana."
"Bukannya lo bilang mereka ada di surga?"
Vito mengangguk dengan senyum kecut, "Awalnya gue pikir kaya gitu, tapi beberapa minggu yang lalu gue ketemu sama arwah yang lebih kuat dari gue. Dia bilang kalau ketemu sama bokap gue di daerah rumah. Sayangnya dia gak ada kuasa buat pertemuin gue sama bokap."
"Emang bisa kaya gitu ya? Kalian para arwah gak bisa ketemu satu sama lain?" Sekarang Rahel heran, dan bingung sendiri. Ada banyak masalah di dunia arwah yang tak pernah dia sangka sebelumnya.
"Bisa, tapi sayangnya gue gak tau alasannya apa buat bokap gue. Kalau buat yang lain buat beberapa kasus nih ya, ada tebing atau kaca yang gak pernah bisa mereka sentuh."
"Kaca atau tebing?" Rahel mengernyit bingung, sementara Vito mengangguk. "Ini kaya perbedaan alam gitu?"
"Gue gak tau jelasnya, tapi bisa jadi kaya gitu. Kita gak bisa ketemu sampai waktu yang udah ditentuin. Wajib nunggu sih kalau kaya gitu."
"Lo... mau nunggu sampai ratusan tahun?"
Vito menghentikan langkahnya, dan diikuti Rahel setelah sadar beberapa detik. Di tatapnya wajah sendi Vito, Rahel yakin cowok ini sedang menahan tangis, dan kesal. Namun, sayangnya dia tidak bisa berbuat apa pun sekarang.
"Gue mau nunggu selama apa pun selagi portal gue belum dateng, tapi kalau portalnya udah dateng sih gue minta maaf sama bokap karena gak bisa ketemu."
"Kenapa?"
"Karena gue juga pengen pergi ke akhirat."
****
Gadis itu beranjak dari tempat tidur setelah berciuman dengan kekasihnya. Kancing kemejanya masih dia pasang ketika berjalan mendekati kaca di dekat jendela tanpa gorden. Bercak warna merah tua ada di seluruh bagian leher dan dadanya, dan hal itu membuat Ainun tersenyum begitu manis.
Rambut panjangnya dia sisir sambil bersenandung. Suaranya yang merdu membuat Ragil tersenyum sambil terus memperhatikan sang kekasih dari atas ranjang. Ainun menatap dirinya dari pantulan cermin dengan kening bertaut, sesuatu yang baru saja dia sadari membuat wajahnya memucat.
Sontak saja dia menoleh ke belakang. Ekspresi cemas dia berikan untuk Ragil. "Sayang?" panggilnya panik. Ainun berjalan mendekat, dia duduk tepat di tepi ranjang sambil menatap Ragil lekat-lekat. "Aku lupa soal tanggalnya."
"Tanggal apa?" sahut Ragil yang tak merasa aneh, malahan dia sekarang memakai hoodie dengan lamban. "Tanggal apa sih sampai kamu khawatir kaya gini?"
"Tanggal menstruasi aku, seharusnya tuh dua hari yang lalu. Tapi ini engga, aku gak mens sampai hari ini."
"Baru telat dua hari masih aman kok."
"Tapi... tapi gimana kalau jadi?"
"Gak akan, kamu tenang aja. Gak akan jadi soalnya aku selalu keluar di luar meskipun tanpa ada pengaman. Kamu tenang aja ya!"
"Kamu yakin aku harus tenang?" Ainun menatap Ragil serius, dia sendiri tidak yakin jika hasilnya akan negatif. Dia benar-benar takut sekarang. "Gimana kalau aku hamil?"
"Ainun, itu gak akan terjadi karena aku gak pernah keluar di dalam," sahut Ragil begitu yakin.
Ainun memendam bibirnya ketika Ragil menariknya ke dalam pelukan. Meskipun cowok itu terus menyuruhnya untuk yakin tentang tidak akan adanya bayi di dalam sana, tapi Ainun merasa takut karena mereka tak pernah memakai pengaman. "Aku... Mau ke toilet dulu," ucap Ainun sebelum melepas pelukan Ragil.
"Oke, habis itu kita pulang ya!"