"Toiletnya angker itu loh, yang gak ada pintunya."
"Serius wulan ke sana?"
"Iya, dia ada buang sesuatu di sana. Makanya penunggu toilet ngamuk."
"Ih! Terus wulan apa kabar?"
"Gak tau, masih di bawa ke orang pinter katanya."
Rahel terus mencuri dengar percakapan meja sebelah, sampai-sampai pop mienya menjadi lembek. Isi kepalanya penuh dengan pertanyaan seputar Wulan, dan hantu penunggu toilet. Keduanya menjadi trending topik hari ini, bahkan lebih panas ketimbang kemarin.
Rahel menghela berat sambil menopang dagu, dia kembali ingat perjanjian tak tertulisnya dengan Febby. Janji yang harus ditepati jika ingin sekolah dengan tenang. Namun, hati kecilnya terus berteriak, dan rasa penasarannya semakin menjadi seiring berjalannya waktu. Rahel bingung hingga detik ini.
"Tapi kalau diem terus, gue bakalan mati penasaran," gumam Rahel sambil menggaruk kepalanya kasar, "Tapi gue juga gak mau ketempelan."
"Ketempelan?"
Rahel langsung menatap gadis yang sejak tadi duduk di sampingnya dengan senyum kikuk. Seharusnya suara yang dia keluarkan tak bisa didengar dengan jelas. "Gak ada, cuman lagi bayangin gimana jadinya kalau gue yang jadi wulan."
Linda mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, tapi ekspresi wajahnya memberitahu Rahel jika Linda tidak percaya. "Ngomong-ngomong gue mau nanya deh sama lo, tapi.. gimana ya? Gue takut sih."
Rahel mengernyit bingung karena Linda tak seperti biasanya. Tidak seperti Linda yang selalu melontarkan kalimat tanpa berpikir terlebih dahulu. "Mau nanya apa? Gue gak keberatan kok, beneran," sahutnya sambil mengaduk pop mie lembek dengan pelan.
"Tapi lo jangan kesinggung ya!" Linda nampak ragu ketika mendekatkan dirinya pada Rahel. "Kemarin... pas pulang sekolah, lo.. ngobrol sama siapa?"
"Vito," sahut Rahel santai.
"Vito? Anak kelas berapa?" Linda sangat terkejut sekarang, bahkan kedua matanya sempat membulat meskipun hanya sebentar.
"Anak kelas sebelah, anak IPS."
"Kelas tiga juga?"
Rahel mengangguk, "Iya, IPS lima kalau gak salah."
Linda kembali mengernyit, ekspresi kebingungan dia berikan tanpa menatap Rahel. Dia terus berpikir untuk waktu yang cukup panjang, tapi kemudian berkata, "Gue yakin kemarin gak liat siapa pun di samping lo."
"Ah, masa sih? Ada vito kok, gue gak bercanda."
"Gue juga gak bercanda. Ada banyak saksi matanya, semua pada bingung sama lo kemarin. Lo ngobrol sendirian Rahel, tapi lo bilang ada vito." Linda menghela sebelum kembali menatap Rahel, "Gue kenal semua anak kelas tiga, dan gak ada yang namanya vito Rahel."
"Masa sih?" Rahel masih tak percaya karena jelas-jelas yang dia lihat itu Vito dengan seragam sekolah yang sama.
"Banyak yang ngira lo aneh, tapi ada juga yang bilang lo indigo. Lagi ngobrol sama hantu yang jadi temen main lo, atau yang katanya hantu penjaga."
Rahel membisu, tapi isi kepalanya sedang memikirkan Vito yang katanya bukan manusia. Helaan napas lelah Rahel membuat Linda kembali menoleh, tapi merasa tak enak untuk bertanya lebih jauh lagi.
"Gue gak pernah denger soal hantu penjaga yang mereka maksud Lin."
~o0o~
Sore ini, kelas milik Rahel di isi oleh Pak Lim, guru Bahasa Korea yang paling populer. Beliau menjelaskan bab pertama dengan detail, berbicara di depan kelas sambil menulis beberapa kata yang menurutnya penting. Semua siswa ikut mencatat sambil mendengarkan penjelasan Pak Lim dengan baik.
Namun, Rahel tak bisa fokus. Isi kepalanya penuh dengan hantu, Wulan, dan Vito. Banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban hari ini, tapi Rahel masih takut untuk pergi. Lagi pula dia tidak memiliki kemampuan seperti anak indigo yang terkenal di youtube. "Lin?" panggil Rahel dengan berbisik.
"Apa?" sahut Linda, salah satu alisnya dia angkat ketika menoleh.
"Wulan waktu itu ke toilet mana?"
"Toilet kosong yang udah rusak. Ada di deket kantin kosong," sahut Linda.
"Yang paling ujung?"
Linda mengangguk, dan kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Sementara Rahel hanya bisa menghela samar, perhatiannya beralih pada jendela yang menyorot lapangan basket. Dia masih bingung dengan tindakan yang akan diambil nanti. Apalagi rasa penasarannya terlalu besar untuk diabaikan begitu saja.
"Astaga, sudah bell pulang rupanya. Materi kita cukup sampai di sini ya, kita lanjutkan di hari jumat nanti," ucap Pak Lim dengan senyum ramahnya.
"Siap, Pak!!"
"Annyeong!" Pak Lim melambai sambil meninggalkan kelas dengan senyum lebarnya.
Gadis itu mengemas alat tulisnya dengan terburu-buru, membuat Linda terus menatapnya kebingungan. Rahel berlari pergi dengan cepat, padahal tasnya belum dia gendong sebagaimana biasanya.
Banyak orang yang dia lewati dengan cepat, membuat beberapa orang menatapnya aneh. Namun, Rahel tak peduli dengan tatapan dan isi kepala mereka.
"Aaah, akhirnya," ucap Rahel dengan rasa lelahnya ketika berhenti tepat di dekat ambang pintu.
Wangi debu kembali menyapanya seperti tadi pagi, tapi kali ini kecoak ikut menyapanya dengan cara terbang keluar ruangan. Rahel menggeleng tak percaya, dia benar-benar ada di depan ambang pintu sekarang, dan tidak berani untuk masuk.
Ada aura yang begitu pekat beserta wewangian yang aneh. Rahel tidak tahu hantu seperti apa yang akan dia lihat nanti, tapi dia harap tidak akan pingsan di tempat kotor ini.
Setelah berpikir selama lima menit, Rahel melangkah dengan kaki kiri terlebih dahulu. Lagi-lagi atmosfer tak menyenangkan itu menyapanya, seakan-akan kedatangannya sudah ditunggu dengan senyum mengerikan.
Merasa tak nyaman dengan suasana mengerikan, Rahel melangkah dengan mantap agar sepatunya menimbulkan suara. Dia tak lagi merasa sendiri, tapi kali ini benar-benar merasa tidak sendiri. Seperti ada yang sedang memperhatikan setiap gerakannya di suatu tempat tanpa berbicara.
"Hai!"
Sontak saja Rahel mematung, kedua matanya membulat sempurna sekarang. Secara perlahan, tapi dengan keberanian yang sudah dia tanam sejak tadi pagi, Rahel mulai memperhatikan sekitar. Menemukan sosok perempuan dengan seragam sekolah lusuh sedang duduk di tembok atas tanpa langit-langit.
Rahel mengernyit, dia baru sadar akan sesuatu. Itu bukan hanya tembok rusak, tapi rumah bagi gadis bersurai panjang kusut. Senyum lebar nan tipis dia berikan sambil menyisir rambut kusut, tapi anehnya setiap sela jarinya melekat untaian rambut kusut.
Kuku jari yang menghitam dan panjang, bau anyir yang terus menusuk hidung Rahel. Senyum mengerikan beserta cairan merah di dekat bibir, dan kerah kemeja putih. Rahel bergidik ngeri melihat itu semua.
"Temennya Vito ya?"
Pertanyaan itu membuat Rahel terkejut, "Ta.. tau... tau dari mana?"
"Semua penunggu sekolah juga tau soal itu, bukan hal yang wajar jika manusia berteman dengan hantu," ucap gadis itu lagi.
Rahel hanya bisa mengernyit tanpa bisa bersuara. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat dengan tubuh yang terasa terkunci. Entah kenapa semua hantu melakukan hal gila ini.
"Lo gak bawa apa-apa ke sini? Rugi banget gue nemuin lo, tapi malah gak bawa apa-apa. Mana berani banget lagi ke sini, padahal aslinya takut." Gadis itu berdecak sambil menggeleng tak percaya. "Kata bodoh itu cocok banget buat lo kan?"
Rahel masih tak bisa bersuara meskipun dia ingin sekali mencaci maki hantu perempuan itu.
"Astaga, semua manusia yang dateng ke sini emang pada bodoh ya, tapi ada beberapa yang engga sih." Gadis itu tak lagi menatap Rahel, dia sibuk membersihkan kuku hitamnya. "Oke, langsung aja deh, lo mau gue ngapain? Ngehasilin banyak uang supaya lo kaya? Atau... bantuin lo supaya semua cowok suka sama lo?"
"Ha?" pekik Rahel terkejut, "Gue... gue ke sini cuman mau liat toilet doang, gak ada niatan buat ketemu sama lo."
"Ahahahah! Lo emang yang paling bodoh deh, tapi gapapa gue suka. Lo istimewa soalnya, anak indogo yang gak punya kemampuan, dan takut setengah mati sama hantu, tapi berani dateng ke sini. Tepuk tangan buat lo dari gue."
Rahel semakin mengernyit, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi tak bisa bersuara.
"Ini." Gadis itu memperlihatkan pembalut yang sudah mengering, "Dia buang ini, dan gue suka karena rasanya enak. Ya jadinya gue ikutin dia, tapi malah kesurupan melulu. Itu bukan kesalahan gue, buktinya gue di sini sementara dia di sana. Gue gak bisa ninggalin tempat ini kaya Vito, jadi soal cewek itu ya bukan salah gue.".
"Jadi bukan salah lo?" Rahel masih tak percaya, "Kenapa bisa gitu?"
"Soalnya dia ketempelan, sementara gue gak bisa keluar dari tempat ini. Lo kalau bego mah bego aja, gak usah mikirin yang lain soalnya otak lo gak kuat!"
"Nyebelin banget," gumam Rahel.
"Capek gue sekarang, tapi salam kenal ya. Gue amara," ucapnya sebelum menghilang begitu saja.