Chereads / sekolah hantu / Chapter 6 - PERMINTAAN ANEH VITO

Chapter 6 - PERMINTAAN ANEH VITO

Mimpi semalam membuatnya tak bisa makan dengan lahap. Sarapannya habis dia makan dia sendok makan, bahkan untuk susu coklat hangatnya pun belum dia sentuh sama sekali. Rahel menghela sebelum meraih ranselnya, susu coklat dan nasi kuning itu dia simpan di lemari makanan sebelum akhirnya melangkah pergi.

Knop pintu dia pegang dengan lemas sambil di putar, berharap keajaiban akan terjadi seperti dunia Baru yang akan dia lihat ketika pintu terbuka. Seperti pintu ke mana saja milik doraemon, sayangnya ini dunia nyata yang tidak akan pernah punya pintu ajaib itu.

Pintu dia tarik perlahan, sosok di depan pintu membuatnya mematung. Kedua matanya melebar begitu saja, tak pernah dia sangka sosok yang dia cari akan mendatanginya seperti ini. "Udah selesai?" ucapnya pelan, bingung hendak mengatakan apa setelah sekian lama tak pernah melihat Vito lagi.

"Apanya yang udah selesai?"

"Waktu buat sendirinya."

"Ah! Itu, uhm..." Vito menggaruk kepalanya yang tidak gatal untuk beberapa saat sebelum kembali menatap Rahel. "Gue... pengen ngobrol sebentar, bisa?"

"Bisa," sahut Rahel mantap saat itu juga.

"Tapi lo harus sekolah sih, kayanya nanti aja pas jam istirahat ya!"

Rahel menggeleng, "Engga, sekarang aja gapapa. Lagian pagi ini kelasnya bikin gue boring, lo mau ngobrol di mana? Di rumah gue aja atau di tempat lain?"

Vito memendam bibirnya beberapa saat sambil berpikir. Entah apa yang cowok itu pikirkan, tapi ekspresinya membuat Rahel sedih. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan, tapi enggan untuk keluar. "Vito?" panggil Rahel pelan.

"Kita ngobrol sambil jalan aja gimana? Gue masih gak tau mau ngobrol di mana, tapi gak mungkin di rumah lo," sahut Vito akhirnya.

Rahel mengangguk dengan senyum, dia mencoba untuk meraih tangan cowok tinggi di depannya, tapi sayangnya Vito mundur dengan cepat. Tentu kening Rahel bertaut sebagai pertanyaan tanpa suara kepada hantu tampan itu.

"Sorry, tapi... gue arwah," kata Vito yang membuat Rahel kembali sadar. Bukan manusia yang ada di depannya, tapi arwah yang masih mencari jalan untuk pulang.

"Oh, maaf gue gak tau soal itu," jawab Rahel sambil menutup bibirnya terkejut. Dia menggeleng ketika tangannya melambai tepat di depan Vito. "Serius gue gak tau, maafin gue soal ini ya!"

"Iya, gak apa-apa kok. Ini bukan masalah besar, lo tenang aja!"

"Ah, oke." Rahel mengangguk pelan, Lagi-lagi dia bingung harus melakukan apa.

Vito hanya tersenyum melihat ekspresi Rahel sekarang, "Ayo, udah mulai siang nanti kita ketinggalan bus."

****

Kepulan asap kendaraan, debu, dan suara klakson yang bising menjadi suguhan yang lumayan menyenangkan untuk dua remaja yang sedang duduk di halte. Menunggu bus yang masih belum datang bersama beberapa orang dengan pakaian rapi ala orang kantoran.

Rahel memberi Vito isyarat untuk beranjak karena seseorang hendak duduk di sampingnya. Iya, di tempat Vito duduk pastinya, dan katanya arwah juga seperti manusia yang merasakan tidak nyaman ketika ada yang ikut duduk di tempatnya. Terasa seperti di usir padahal yang mengambil tempat itu mereka dulu.

Bus berhenti ketika Rahel menoleh ke kiri, semua orang yang ada di sana mulai naik dengan terburu-buru. Tempatnya sudah penuh, banyak yang memilih untuk berdiri sambil berdesak-desakan agar segera sampai di kantor tanpa mendapatkan omelan dari bos.

Rahel tidak mau naik bus itu, meskipun dia tahu bus berikutnya tak akan datang lagi. Namun, jika dia beruntung akan mendapatkan bus yang mungkin saja telat datang.

Rahel menoleh ke arah Vito yang sekarang sudah duduk dengan manis di sampingnya, "Jadi... lo mau cerita apa?"

"Um... pertama-tama gue mau nanya. Lo gak ada rasa penasaran soal gue yang langsung mau temenan sama lo di sini? Di tempat ini kan kita awal ketemunya."

"Ah, iya, lo bener juga soal itu, jadi gimana? Ayo, ceritain sekarang soalnya gue udah penasaran!"

Vito mengubah posisi duduknya menjadi sedikit miring agar bisa menatap wajah Rahel dengan nyaman. "Waktu itu gue dari rumah buat liat keadaan rumah aja, terus... waktu jalan dari sana tuh gue liat lo yang pake seragam sama kaya sekolah gue yang sekarang. Tanpa pikir panjang langsung gue sapa soalnya gue udah seneng banget, dan gak gue sangka kalau lo indigo."

"Emangnya bisa keliatan ya mana yang indigo sama yang engga?" kening Rahel bertaut karena penasaran.

"Um!" Vito berpikir sejenak untuk mengingat orang-orang yang dia lihat selama ini. "Setau gue sih ada dua orang, yang pertama itu yang penakut sama yang kedua itu yang pura-pura ga liat arwah. Tapi yang sama lo ini bener-bener gue gak inget kalau gue ini arwah, langsung aja gue sapa."

Rahel ikut tersenyum ketika Vito tersenyum senang bisa mendapatkan teman sepertinya. Tak dia sangka pula jika dirinya bisa menjadi orang yang berguna dan berharga untuk orang lain.

"Terus harapan itu mulai muncul Hel, harapan buat pulang. Gak tau kenapa gue yakin banget kalau lo bisa bantuin gue pulang."

"Tapi gue gak bisa," sahut Rahel sedih.

Vito menggeleng cepat, senyumnya masih belum luntur meskipun sudah dengan jawaban Rahel barusan. Memang seharusnya dia sedih, tapi entah mengapa dia tidak mau sedih. Dia percaya tentang keajaiban yang pasti datang.

"Kalau lo bisa yakin kaya gini, gimana caranya buat gue bantu? Gue gak ngerti kaya gitu."

"Gue percaya sama keajaiban Tuhan, jadi gue yakin bakalan ada waktunya lo bantuin gue. Udah lo tenang aja, gak usah terlalu mikir yang gak penting!"

"Terus tugas gue apa?" Rahel mengernyit kesal dengan jawaban Vito barusan, tidak membuatnya puas.

"Tugas lo sih jadi temen gue sekarang, heheh!"

"Gitu doang mah gampang." Rahel beralih pada jalanan yang masih ramai di depan sana. Dengan sinar matahari yang semakin terasa menyengat.

"Tapi lo harus belajar juga Hel. Belajar bedain antara hantu sama manusia."

"Gue bisa."

"Bisa apanya? Lo payah soal itu."

Rahel menoleh dengan kening bertaut tak terima, "Bisa tau ih!"

"Beberapa waktu yang lalu, lo masih inget sama kantin yang lo datengin di hari pertama sekolah? Waktu gue minum air mineral lo sampai habis itu, masih inget?"

"Masih."

"Lo tau siapa yang jual?"

"Manusia," sahut Rahel tak yakin, dia kembali berpikir sambil memperhatikan sepatunya. "Gue... gue yakin itu manusia."

Vito menghela karena jawaban Rahel barusan, rasanya ingin menoyor kepala Rahel beberapa kali saking gemasnya. "Engga, itu kantin kosong sebenernya. Cuman hantu doang di sana, penjual kantinnya pun hantu. Air mineral lo juga sampai harus gue minum, kalau engga gue minum gue gak tau lagi apa yang bakalan terjadi."

"Emangnya ada efek samping?"

"Biasanya aja kalau makanan dari arwah yang di kasih ke manusia jadinya daun atau binatang mati waktu si manusia sadar. Gimana sama air coba? Gimana kalau itu air kencing tikus atau air yang lain?"

Rahel merinding mendengar jawaban Vito barusan, dia yang bodoh karena tidak tahu semua hal itu. Seharusnya dia sudah pintar karena sudah berusia tujuh belas tahun, tapi ternyata masih belum bisa membedakan mana manusia dan mana arwah.

"Terus... lapangan basket itu?" tanya Rahel takut.

"Sama aja kaya yang di kantin. Bedanya sih gue emang sering main basket sama mereka, dan kebetulan lo liat."

"Tapi katanya banyak yang sering kesurupan di sekolah lo, kenapa?"

"Soal itu sih gue gak tau ya siapa hantunya soalnya gue gak suka ikutan kaya gitu. Cuman pernah gue sesekali liat ada siswa yang bawa dupa sama sesajen, sok jadi orang pinter gitu. Kan arwah suka, makanya di ikutin," jelas Vito.

Lagi-lagi Rahel merinding, tapi itu ulah manusia yang nakal. Seharusnya tidak perlu membuat sesuatu yang di luar nalar. "Harusnya mereka diem aja gak sih? Belajar sesuai aturan aja."

"Capek di sini, ke rumah gue mau?"

"Duduk di mana gue?"

"Teras rumah gue kan ada, lo bisa duduk di sana."

"Entar di kira gila sama orang sekitar gara-gara ngomong sendirian." Rahel menggeleng dengan kedua mata yang terpejam sebentar.

"Kalau kaya gitu ngobrolnya pakai batin aja, kaya anak indigo lainnya. Gue suka liat sih mereka ngobrol sama arwah, tapi keliatan lagi bengong di dunia nyatanya."