Chereads / My Husband is not Gay / Chapter 30 - What Wrong with Miss Shinta

Chapter 30 - What Wrong with Miss Shinta

Hari ini tentu berbeda dari biasanya. Untuk pertama kalinya, Tya dan Antonio tidur dalam kamar yang sama. Polos dan berpelukan. Dan yang lebih luar biasa lagi, mereka hari ini lebih sering tertawa dan bercanda. Seolah pergulatan tadi malam memercikkan rasa hangat yang masih terasa nyaman sampai pagi.

"Kamu hari ini bekerja?" tanya Tya saat Antonio keluar dengan kotak yang beberapa waktu ini di bawanya. Sepertinya itu alat keperluan Antonio untuk bekerja.

"Iya. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dengan Zidan."

"Oh. Kalau begitu makan yang banyak supaya kerjanya lancar."

Tya sudah menyiapkan nasi dengan lauk pauk di piring pria itu. Tapi bukannya duduk, Antonio malah bergelut manja sambil memeluk Tya dari belakang.

"Hentikan, Antonio!" Tya mengerjakan tubuhnya dengan Antonio yang tak mau melepaskan pelukan. Tya cemberut kecil, meski sebenarnya ia menahan senyum dengan sikap pria ini.

"Satu ciuaman untukku pagi ini," bisiknya.

Astaga! Kenapa dia jadi mendadak manja dan romantis begini.

"Tidak. Kamu harus makan," tolak Tya. Tidak mungkin ia melakukan itu. Kalau sampai dirinya mencium Antonio, mungkin ini akan jadi sangat panjang.

Ia juga harus pergi. Nanti pakaiannya berubah acak-acakan.

"Hanya ciuman saja tidak boleh?" Antonio mengeluh.

"Nanti malam saja."

"Nanti malam itu jadwal nanti."

Tanpa mengucapkan kalimat lagi, Antonio meraih dagu Tya, melahap bibir seksi yang sungguh memabukkan itu. Niat yang hanya ingin mencium saja malah keterusan.

Dia melumat pelan bibir Tya. Dengan sangat pelan hingga Tya sendiri terbuai. Tangan pria itu juga mulai bermain meraba bagian atas Tya.

Dengan cepat gadis itu menahan dan menarik wajahnya. "Tadi kamu bilang ciuman sajakan." Ia memukul manja dada bidang pria itu.

"Kamu sangat memabukkan," bisiknya dengan maish bergelut manja pada Tya.

"Dasar banyak alasan!"

****

Setelah pagi yang mereka lewati, keduanya sama-sama berpisah di lobi apartement. Antonio dengan kesibukan pekerjaan nya yang sepertinya semakin baik terus-menerus bersama Zidan. Sedangkan Tya pergi ke kampus menepati janji dengan dosennya yang kemarin meminta ditemani sesuatu.

Tepat di depan gerbang kampus, mobil hitam mengkilat super mewah berhenti di dekat Tya. Kaca mobil penumpang terbuka, dan Bu Shinta tersenyum di sana.

"Naik, Tya."

Ia terdiam beberapa saat sebelum kemudian naik ke mobil itu. Sejujurnya Tya agak kurang kerasan naik mobil ini. Ia tak nyaman saja bersama dosen yang tak begitu dikenalnya di dalam mobil milik Bu Shinta.

"Kita mau kemana, Bu?" tanya Tya kala mobil itu mulai jalan.

Bu Shinta yang masih dengan wajah penuh senyum dan ramah itu melihat Tya. "Kita akan ke suatu tempat. Kamu pasti suka."

Suatu tempat? Tya manggut-manggut dengan rasa penasarannya. Tidak bertanya lagi.

Mobil ini seperti memasuki kawasan padat penduduk. Pinggiran kota yang terkenal sangat kumuh.

Dahi Tya berkerut lalu melirik Bu Shinta. Beliau yang tadinya tersenyum hangat berubah murung tanpa alasan. Beliau melihat keluar jendela. Tatapan kosong itu, mengarah pada anak-anak yang bermain di tumpukan sampah.

Bak kedatangan seseorang yang mereka tunggu-tunggu, anak-anak itu langsung berlarian ke mobil saya menyadari kehadiran mereka.

"Ibu Shinta!" Anak-anak serempak memanggil Bu Shinta dengan semangatnya. Tya tercenung melihat hal itu.

"Hai anak-anak. Lama ibu gak kesini ya. Kalian gimana kabarnya." Beliau dengan ramahnya menyapa anak-anak itu begitu keluar dari mobil.

Tya yang masih ada dalam mobil perlahan mulai keluar mengikuti Bu Shinta. Dirinya seolah menonton bagaimana para anak-anak itu dekat dengan Bu Shinta, dosennya ini.

Para anak-anak itu bercengkrama dengan Bu Shinta. Tampak jelas kalau Bu Shinta sangat dekat dengan anak-anak ini.

Supir keluar dan mengeluarkan banyak barang dan makanan enak dari bagasi. Dan anak-anak itu berebut dengan gembiranya. Satu persatu dapat bag berisi baju dan cemilan enak.

"Kalian tunggu di tempat biasa ya. Bu Shinta bakalan ajarin kalian berhitung dan menulis lagi."

Anak-anak itu serempak menjawab dengan semangatnya. Semua berlarian ketempat yang di tunjuk Bu Shinta tadi.

Kemudian, beliau mendekatkan Tya yang sedari tadi mengamati.

"Itu anak-anak yang sering ibu ajarkan cara menghitung dan membaca," jelas Bu Shinta tanpa di minta. "Mereka tak punya kesempatan yang sama dengan kita, Tya. Mereka tidak bisa mengenyam bangku sekolah dengan nyaman sama seperti orang kebanyakan."

Tya mengangguk ikut bersedih. Dirinya juga merasa kasihan pada anak-anak itu. Tatapan mereka sangat polos. Seharusnya anak-anak itu tidak di sini.

"Ayo. Ibu mau ajak kamu ketempat ngajar ibu."

Bu Shinta menggandeng Tya ketempat yang di tunjukkan beliau.

Hanya sebuah tempat lesehan yang tak begitu layak. Ada satu papan tulis kumuh juga di sana. Anak-anak itu berbagi buku dan terlihat begitu antusias begitu Bu Shinta akan memulai belajar.

Tya duduk di paling belakang, mengamati semuanya. Ia mengeluarkan ponsel dan sesekali mengambil video juga foto anak-anak itu. Dirinya berencana ingin mempublikasikan anak-anak ini di akunnya. Siapa tau saja ada yang berniat membantu.

****

Anak-anak yang sudah selesai belajar berlarian ke lapangan yang cukup luas untuk mereka bermain. Tertinggalah ibu Shinta dan Tya di dalam ruang belajar yang bisa di bilang hanya seperti pondok.

"Sini biar saya bantu, Bu." Tya membantu bu Shinta membereskan buku-buku bekas belajar anak-anak itu.

Beberapa kali ia melihat isi buku mereka. Tulisan yang bisa di bilang hampir rapi. Kalau mereka sekolah dengan baik, pasti mereka akan penuh prestasi.

"Mereka memang cerdas-cerdas," ujar Bu Shinta ikut duduk di samping Tya.

Tya mengangguk membetulkan perkataan Bu Shinta.

"Kamu mau tau kenapa ibu membawa kamu kemari?"

Tya sejujurnya memang ingin bertanya itu dari tadi, tapi dirinya melihat kesibukan Bu Shinta hingga menahan diri bertanya.

"Ibu pernah lihat kamu juga perhatian dengan anak-anak seperti ini. Beberapa kali ibu liat kamu bagi-bagi makanan."

"Hanya sekali kali saja, Bu. Kalau lagi banyak rezeki," ujar Tya. Memang dulu ia sering melakukan ini. Tapi hanya sekedar bagi-bagi makanan.

"Ibu rasa.... kita punya kesamaan." Bu Shinta tampak ingin mengatakan sesuatu. "Menikah di usia yang terbilang muda cukup melelahkan bukan, Tya."

Senyum Tya berubah dengan kerutan kening menatap Bu Shinta. "Iya, Bu. Tapi...., tidak buruk juga," ujar Tya.

"Ibu juga berharap pernikahan kamu lenggang selamanya," gumam Bu Shinta sembari membereskan buku-buku itu. membawanya ke depan di dekat papan tulis.

Tya bingung sendiri di tempat. Ia mengusap lehernya. Beberapa kali ini Bu Shinta menyinggung pernikahannya. Bahkan di saat sahabatnya Qiara yang hanya menggodanya saja. Kelihatan seperti..., ada yang aneh dari Bu Shinta.

Beberapa waktu ini, beliau menyambanginya. Dan bila ada kesempatan pasti akan membahas pernikahannya. Padahal ia dan Bu Shinta tak begitu akrab hingga harus terus membahas itu. lagi pula ia menikah, apa urusannya dengan beliau.

"Ayo pulang, Tya."

"'oh. Baik, Bu."

Tya sejujurnya hendak bertanya pada Bu Shinta. Tapi sungguh tidak enak . Kalau ia bertanya kenapa Bu Shinta terus menanyakan pernikahannya, terdengar seperti Tya tidak suka. Padahal dirinya hanya tidak enak saja pada dosennya ini yang selalu menyinggung setiap kali ada kesempatan

Bersambung....