Baru saja masuk ke apartemnt, ia di sambut Antonio yang sudah rapi namun dengan gaya kasualnya. Wangi parfum pria itu terasa segar menguar kemana-mana.
Ia terpaku beberapa saat melihat penampilan suaminya ini.
Tya pulang saat waktu menunjukan pukul 7 malam. Karena sehabis menemani Bu Shinta, ia pergi ke kampus dan mengerjakan beberapa hal dengan Qiara di sana
"Mau pergi" tanya Tya.
Pria itu tersenyum lebar. Terlihat senang oleh sesuatu.
"Aku ingin kencan," ujar Antonio sembari membenarkan lengan sweter putihnya. "Kencan biasa saja," ujar Antonio sembari tertawa renyah.
Kali pertama Tya melihat pria ini nampak begitu sangat senang.
Tya mengangguk kecil dan berlalu masuk ke kamarnya.
"Hey!" Antonio menahan tangan Tya. "Suami kamu yang tampan ini mau pergi kencan. Dan respon kamu biasa-biasa saja,"
"Kenapa memangnya?" tanya Tya terdengar tanpa beban.
"Yah, setidaknya kau harus tanyakan aku kencan dengan siapa," kata Antonio sembari mengedipkan sebelah mata pada Tya.
"Itu bukan urusanku," balas Tya lalu masuk ke dalam kamarnya. Mengunci pintu dan mengurung diri di dalam sana.
Tya menghempaskan badannya ke kasur dan menarik bantal guling. Ia membenamkan wajah di bantal itu.
Kenapa sih dengannya. Tya tidak suka ia yang tadinya baik-baik saja jadi kalut begini. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja ingin mengeluarkan air mata. Perasaannya berubah tidak baik.
Ayolah Ty!
Ini bukan karena Antonio mau pergi kencan. itu hidupnya, toh kau dan Antonio tak punya perasaan yang sama. Sejak awal juga, tidak ada larangan utuk menjalin hubungan dengan siapapun di luar sana.
Meski, kalian suami istri.
"Kamu benar-benar tidak mau tau aku akan pergi dengan siapa."
Seperti mendengar gemuruh petir, Tya membelakkan mata dan secara spontan duduk. Ia mendapati Antonio yang bersandar di daun pintu yang terbuka. Pria itu nampak santai melihatnya dengan dua tangannya yag terlipat.
"Bagaimana kau masuk." tanya Tya kaget dan tak menyangka. Sejak kapan dia di sini.
"Tentu saja lewat pintu," jawab Antonio dengan santainya.
"Tapi pintunya sudah aku kunci!" sargah Tya. Ia begitu mengingat tadi mengunci pintu.
"Itu berarti aku punya kuncinya, istriku sayang," ujarnya sembari menggoyangkan kunci cadangan yang ia miliki.
Antonio mendekat dengan langkah yang cukup pelan hingga membuat jantung Tya mau copot. ia duduk di samping Tya.
"Sekarang aku yang mau tanya. Kamu mau tau aku kencan dengan siapa?" ia mendekatkan wajah dengan Tya. Membuat gadis itu memundurkan wajahnya perlahan.
"Ck! Tidak. I-itu bukan urusanku!" jawab Tya membuang muka berusaha sangat snatai, meski sebenarya Antonio sendiri melihat mata berkaca-kaca itu.
"Tapi kau sepertinya mau menangis gara-gara aku mau kencan," goda Antoni dengan secercah tawa gelinya.
"Tidak. Siapa yang mau menangis? Memang kenapa aku harus menangis?"
"Oh iya. Kamu tidak mau menangis. Ya sudah. aku pergi kencan dulu ya."
"Pergi saja, lagi pula siapa peduli." Tya membalas sarkas. Tak peduli dan membuang muka.
"Benar. Tak akan ada yang peduli. Toh istriku mengizinkan saja aku kencan dengan wanita lain." Antonio berdiri. Merenggangkan tubuhnya beberapa saat. "Ya sudah. kalau begitu... suami kamu ini mau pergi kencan ke pasar malam dengan pacar cantiknya ya. Bye, istriku."
"brengsek! antonio brengsek!" Maki Tya begitu pria itu menghilang di balik pintu.
Tetes demi tetes air mata keluar. Tya benci pada dirinya sendiri untuk pertama kalinya. Ia benci karena mengetahui dirinya menangis mendengar Antonio mau pergi kencan. Kenapa sih. Secengeng itukah dirinya?
Ting! Ponsel Tya bergetar dan mengeluarkan cahaya.
~Halo Sayang. Siap untuk kencan?~
Antonio.
Tya tercengang melihat pesan yang masuk. mengucek matanya berkali-kali demi menemukan kesadaran kalau pesan in salah. Mungkin ini hanya pesan salah kirim. Tapi kenapa atas nama pengirimnya Antonio.
Bukannya pria itu sudah pergi. Atau dia barusan di panas-panasi oleh Antonio? Ish! Jahat sekali.
Karena memang penasaran, Tya memeriksa keluar kamarnya. Memastikan Antoni sudah pergi. Ia mengintip di baik daun pintu. Perlahan membuka pintu kian lebar.
Tak ada siapa-siapa. Antonio memang sudah pergi. Tapi....
"Cari siapa?"
Spontan ia berbalik mendengar sebuah suara. Tya hampir terperanjat begitu melihat pria ini berdiri di belakangnya.
"Kamu belum pergi" tanya Tya sembari mengontrol nafasnya.
"Seperti yang kamu lihat. Aku masih di rumah," ujarnya dengan senyum hangat yang jarang pria itu itu tampakan.
"Pacarku masih belum balas pesan," ujarnya.
Pesan?
"Kau mau main-main apa sih? Tidak ada kerjaan!" omel Tya.
"Main apa? Aku cuma menunggu balasan pesan dari pacarku saja. Aku mau ajak dia kencan," katanya ringan.
"Jangan membuat kesal, Antoni!" Geram Tya.
Mata Antonio memicing. Fokus melihat pada wajah Tya. Tepatnya pada mata gadis itu. "Kau menangis?" tanyanya.
"Tidak!"
"Tapi pipi kamu basah." Antoni mengusap bekas air mata pada pipi Tya. "Kamu sedih aku pergi kencan dengan wanita lain, Tya"
"Tidak!"
"Ck. Sudah ketahuan kau masih tidak mau mengaku juga"
"Memang kenapa kalau aku menangis. Kau bahagia melihat aku menangis?"
"Bukan. Aku cuma mau tau kau marah atau tidak kalau aku jalan dengan wanita lain. Itu saja."
"Aku tidak marah," sargah Tya dengan cepat. Masih ngotot datn tak mau mengakui.
"Marahpun juga tidak apa. Aku justru senang istriku marah kalau aku jalan dengan wanita lain." ia mendekat selangkah pada Tya. "Itu artinya hubungan kita ada kemajuan."
Bohong kalau Tya tidak tersipu ditatap sedemikian intens oleh Antonio.
"Dan aku senang, Sayang. Melihat kamu sedih dan kalut begini gara-gara aku akan jalan dengan wanita lain. Karena itu seperti harapan yang indah untukku."
****
Di dalam bus malam, pada akhirnya hati yang tadinya sakit kalut tak karuan berubah berbunga-bunga.
Tya sungguh berusaha menahan diri agar tidak terus tersenyum. Menahan bibirnya agar tidak memamerkan senyum pada Antonio.
Seharusnya ia marah. Kesal pada Antonio dan tidak mau bicara padanya. Tapi sekarang, ia malah merasa berbunga-bunga. duduk di samping pria ini dengan anteng.
Cara pria itu mengajaknya jalan-jalan justru sangat menyebalkan. Tapi entah mengapa dadanya bergetar setelah medengar Antonio mengatkan tentang hubungan mereka yang ada kemajuan.
Ya, kemajuan. Mereka jadi takut saling membelakangi sekarang. Namun, entah mengapa sekarang Tya yang takut kalau dirinya jatuh sendiri. Jatuh pada perasaan yang, akan membuat dirinya sakit hati sendiri.
Ua tak tau, apa Antonio punya perasaan yang seperti dirinya tadi. Marah pada saat tau pasangannya akan jalan dengan yang lain.
"Kamu ada uang buat jalan, Antoni" tanya Tya agak khawatir. Pasalnya ia tak bawa dompet. Antoni yang larang dirinya membawa benda penting itu.
"Bawa. Tidak banyak sih. Tapi cuma ke pasar malam saja tidak akan habis banyak uang."
Benar. Mereka hanya akan jalan ke pasar malam saja. Tapi anehnya Tya merasa mereka akan pergi ke suatu tempat yang sangat istimewa. Atau mungkin, bersama Antonio itulah yang membuat ini semua istimewa.
Bersambung....