Chereads / My Husband is not Gay / Chapter 32 - Tetap Berada di Sampingmu

Chapter 32 - Tetap Berada di Sampingmu

Pagi itu Antonio mengajak Tya ke perusahaan Tuan Dennis. Tanpa mengucapkaaan maksud dan tujuan pria itu datang ke sana. Antoni meyakinkan kalau ia tidak akan berbuat macam-macam di sana.

Akhirnya Tya menyetujui karena memang ia tidak punya pekerjaan hari itu. Kuliahnya libur selama satu minggu untuk menghadapi ujian.

Mereka ke sana dengan naik angkutan umum. Berjalan kaki sedikit untuk sampai di lokasi perusahaan. Lingkungan itu tak memungkinkan angkutan umum untuk masuk.

Dan sungguh takdir, mereka bertemu Tuan Dennis dan Jeremy yang baru datang.

"Aku tidak berfikir kau akan datang, Antonio. ada apa kau kemari?" Tuan Dennis menghampiri putranya. Di belakang Jeremy mengikutinya.

Beberapa saat Tya terkanang sikap aneh pria itu sewaktu di toko buku tempo lalu.

"Ada hal yng harus kubicarakan." ujar Antonio dengan nada santai. Tak terlihat terburu-buru. Pria itu juga tidak terlihat bar-bar sepeti biasanya.

"Kalau begitu mari ke ruanganku."

Tuan Dennis mengajak mereka masuk.

"Jadi?" Taun Dennis bertanya langsung begitu mereka duduk di sofa kantor.

"Aku butuh dana." Ucapan to the point yang pria itu ucapkan. Lalu ia mengambil sesuatu dari dalam tas.

"Aku akan lepas hak kepemilikan harta keluarga ini, dengan syarat kau beri aku pinjangan dana." Sebuah map di lematkkan Antonio di meja Tuan Dennis.

Ucapan Antonio itu sukses membuat Tuan Dennis terdiam beberap saat. Lalu beliau membuka map yang di sodorkan Antonio padanya.

Kerlip mata Tuhan Dennis memperhatikan semua yang tertera di sana. Terlihat jeli dengan isi yang di lampirkan putranya.

"200 milyar. Itu bukan dana yang sedikit." Tuan Dennis mengembalikan map itu.

"Tapi bukan berarti Tuan besar yang punya puluhan perusahaan raksasa tak punya uang itu," sargah Antonio dengan cepat tak peduli tatapan keberatan pria itu.

"Kurasa kau terlalu dini untuk membangun perusahaan. Apalagi kau tidak punya skil yang jelas."

Itu bentuk penolakan yang menyakitkan. Bahkan Antonio mengepalkan tangannya. Seringai sinis terbentuk jelas di wajah Antonio.

"Aku khawatir kau memakai uang itu hanya untuk kesenanganmu saja. Kau terbiasa menghabiskan uang banyak dengan hal-hal tak berguna."

Sejak tadi Tya hanya jadi pendengar anak dan ayah yang saling berargument ini. Tapi di sini, Tya melihat Antonio yang sepertinya sakit hati atas penolan yang sungguh keterlaluan.

"Yang Daddy tak mau, kau menggunakan uang itu hanya untuk pesta seks bebas yang kemudian akan membuatku repot."

Setelah pengucapan frotal itu, dapat Tya rasakan aura kurang nyaman yang keluar dari Antonio. pria itu meliriknya beberapa saat. Jelas sekali Antonio tersinggung dengan ucapan Daddy-nya.

Lagi pula, siapa yang tidak marah mendengar ucapan sedemikian menyakitkan dari seseorang yang jelas-jelas orang tua sendiri.

"Memang, sejak dulu apa yang pernah benar denganku."

"Antoni!!"

Setelah berkata begitu Antonio pergi, membawa kekesalannya. Tya mengikuti Antonio dari belakang setelah memanggil nama pria itu. Terbirit-birit mengikuti langkah cepat Antonio.

Ia hampir kehilangan bayangan Antonio saking cepatnya jalan pria itu. Sampai ia menemukan Antonio di koridor, berdiri menghadap kaca dinding yang mengarah pada pemandangan panorama kota.

Perlahan-lahan Tya mendekatinya. Wajah pria itu begitu murung. Tampak sekali tatapan sakit hatinya.

"Antonio," panggil Tya seraya mendekat.

Dia tak bergeming. Tatapan kosongnya mengarah keluar sana. Tya jadi bingung harus mengatakan apa.

Yang bisa Tya lakukan hanya berdiri di samping pria itu. Ikut melihat apa yang pria ini perhatikan.

Sebuah sentuhan kecil, yang kemudian tiba-tiba saja melingkar pinggang Tya. Ia terperanjat kecil begitu merasakan Antonio memeluknya dan menyandarkan kepala di bahunya.

Dengan gerakan sehalus kapas Tya mengusap punggung Antoni. Membantunya merasa tenang.

"Terima kasih kamu masih mau berdiri di sampingku," bisik luruh Antonio. Tanpa sadar Tya meneteskan air mata dan mengangguk.

Mungkin saat-saat seperti ini yang tidak pernah di miliki Antonio. Mendapatkan sebuah pelukan hangat dan melihat seseorang di sampingnya ada ketika ia merasa kacau, kalut dan seperti hancur tak berdaya.

****

"Suatu hari, kamu pasti bisa wujudkan impian kamu. Jangan berhenti di sini."

"Tapi untuk mewujudkan itu aku butuh dana sangat besar. Satu-satunya harapanku saat ini hanya tua bangka menyebalkan itu." Antonio menghela nafas lelah. "Tapi dia sangat pelit."

Saat ini Tya dan Antonio ada di lantai atas apartemnt. Duduk dengan kaki menjuntai ke bawah gedung. Sejujurnya Tya ngeri kalau lihat ke bawah dan membayangkan bisa saja mereka jatuh. Tapi karena Antonio tak mau di ajak ke tempat lain, apa boleh buat.

Setidaknya Tya bisa menyesuaikan diri juga di sini. Ia melihat proposal yang tadi di ajukan Antonio pada Tuan Dennis. Tya dapat mengerti kalau Antonio kecewa. Dirinya memberikan support agar Antonio tidak patah semangat.

"Pasti ada banyak cara lain. Kamu dan Zidan berusaha saja terus mengembangkan dan memperbaiki penemuan kalian," bujuk Tya sembari mengusap lengan Antonio.

Mereka saling diam melihat langit biru di atas sana. Seperti mau hujan. Tidak ada matahari sama sekali.

Tya menoleh begitu melihat Antonio merebahkan tubuhnya. Antoni memejamkan mata dan menjadikan sebelah lengannya bantal. Sebelahnya lagi ia mengulurkan ke samping.

Mata antonio terbuka. Mengisyaratkan Tya berbaring di lengannya.

Tya tersenyum dan mengikuti arah isyarat itu. Dirinya berbaring pelan menatap langt-langit.

"Jangan putus asa, Antonio. Ini baru permulaan. Tidak ada kesuksesan permanen yang di dapatkan dengan cara instan."

****

"Kenapa baru pulang?" Bu Shinta membuka pintu dengan senyum ramah. Menyambut seorang pria yang tampaknya kelelahan

"Banyak pekerjaan. Lumayan banyak proyyek akhir-akhir ini."

Pria itu duduk di ruang tamu. Menyandarkan kepalanya lalu menutup rapat matanya. Seolah, hari ini adalah hari paling berat seumur hidupnya.

"Sepertinya bukan proyek yang membuat kamu lelah." Bu Shinta duduk dan mengusap kepala pria itu.

"Mama sudah memperingatkan sejak awal. Kamu jangan membayar kesalahan mama, dengan mengorbankan kebahagiaan kamu."

"Tidak, Ma. ini tidak ada hubungannya dengan keputusanku dulu." Pria itu membantah. ia membuka mata dan menghela nafas panjang.

Ia melonggarkan dasi yang membalutnya sepanjang hari.

"Sejak awal dia jadi milik kamu. Tapi..."

"Yang penting dia bahagia meski bukan denganku," pria itu menjeda dengan cpat.

Ia meraih tangan sang Mama. "Jangan pikirkan dia lagi. Aku sudah tidak mecintainya. Mama jangan ganggu dia. Kelihatannya dia sudah mulai bahagia dengan pernikahannya."

Pria itu menggenggam tangan mamanya dengan tegar. Tampak mencoba terlihat baik-baik saja. Mengunci ekspresi sedih yang samar-samar hendak muncul dari wajahnya.

"Iya. Kelihatannya dia bahagia. Tapi bagaimana dengan putra Mama? Kau pasti menderita rasa sakit dengan hal ini." Wajah wanita itu murung menatap sang putra.

"Aku bisa mendapatkan wanita lain. Mama jangan khawatir."

Bersambung....