Pagi sudah hampir bertukar masa menjadi siang, Tapi tak ada batang hidung Antonio datang ke toko Zidan hari ini.
Alih-alih marah, Zidan malah khawatir. Bagaimana jika Antonio memilih tidak bekerja lagi dengannya karena kelacangan dirinya kemaren.
Pekerjaan biasanya juga jadi kacau karena memikirkan Antonio. Sudah beberapa kali ia melihat keluar toko dengan harapan melihat Antonio berjalan kearah tokonya setiap pagi.
Ia mendesah lelah. Zidan menyandarkan kepalanya di bahu bangku. Memejamkan mata dengan perasaan sesal.
Beberapa lama ia di posisi itu. Sampai ia terlonjak begitu mendengar suara seseorang masuk ke tokonya. Ia berharap itu Antonio.
"Zidan!" Pekikan ceria itu menggema di sudut toko.
Qiara melangkah dengan wajah ceria kearahnya sembari menenteng sesuatu.
"Aku bawa gorengan," ujar Qiara lalu tanpa di persilahkan duduk dihadapan Zidan.
"Oh. Hai, Qiara. Terima kasih," ujar Zidan terdengar lesu. Pria itu sepertinya baru tersadarkan dari lamunannya begitu melihat bukan Antonio yang datang.
"Kenapa dengan suaramu?" tanya Qiara dengan tawa kecil. "Seperti orang habis di kejar rentenir," ledek Qiara lagi-lagi dengan tawanya.
Zidan cuma membalas dengan senyum kecil. Ia mencomot gorengan yang di bawa Qiara.
"Ada masalah ya? Cerita dong padaku," tanya Qiara dengan antusias.
Zidan mengunyah tempe goreng yang diambilnya sembari mempertimbangkan untuk bercerita pada Qiara.
"Hey! Di mana anak buah kamu itu?" Qiara melihat ke sekeliling toko dan tak mendapati ada Antonio.
Ya, bagi Qiara Antonio itu anak buah Zidan. Terlepas kenyataan bahwa Antonio merupakan putra satu-satunya pengusaha kaya raya.
"Aku sedang ada masalah dengannya," cerita Zidan terdengar cukup ragu.
"Masalah apa?"
Zidan kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya. Ia bingung mau cerita bagaimana pada Qiara. Kalau ia cerita tentang masalahnya dengan Antonio, ia khawatir Qiara akan marah juga dengannya. Bagaimanapun juga Zidan sudah kelewatan. Apalagi di sini Zidan juga melacak kehidupan Qiara. Takutnya Antonio cerita pada Qiara kalau dirinya melacak kehidupan Qiara. Dan gadis ini akan membencinya.
"Yah, gitulah," gumam Zidan mengelak untuk cerita.
Mungkin nanti sore dia akan mendatangi Antonio lagi. Dirinya ada sedikit tabungan. Mungkin nanti ia akan membelikan sesuatu untuk membujuk Antoni.
"Hey! Anak buah mana yang datang lebih lambat dari bosnya,"
Zidan tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara pekikan Qiara. Dan saat itu juga ia sadar kalau Antonio datang.
Zidan langsung berdiri. Ia melihat Antonio dari atas sampai bawah. Penampilan Antonio sama seperti biasanya. Dia juga membawa kotak alat seperti biasanya.
"Well. Aku memaafkanmu," ujar Antonio lalu duduk di kursi kerjanya.
Zidan berangsur lega mendengar ucapan Antonio. Ia menerima lemparan roti yang Antonio keluarkan dari tasnya.
"Wait-wait." Qiara menjeda. "Jadi dalam masalah kalian, Zidan yang meminta maaf." Wajah Qiara nampak tak teriman. "Bos mana yang meminta maaf." keluh Qiara.
Zidan terkekeh kecil lalu duduk lagi. "Yang salah yang meminta maaf, Qi. Bukan siapa yang bos dan siapa anak buah."
****
Tya: Aku pulang cepat hari ini.
Ia mengirim pesan singkat pada Antonio begitu keluar dari kelas.
Antonio: Baguslah. Langsungngsung pulang, oke.
Tya: Memang mau pulang. Kamu mau makan apa malam ini? Biar aku masakkan.
Antonio: Tidak usah masak. Akan aku bawakan nanti. Aku dapat bonus dari Zidan.
Tya: Mmh. Baiklah. Jangan kemalaman pulangnya
Antonio: Oke, Sayang.
Tya menyudahi chattingan singkatnya. Bibir Tya tak bisa menyembunyikan senyum tersipunya setelah berbalas pesan dengan sang suami. Perasaan Tya menghangat. Tak dibayangkan olehnya kalau ia bisa berbung-bunga seperti ini.
Bagaimana mungkin dengan awal pertemuan dirinya dan Antonio yang sungguh buruk bisa membuat dirinya kasmaran begini.
Sepanjang berjalan di koridor, sampai ke depan gerbang kampus, Tya berusaha agar tidak tersenyum lebar dan tertatawa sendiri. Tentunya Tya tidak mau di bilang tidak waras karena tertawa sendiri.
"Tya." Suara panggilan yang sama. Ia berbalik dan tersenyum sopan.
Itu, Bu Shinta. Hampir tiap hari beliau pasti saja menyapanya. Bahkan ketika Bu Shinta tidak mengajar di kelasnya.
"Kamu mau pulang?" tanya Bu Shinta.
"Iya, Bu. Kelas saya tidak full hari ini," jawab Tya.
"Oh ya, perkenalkan ini anak saya." Bu Shinta menunjuk Pria yang ada di belakangnya.
Lelaki itu, sekilas tinggi seperti Antonio. Tya tersenyum kecil pada pria itu.
"Namanya Bima. Bima, perkanalkan ini salah satu anak kampus di sini. Namanya Tya."
Ibu Shinta memperkenalkan dengan begitu antusias. Pria itu tersenyum ramah pada Tya.
"Kebetulan Ibu dan Bima juga mau pulang. Kita pulang bareng ya?" ajak Bu Shinta.
Pulang dengan Bu Shinta? Sepertinya tidak ada yang salah. Andai Bu Shinta tidak bersama putranya ini. Tya tidak mau nanti terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Bukannya dia terlalu percaya diri kalau-kalau putra Bu Shinta ini mau macam-macam dengannya. Ia cuma tidak mau Antonio melihat dirinya bersama pria lain meski itu bersama Bu Shinta.
"Maaf, Bu. Sepertinya saya tidak bisa. Saya mau ke tempat kerja suami saya," tolak Tya halus.
"Kalau begitu Ibu anta ke tempat kerja suami kamu," ujar Bu Shinta.
Oh, itu bukan hal yang bagus.
"Tidak usah, Bu. Saya pulang sendiri saja," balas Tya tetap menolak.
"Tapi..."
"Saya duluan, Bu." Tya cepat-cepat pamit pergi dari sana. Kalau tidak nanti Bu Shinta memaksa. dan nanti malah membuat tya tak enak untuk menolak.
Ia mengangguk kecil lalu beranjak pergi. Ia berjalan cepat supaya cepat mengelak dari sana.
Sambil berjalan, ia sembari memikirkan Bu Shinta yang jadi menyebalkan. Entah mengapa menurutnya, Bu Shinta ini menginginkan sesuatu. Dan, kenapa juga Bu Shinta mendatanginya begitu.
Kebetulan tidak terjadi tiap hari. Dan gelagat Bu Shinta seolah mereka terus bertemu secara kebetulan. Namum Tya merasakan kalau Bu Shinta sengaja menunggu di depan gerbang.
Kampus itu sangat luas. Mencakup puluhan hektar. Tak lucu kalau tiap hari mereka secara kebetulan ketemu. Dan kalau cuma kebetulan, cukup dengan saling sapa biasa juga sudah cukup.
Tapi...
Ah, sudahalah. Semoga saja Bu Shinta tak menginginkan yang aneh-aneh.
Sambil berjalan Tya merogoh ponsel dalam tasnya. Mendengar kalau ponselnya bergetar. Ia berhasil mendapatkan benda pipih persegi empat panjang itu dan melihat panggilan di layar.
"Qiara. Kenapa?" sapa Tya.
"OMG. Oh My Good. Sumpah demi apa, Ty!!!!!"
Spontan Tya menjauhkan ponsel dari telingnya begitu mendengar orang histeris di seberang sana. Suara Qiara yang seperti menemukan uang sekarung penuh itu masih bergumam tak karuan dalam poselnya.
"Kenapa sih, Qi?!" tanya Tya dengan kesal begitu Qiara berhenti mengoceh di sebrang sana.
"Tya! Sumpah demi apa! Ada berita gosib terhot, teraktual, teruptudate!!!" Qiara dengan suara nyaring dan terkesimanya.
"Bisa gak usah teriak gak, Qi? Gendang telinga mau pecah tau gak," omel Tya. Kebiasaan memang Qiara selalu berteriak.
"Masalah Bu Shinta. Pokoknya datang ke kost biar enak ceritanya. Sekalian bawa goregan sama es boba. GPL ya, Ty!"
Bersambung...