Mentari pagi bersinar dengan terik. Harus nya Agesti, Wilia dan Oliv bisa mendapatkan energi positif hari ini.
Ketiga gadis yang tengah terhimpit masalah cinta dan keuangan itu tampak berjalan dengan lambat menuju ke sebuah kantin kampus langganan mereka membeli kacang atom dan air mineral.
Tiga puluh menit yang lalu, kabar tidak diinginkan kembali merek dengar saat keadaan sedang sulit seperti ini.
Ya, mereka baru saja di beritahukan oleh pihak kampus untuk segera melunasi biaya semester yang masih menunggak.
Harus nya, Wilia sudah melunasi uang kuliah nya saat ini. Namun karena beberapa waktu lalu ia harus melunasi biaya kosan, gadis malang itu harus menerima kenyataan bahwa ia benar-benar sudah tidak memiliki simpanan.
Oliv dan Agesti jelas bernasib sama. Kedua gadis itu bahkan tidak seberuntung Wilia dalam hal materi.
Kedua orang tua Wilia selalu mengusahakan agar mereka bisa membiayai kuliah dan kehidupan sang anak di perantauan.
Agesti mengajak kedua sahabat nya duduk di sebuah bangku paling pojok agar terhindar dari keramaian mahasiswa yang lain saat sedang beristirahat menunggu waktu jam mata kuliah selanjutnya di mulai.
"Kalian mau minum?" Tanya Wilia saat ia beranjak bangun untuk membeli sebotol air mineral agar ia merasa lebih tenang.
Oliv mengangguk cepat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Wil, beliin Gue kacang atom ya." Pinta Agesti sembari mengeluarkan sisa-sisa uang recehan di saku jas almamater nya.
"Minum nya?" Tanya Wilia saat menerima sejumlah uang yang hanya bisa ia belikan untuk sebungkus kacang atom.
"Gue minta sama Lo aja." Pungkas Agesti tanpa merasa bersalah.
Wilia mengeluarkan nafas dengan kasar sebelum berlalu pergi untuk membeli sebotol air mineral dan sebungkus kacang atom.
---
"Tadi malam Andre telpon Gue." Curhat Oliv setelah meneguk air mineral milik Wilia.
"Terus Lo angkat?" Tanya Wilia penasaran.
Gadis berwajah datar itu menggeleng. "Lo kan tau tadi malam Gue tidur sama Lo, sama Agesti juga."
"Kalo Lo belum tidur, pasti diem-diem Lo bakal angkat telpon dia kan?" Tebak Agesti sembari memincingkan mata nya.
Lagi-lagi Oliv menggeleng. "Gue gak sebodoh itu ya, Ges." Jawab Oliv dengan cepat.
"Bagus lah." Imbuh Wilia cuek.
Oliv merubah posisi duduk nya sedikit menyender ke sebuah dinding berbahan semen di samping nya. "Andre udah bukan tipe cowok Gue lagi, karena Gue udah gak mau sama cowok kayak dia."
"Terus Lo mau nya sama cowok kayak siapa?" Tanya Agesti memancing. Gadis bertubuh tinggi itu terus mengunyah kacang atom kesukaan nya tanpa memperdulikan orang-orang yang mungkin terganggu dengan suara berisik yang ditimbulkan oleh kacang atom tersebut di dalam mulut nya.
"Yang high class, Kayak Edro." Jawab Oliv sembari cengengesan.
"Edro yang kemarin nolongin Lo itu? Apa kabar dia sekarang? Emang nya Lo yakin bakalan ketemu doi lagi?" Bukan nya menyemangati, Wilia malah terkesan meremehkan keyakinan hati Oliv terhadap Edro yang sempat mengantar nya pulang beberapa waktu yang lalu.
Oliv terdiam sejenak. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Wilia tentang itu. Satu hal yang Oliv yakini sampai sekarang, Edro akan menemuinya lagi di kemudian hari.
Andai saja saat itu Oliv meminta kontak Edro yang bisa ia hubungi, mungkin saat ini ia bisa menjawab pertanyaan Wilia.
"Tapi Gue dukung Lo sama Edro, daripada sama Andre yang selalu ngerepotin Lo dan gak tau diri itu? Gue sih big no! Kalo Lo sama dia." Pungkas Agesti.
Lima belas menit berlalu, ketiga gadis itu malah membahas banyak hal dan melupakan masalah inti mereka.
Biaya kuliah mereka yang sudah ditagih oleh pihak kampus rupanya belum bisa mereka pikirkan jalan keluar nya.
Kalau Wilia memberanikan diri untuk meminta uang lagi kepada orang tua nya, tentu saja mereka akan mempertanyakan kemana uang yang dulu mereka kirimkan kepada Wilia.
Sementara itu, Oliv tidak berani meminta sejumlah uang untuk saat ini karena mengetahui kondisi keuangan orang tua nya yang sedang kesulitan.
Agesti pun demikian, meskipun ia merupakan anak satu-satunya, tetapi ia tidak bisa seenaknya meminta sejumlah uang kepada orang tua nya karena beberapa alasan yang tidak bisa ia jelaskan secara detail.
"Kira-kira kapan ya, Edro main ke kosan kita lagi?" Tanya Oliv penuh harap.
Wilia mendengus kesal. Gadis itu baru tersadar, bahwa ada hal yang lebih penting untuk mereka pikirkan hari ini daripada harus memikirkan satu lelaki yang tidak jelas asal usul nya.
"Ges, sohib Lo kemana? Telpon dong suruh kesini." Pinta Wilia kepada Agesti.
Orang yang di maksud adalah Billy. Tentu saja Wilia ingin meminta belas kasihan Billy kepada mereka hari ini.
"Gak ada, Billy ada kelas sekarang! Gue denger sih, anak perawat lagi pada sibuk banget karena mau ada semacam ujian praktek atau apa gitu, Gue gak tau." Pungkas Agesti memberitahu.
Terlihat raut wajah Wilia langsung bertambah layu. Bagaimana pun juga hanya Billy lah yang akan bisa menjadi malaikat bagi mereka di saat-saat seperti ini.
"Kenapa, Lo? Laper?" Tanya Agesti sembari mengangkat kedua sudut bibir nya.
Wilia mengangguk lemas dan kembali menenggak air mineral yang sudah hampir habis.
Ketiga gadis malang itu hanya duduk termenung sambil sesekali memainkan ponsel nya untuk sekedar menghilangkan rasa bosan dan mengalihkan rasa lapar mereka sejak tadi.
Di tiga tahun perkuliahan, tentu saja keuangan dan fisik mereka sedang di peras habis-habisan. Banyak kegiatan yang akan mereka hadapi untuk persiapan menjadi seorang sarjana yang kurang lebih akan mereka dapatkan tahun depan.
Dari arah yang bersebrangan, terlihat Celo menenteng kantong plastik berjalan ke arah Agesti, Wilia dan Oliv.
Orang yang pertama melihat keberadaan Celo adalah Agesti. Gadis itu sengaja membiarkan Celo menghampiri mereka karena ia bisa memperalat Celo untuk membuat perut ketiga nya kenyang hari ini.
"Selamat siang Neng Oliv." Sapa Celo dengan ekspresi ceria nya.
Lelaki itu pun duduk di samping Agesti yang membuatnya berhadapan langsung dengan Oliv saat itu.
"Heh! Siapa yang ngasih ijin Lo duduk?" Ketus Oliv tanpa menjawab sapaan Celo sedikit pun.
Ekspresi wajah Celo berubah seketika. Tampak lelaki culun itu merasa sedih dan tidak enak dengan ucapan Oliv yang mungkin menyinggung perasaan nya.
"Gue! Gue yang ijinin Celo duduk di sini." Pungkas Agesti sembari merangkul bahu Celo tanpa basa-basi.
"Hehe, makasih ya.. Agesti baik banget sama Celo."
"Sama-sama." Jawab Agesti sambil melempar senyum manis ke arah Celo.
Melihat hal tersebut, Oliv hanya ternganga dan tidak memprotes sedikit pun.
Sementara itu, Wilia langsung memahami maksud Agesti mempersilahkan Celo bergabung dengan mereka.
"To the point aja deh, Cel! Sebenernya Lo bawa apa? Mana sini Gue liat! Pasti makanan kan? Kebetulan kita lagi laper, sini!" Ucap Wilia sembari menjulurkan tangannya untuk meminta kantong plastik yang di bawa Celo.
"Udah, kasih!" Titah Agesti sembari terus menepuk bahu Celo layaknya teman dekat.
Lelaki cupu itu pun hanya pasrah saat barang bawaan nya di rampok oleh Wilia.
"Nah, gitu dong! Kalo Lo mau ajak Oliv ngobrol, sering-sering bawain kita makanan begini." Wilia mengangkat kedua alis nya ke arah Celo dan Agesti di susul senyum sumringah dari gadis bertubuh tinggi di depan nya tersebut.
Sementara itu, Oliv hanya membuang nafas kasar dan menggaruk tengkuk nya karena lagi-lagi ia harus menjadi korban demi membahagiakan kedua sahabatnya.