Chereads / Tetaplah Bersamaku! / Chapter 25 - 25. Perempuan Pemarah

Chapter 25 - 25. Perempuan Pemarah

"Liza, kamu saja yang antarkan pesanan pelanggan kita itu. Aku dan Christin bisa mengurus yang disini." Aubrey menepuk bahu Liza yang masih kebingungan namun akhirnya masalah pun terselesaikan.

"Baik bos. Aku akan menyiapkan pesanannya terlebih dahulu." Liza segera mempersiapkan apa yang harus dibawa untuk ke pelanggannya yang sudah dikantongi alamat lengkap dan nama penerimanya. Beruntung, Aubrey sudah ada sejak tadi jadi kafe masih bisa dihandle oleh dua orang.

Tunggu, bukan dua orang. Sejak Aubrey dan William berjanji mengikat hubungan mereka menjadi sepasang kekasih. Ada dua orang pria yang diperbantukan William untuk stand by di kafe milik Aubrey. Aubrey mengatakan pada Liza dan Christin kalau dua orang itu adalah suruhan dari ayahnya untuk membantu kerjanya aagr tidak terlalu lelah. Aubrey tidak mungkin memberitahu dua karyawannya kalau dua orang pria yang baru bekerja adalah orang suruhan William. Karena Aubrey tidak ingin statusnya sebagai pacar William diketahui semua orang. Cukuplah keluarganya dan keluarga William saja yang tahu. juga Ruth, perempuan yang ingin menjadi menantu keluarga The Knight.

"Benar disini tempatnya. Perempuan itu bilang aku harus naik sendiri untuk menyerahkan minuman ini padanya." Liza sudah sampai kantor dimana minumannya dipesan lewat telpon. Petugas keamanan dan resepsionis yang menyambutnya mengijinkan Liza untuk langsung naik ke lantai dimana tuan presdir mereka bekerja.

TING!

Pintu lift pun terbuka. Lantai paling atas yang merupakan tempat dimana para petinggi perusahaan berada, tampak sangat sepi.

"Apakah karena jam makan siang jadi sepi begini? Kenapa nona itu tidak mengangkat telponku? Aku harus letakkan dimana minuman ini sebelum menjadi dingin?" Liza mengedarkan pandangannya kesana kemari. Tidak ada satupun orang yang ditemui. Semua orang sepertinya turun ke bawah untuk makan siang.

"Kamu siapa?"

"Huaaaa," Liza menjerit ketakutan ketika mendengar suara dari arah belakangnya. Seorang pria dengan setelan jas serba hitam, senada dengan warna rambut dan warna matanya, sedang berdiri di luar pintu sebuah ruangan sambil berkacak pinggang. "A-aku mengantarkan minuman kopi pesanan dari nona Maria." Ujar Liza terbata-bata. Pria itu sangat tampan, lebih tampan dari manapun yang Liza pernah temui.

"Itu pesananku. Kemarilah!" Martin yang tidak turun untuk makan siang, melihat bayangan seseorang berjalan mengendap-ngendap di luar ruangannya dan terlihat dari dalam. Pria yang sedang pusing dengan permasalahan kantornya itu pun berjalan keluar untuk mencari tahu.

Liza pun berjalan menghampiri Martin. Perempuan cantik yang mengikat rambut panjang dan hitamnya dengan kunciran kuda itu berjalan tergesa-gesa hingga tanpa disengaja minuman itu hampir tumpah mengenai jas Martin. Beruntung minuman tersebut selamat namun Liza jatuh terjerembab ke depan dengan hidung mencium lantai. Mahasiswi yang bekerja sambilan di kafe itu memegang erat minuman itu di tangannya dengan posisi stabil.

"Aduhhh, huhuhu, hidungku." Liza merasakan perih yang teramat sangat di tulang hidungnya. Martin hanya bisa melongo melihat pemandangan yang tidak biasa itu.

"Kamu tidak apa-apa?" Pria itu mengambil minuman yang masih digenggam Liza dan meletakkannya di atas meja. Kakak dari William itu membantu Liza untuk berdiri dengan memegang kedua lengannya. Tampak wajah Liza yang kemerahan menahan tangisan karena perihnya.

"Hiks, aku tidak apa-apa. Syukurlah minumannya baik-baik saja. Kalau begitu, aku permisi dulu. Selamat menikmati kopinya. Hiks ..." Hidung Liza yang berwarna merah merona itu semakin menunjukkan betapa sakitnya akibat jatuh yang dideritanya.

"Ikut aku!"

"Kyaaa, apa yang anda lakukan?" Martin menarik tangan Liza untuk masuk kedalam ruangannya. Pria itu merasa perlu bertanggung jawab atas kecelakaan kecil yang dialami gadis tersebut.

"Duduk disana!" Suara berat dan memerintah Martin membuat Liza tidak bisa menolak dan hanya patuh. Liza pun duduk di atas sofa tamu. Martin mengambil sesuatu dari lemari pendingin yang ada di ruangannya. Pria itu mengeluarkan botol air dingin dan memberikannya pada Liza.

"Oleskan botol dingin itu pada hidungmu untuk meredakan memar sesaat. Hidungmu seperti badut yang membesar akibat jatuh mencium lantai." Jawab Martin tanpa ekspresi. Liza tersenyum lirih dan menerima botol yang disodorkan Martin.

Liza menempelkan botol dingin itu ke hidungnya yang memar. Sementara, pria yang memberikan botol dingin itu duduk dengan elegan tepat di hadapan Liza sambil memegang minumam kopi yang dibawa oleh Liza.

"Kenapa bisa ada perempuan penjual minuman seceroboh dirimu? Ckckck ..." Martin menyesap Espresso yang masih panas itu dengan santainya. Liza mengernyitkan alisnya.

"Pria aneh! Kenapa repot menolongku kalau malah menghinaku? Huh, semoga kamu tersedak minuman itu dan tidak bisa bernapas!" Liza mengutuk pria didepannya dalam hati.

"Kenapa? Kamu mengutukku dalam hatimu? Bagaimana aku bisa tahu? Matamu dan seringai sinismu menjelaskan semuanya." Martin menggeleng-gelengkan kepalanya. Liza malah melebarkan mata panik karena isi hatinya bisa terbaca jelas pria di depannya.

"Sudah terima kasih, aku harus kembali ke kafe. Minumannya sudah dibayar oleh sekretaris anda. Permisi!" Liza meletakkan botol dingin itu diatas meja dan hendak berlalu keluar ruangan meninggalkan Martin dengan aura mencekamnya.

"Lain kali aku pesan minuman, aku tidak mau kamu yang mengantarkan." Ujar Martin dengan santai sambil terus menyesap Espresso panasnya. Langkah kaki perempuan cantik itu terhenti. Dadanya bergemuruh kesal. Matanya terpejam sambil menghela napas. Kalau bukan karena pelanggan, Liza pastikan akan membalas ucapannya yang kasar itu.

"Baiklah tuan, aku juga tidak mau datang ke kantor ini lagi." Liza keluar ruangan Martin sambil membanting pintu dengan kencangnya. Martin menggeleng-geleng kepalanya lagi.

"Perempuan pemarah." Gumamnya santai sambil berjalan menuju mejanya.

"Cih, siapa juga yang mau mengantarkan minuman kalau bukan karena bosku yang suruh? Dasar pria aneh! Dia kira siapa bisa memerintah aku seeenaknya? Ingin rasanya aku mencekik lehernya sampai sulit bernapas!" Liza menumpahkan kekesalannya di dalam lift yang membawanya turun ke lantai satu. Beruntung tidak ada siapapun didalam lift itu jadi dia bisa berkata apa saja semaunya.

"Liza? Hai, sedang apa kamu disini?" Suara seorang pria menghentikan langkah Liza keluar dari gedung kantor ini. Perempuan itu pun menoleh ke arah datangnya suara.

"Kak Billy? Hai, kamu ... kerja disini?" Billy adalah kakak senior Liza di kampus yang usianya lebih tua dua tahun darinya.

"Ya, aku karyawan disini. Baru dua bulan bekerja. kamu sedang apa disini?" Billy melihat seragam yang dikenakan Liza dan tersenyum ramah. Sejak dulu Billy menyukai gadis ini tapi sayangnya Liza tidak menanggapinya karena bagi Liza pendidikan adalah nomor 1. Tahun ini dia akan wisuda dan dia tidak ingin kuliahnya terganggu dengan pacaran.

"Aku ... baru saja mengantarkan minuman untuk seseorang. Kalau begitu, aku permisi dulu. Bos ku pasti sudah menungguku. Senang bertemu dengan kak Billy. Bye." Liza berjalan buru-buru meninggalkan lelaki yang gosipnya naksir padanya. Billy hanya terdiam memandang kepergian Liza dari jauh.