Chereads / Tetaplah Bersamaku! / Chapter 12 - 12. Satu Ibu Lain Ayah

Chapter 12 - 12. Satu Ibu Lain Ayah

"Selamat pagi," Aubrey mengalihkan tubuhnya ke arah Ruth dan Martha.

"Pagi. Kamu siapa?" Tanya Ruth.

"Perkenalkan, saya kekasih William. Nama saya Aubrey Green." Dosen muda itu mengulurkan tangannya untuk dijabat namun reaksi Ruth dan Martha justru diam melongo.

"Apa? Kekasih William? Lelaki idiot dan tidak berbobot ini sudah punya kekasih? Kurang ajar! Bahkan untuk mendapatkan lelaki yang bukan tipeku saja aku tidak bisa." Gumam Ruth dalam hati.

"Maaf, apakah ada masalah?" Aubrey tersenyum pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Dia tetap menunggu Ruth untuk menjabat tangannya kembali.

Ruth tersadar dari lamunannya dan membalas jabatan tangan Aubrey. Perempuan itu memaksakan tersenyum agar tidak dikira sombong atau negative lainnya.

"Hai, aku Ruth Wilson. Dan, ini mommy ku, Martha Wilson." Martha juga menyambut uluran tangan Aubrey setelah kedua wanita muda itu berjabat tangan.

"Nyonya Anna, maafkan aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus segera ke kampus. Kalau ada waktu lagi, aku akan mampir kesini." Ucap Aubrey. Liam yang berdiri disampingnya tersenyum lirih malu-malu seperti biasa.

"Oh sayang sekali, ya sudah tidak apa-apa. Liam, antarkan Aubrey ke kampusnya." Anna berkata pada anaknya.

"Oh tidak usah, aku bawa mobil sendiri. Liam sudah membantuku tadi di kafe. Kalau begitu, aku pergi dulu." Jawab Aubrey.

"Tunggu dulu, apakah kamu masih mahasiswa dan bekerja paruh waktu di kafe? Huh, maaf tapi bukannya aku sombong. Aku adalah seorang artis terkenal dan aku punya banyak kenalan yang bisa membantumu bekerja sebagai asisten artis misalnya." Ucap Ruth penuh percaya diri. Martha pun tersenyum mengejek mendengar ucapan anak perempuannya.

Anna tersenyum lirih mendengarnya. Aubrey dan Liam tersenyum dalam hati.

"Maaf Ruth sayang, Aubrey ke kampus bukan untuk kuliah. Tapi dia salah satu dosen disana. Dan kafe yang dia maksud itu dia bukan bekerja sebagai karyawan disana. Justru dia adalah pemilik kafe tersebut."Jawab Anna sambil tersenyum puas membalas ucapan perempuan yang selalu memandang rendah orang lain. Dan, sifat itu diturunkan dari ibunya yang senang mengumbar keburukan orang lain dan selalu berusaha menjatuhkan harga diri orang lain.

Ruth terbelalak kaget. Dia menatap Aubrey dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mana mungkin perempuan masih muda yang mungkin seumuran dirinya ini memiliki profesi sebagai seorang dosen? Dan, juga sekaligus sebagai pemilik kafe. Pikir Ruth dalam hati.

"Kalau begitu, aku pamit pergi dulu. Terima kasih atas keramahan nyonya Anna."

"Aku antarkan Aubrey ke depan dulu." Liam menyusul Aubrey dari belakang dengan langkah panjangnya.

"Aubrey, maafkan ucapan Ruth barusan. Dia tidak kenal siapa kamu jadi dia sembarangan menuduh kamu yang tidak-tidak." Liam berkata pada Aubrey yang hampir membuka pintu mobilnya.

"Liam, apa kamu menyukai Ruth?" Aubrey berbalik menghadap Liam. Yang ditanya justru diam dan wajahnya memelas dengan mata sendunya. "Katakan! Apa kamu menyukai dia sehingga kamu mewakili dia untuk minta maaf. Kalau kamu memang benar-benar suka padanya, untuk apa kita pura-pura pacaran? Kamu jadi kekasih beneran dia saja." Ujar Aubrey dengan nada suara tertahan dan gigi mengerat.

Liam menjadi salah tingkah dan matanya bergerak kesana kemari. Kedua tangannya gemetar mendapatkan tatapan tajam dan perkataan menusuk dari Aubrey, perempuan yang baru sehari dipacarinya itu.

"Bu-bukan itu maksudku. Aku … aku hanya ingin agar kamu … tidak marah. Aku tidak pernah menyukai dia. Dia juga mana mungkin menyukai aku?" Liam yang salah berkata menjadi panik dan lupa kalau yang dia hadapi adalah seorang perempuan tangguh yang tidak mudah ditindas.

"Oh, jadi kalau dia suka kamu maka kamu juga akan menyukai dia?" Tanya Aubrey lagi.

Liam bingung tidak mengerti. Kenapa semua yang dia ucapkan menjadi serba salah dan membuat Aubrey bertambah marah? Liam tidak berkata apa-apa lagi karena khawatir salah bicara.

"Oh, kamu diam berarti benar kamu suka dia. Huh. aku salah menilai kamu yang lugu dan polos selama ini." Aubrey pergi meninggalkan Liam yang terbelalak kaget tidak mengerti. Kenapa Aubrey jadi marah-marah seperti ini? Liam menghela napasnya. Sudah selesai berpura-pura bodoh dihadapan perempuan ini. Tapi, mengapa dadanya terasa sesak. Pria itu pun menghampiri mobilnya dan pergi ke gallery miliknya yang dibangun dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri.

"Huh, dasar lelaki dimana-mana sama saja. Mau pria normal ataupun lugu tetap saja kalau lihat perempuan seksi langsung naksir." Aubrey menggerutu kesal didalam mobil menuju kampus. Tapi tiba-tiba dia tersadar. "Untuk apa aku marah-marah? Kalau dia suka perempuan tadi ya sudah biarkan saja. William juga bukan kekasih sungguhan. Cih! Aku seperti perempuan kurang kerjaan saja." Ucap Aubrey dan mobil warna kuning itu pun meluncur cepat menuju sebuah kampus ternama di kota.

-----

"Tuan William," Seorang pria yang usianya seumuran dengan kakak pertamanya, Martin, menghampiri William yang baru datang ke gallery.

"Niel, aku ingin ke ruangan dan jangan ganggu aku selama satu jam kedepan." Ujar Liam dengan senyum khasnya yang seperti anak kecil malu-malu.

"Baik tuan," Niel adalah asistennya di gallery. Lelaki itu sangat setia dan telah menjadi karyawan Liam sejak gallery itu pertama kali didirikan.

"Tuan Liam itu terkadang lugu seperti anak kecil tapi suatu waktu aku pernah ditatapnya dengan aura seperti ingin membunuh. Huft, siapa yang tahu kepribadiannya mana yang sesungguhnya." Gumam Niel sendirian.

"Kena kamu! Menggosipkan bos sendiri dibelakang maka hukumannya adalah gaji dipotong selama tiga bulan kedepan." Stella, sekretaris William di gallery tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundak Niel. Membuat pria itu setengah mati terkejut.

"Stella, kamu mengagetkan aku saja. Untung saja aku tidak punya penyakit jantungan." Ujar Niel dengan sinis dan sambil lalu meninggalkan perempuan yang senang menggodanya dengan kejutan-kejutan aneh.

"Niel, tunggu!" Stella setengah berlari berusaha mengejar lelaki yang menjadi rekanan kerjanya di gallery itu.

Liam masuk kedalam ruangannya dan segera duduk di kursi singgasananya. Setelah orang-orang tidak ada disekitarnya, Liam akan kembali ke kepribadian yang sesungguhnya. Seorang pria dingin yang sangat pintar membuat strategi tapi punya keinginan terpendam yang sudah lama ingin dilaksanakan, yaitu mencari tahu siapa sesungguhnya ayah kandungnya. Ya, William sudah lama tahu kalau Phil bukanlah ayah kandungnya. Martin dan Jason adalah saudara satu ibu beda ayah.

Ibunya tidak bisa ditanya karena psikisnya yang rapuh dan mudah sakit jika ditanyakan hal yang sangat mengguncang emosinya. Bertanya pada ayahnya, Phil, pun tidak akan menemui titik terang karena pria itu terlalu baik bagi William karena tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang untuk ketiga anaknya, meski William bukanlah anak kandungnya.

Liam menautkan ke sepuluh jarinya dengan kedua sikutnya bertumpu diatas meja.

"Siapa yang bisa aku mintai keterangan?" Gumamnya sambil mengeraskan rahang.