Chereads / Tetaplah Bersamaku! / Chapter 2 - 2. Liam Knight

Chapter 2 - 2. Liam Knight

Liam tersenyum tipis dan menjawab, "Baik-baik aku pergi sekarang. Maaf mengganggu waktumu." Pria tersebut sempat tersenyum tipis ke Aubrey namun diabaikan olehnya.

Aubrey menahan emosi yang tiba-tiba muncul. Bagaimana tidak emosi jika seketika dirinya dikejutkan dengan kabar pernikahan yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Aubrey kembali menuju ruang dosen setelah mengatur napasnya menjadi teratur kembali.

"Sudah tuan? Sekarang kita menuju kemana?" Supir yang menunggu Liam di parkiran kampus, membuka pintu untuk tuan termuda dari keluarga The Knight.

"Menarik sekali. Keluarga Green punya dua orang anak perempuan dan aku memilih yang pertama. Huh, tidak disangka, kepribadiannya sangat berbeda dengan adiknya." Liam yang dihadapan orang banyak, berbeda jauh sikapnya ketika sendirian atau bersama supir sekaligus ajudan pribadinya, Noah.

"Noah, informasi apa saja yang sudah kamu dapatkan?" Liam memangku dagu dengan tangannya.

"Sejauh ini hanya data kalau nona Aubrey Green dan Chesa Green adalah satu ayah lain ibu. Ibu dari nona Aubrey sudah meninggal sejak dia masih kecil. Dan, ayahnya menikah lagi lalu lahirlah Chesa Green. Namun, didalam keluarga itu, Aubrey dan Chesa mendapatkan perlakuan berbeda. Ibu tiri dan anaknya sangat membenci nona Aubrey dan memfitnahnya dengan segala cara agar keluar dari hak waris ayahnya." Noah berkata sambil menatap halaman kampus didepan dari balik kaca mobil.

"Hmm, seperti itu. Menarik sekali. Kalau begitu, kita langsung pulang dan temui ayah ibuku. Kedua kakakku pasti tidak sabar untuk menjodohkan adiknya yang idiot ini dengan anak keluarga Green."

"Siap tuan." Noah pun menyalakan mesin mobil dan melaju meninggalkan area parkir kampus. Kedua mata Liam menatap jendela ruang dosen yang ada dilantai dua dari balik kaca jendela. Tanpa diduga, ternyata Aubrey pun sedang menatap kepergian sebuah mobil mewah dari lantai atas. Kedua mata mereka bertemu dan menatap dari jarak jauh satu sama lain.

"Aku harus memastikan ini pada ayah. Tidak mungkin dia menjodohkan aku tanpa bertanya padaku." Aubrey memutuskan untuk pulang kerumah secepatnya setelah jam mengajar usai.

-----

"Liam, kemari duduk." Phil Knight, ayah dari tiga anak laki-laki, Martin, Jason, dan William, meminta ketiga anaknya untuk duduk bersama membahas sesuatu yang sangat penting. Ibu mereka, Anna, sudah duduk menanti sejak tadi.

"Baik ayah." William atau biasa dipanggil Liam, duduk di sofa paling pinggir. Martin, kakak pertamanya ada di sofa tengah, Jason, kakak keduanya di sofa sebelah kiri.

"Kalian semua tahu, usia kalian sudah cukup untuk masuk ke jenjang pernikahan. Namun, untuk menjadi menantu dari keluarga Knight haruslah dari kalangan berada, bukan sembarang perempuan. Martin … Jason … apa kalian sudah punya calon istri?" Suasana diruang kerja sang ayah mendadak penuh ketegangan dan aura mendominasi sang ayah, sang penentu satu-satunya didalam keluarga ini, sangat kental terasa.

"Aku masih sibuk dengan banyak proyek yang sedang berjalan. Dan juga, ada beberapa investor baru yang tertarik ingin menjalin kerjasama dengan The Knight Corp." Ujar Martin, anak tertua.

"Begitupun dengan diriku, ayah. Aku baru merintis bisnis property dan prospeknya sangat cerah. Aku tidak punya waktu untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita. Kelak kalau bisnisku sudah maju pesat, mendapatkan wanita bukanlah hal yang sulit untukku." Ujar Jason, anak kedua.

"Hmm, kalian memang akhir-akhir ini sangat sibuk, berangkat pagi pulang larut malam. Tapi, tetap saja, kalian harus menikah. Ayah kasih batas waktu sampai tahun depan. Kalau sampai tahun depan kalian belum menemukan perempuan untuk dijadikan istri, ayah akan tentukan siapa calon istri buat kalian." Martin dan Jason diam tak bersuara. Namun, didalam hati mereka memberontak. Kenapa urusan pribadi mereka juga harus ada campur tangan ayahnya.

"Liam, bagaimana dengan kamu? Apa kamu sudah memiliki calon istri?" Semua orang menatap Liam yang diam dengan raut wajah murung. Kedua kakaknya menyeringai sinis melihat adik bungsu mereka. "Mana mungkin ada perempuan yang mau dengan pria idiot dan tidak aneh? Bahkan nenek-nenek pun akan berpikir seribu kali jika ingin menikahinya." Dalam hati mereka berkata.

"Aku … aku … sudah menemukan calon istriku, ayah." Jawaban Liam sungguh mencengangkan dan membuat semua orang yang hadir melebarkan mata mereka. "Huh, ini pasti akal-akalan Liam saja agar tidak dipaksa menikah dengan perempuan pilihan ayahnya. Mana ada perempuan waras yang mau menikah dengannya?" Pikir Martin.

"Oh, siapa dia? Apakah aku mengenal keluarganya?" Phil bertanya penasaran. Anak bungsunya ini memang berbeda dengan kedua kakaknya yang menyukai bisnis. Liam lebih cenderung menikmati alam bebas dengan melukis. Namun, hasil lukisannya bukan sembarang lukisan. Liam sering mengadakan pameran dan selalu tembus dengan harga penjualan fantastis.

"Dia … anak dari keluarga Jerry Green." Jawab Liam sambil menundukkan wajah takut-takutnya.

"Hahaha, Liam. Kapan kamu mengenal perempuan itu? Apakah dia perempuan cacat. Jelek, gendut, dan jerawatan? Hahaha, kamu benar-benar mempunyai daya imajinasi yang tinggi." Ucap Martin dengan sombongnya.

"Martin, jaga ucapanmu! Biar bagaimanapun, Liam lebih unggul dibandingkan kalian yang tidak bisa mendekati seorang gadispun untuk dinikahi." Phil menatap murka anak pertamanya yang telah berbicara menyakitkan hati adik bungsunya.

"Ayah, aku tidak apa-apa. Kakak Martin benar, mungkin daya imajinasiku terlalu tinggi. Tapi, ayah bisa menemui ayah mereka agar lebih jelas lagi." Jawab Liam dengan ragu-ragu dan wajah yang takut-takut.

"Baiklah, kamu atur pertemuan dengan mereka. Aku akan datang kapanpun itu sudah siap." Phil berjalan melangkah keluar ruang kerja dan otomatis rapat keluarga itu pun telah selesai dan masing-masing membubarkan diri.

"William, meskipun kamu adalah adikku, kamu jangan lupakan batasanmu. Kalau kamu menikah lebih dahulu, bukankah itu sama saja mencoreng wajah kami secara tidak langsung?" Jason membenarkan ucapan sang kakak, Martin, dengan mengangguk dan menyeringai sinis.

"Jadi, aku harus bagaimana? Ayah yang meminta agar salah satu diantara kita menikah." Liam berkata dengan seringai takut-takut.

"Huh, kamu katakan saja pada perempuanmu untuk tidak mau menyetujui pernikahan tahun ini. Dan aku yakin, dia dengan senang hati akan meyetujuinya. Huh, bukan begitu?" Martin berkata dengan tubuh semakin mendekat ke Liam mengeluarkan aura penuh penekanan.

"Ba-baiklah, aku akan bicara padanya besok." Ujar Liam lagi.

"Bagus, begitu lebih baik. Setidaknya, kamu mengerti statusmu sebagai anak bungsu bagaimana. Huh." Martin mendengus sinis dan Jason pun menyusul sang kakak keluar dari ruangan kerja tersebut.

Kini tinggallah Anna, mami Liam dan Liam berdua.

"Liam, kamu tidak usah pedulikan apa kata kedua kakakmu ya. Mereka seperti itu iri karena kamu bisa mendapatkan calon istri lebih cepat daripada mereka." Anna mengusap-usap punggung sang anak. Warna rambut putih Liam diturunkan dari maminya. Sedangkan kedua kakaknya mendapatkan warna rambut dari papi dan neneknya.

"Iya mami. Aku kembali ke kamar dulu ya mam. Terima kasih mami selalu support aku." Liam menjawab dengan nada takut-takut dan wajah tertunduk sungkan.

Anna menatap anak bungsunya yang istimewa dimatanya. Pendiam, tidak suka bersaing, dan senang menyendiri. Namun dibalik semua sifatnya, Liam adalah anak yang paling cerdas dan selalu meraih nilai tertinggi di kelasnya sejak masih sekolah dasar kelas 1. Selain itu, dia adalah anak yang paling perhatian kepada ayah dan ibunya. Tidak seperti kedua kakaknya yang jarang dirumah dan sulit untuk diminta bantuan yang berhubungan dengan keluarga.

Seperti biasanya, ketika sudah menyendiri tidak ada siapa-siapa lagi, William kembali ke sifat normalnya dengan mata berkilat-kilat penuh intrik. Bibirnya kembali terdiam tanpa senyuman dan cengengesan yang kerap kali dia lakukan didepan banyak orang agar terlihat seperti orang idiot, dan aneh.

"Tuan, ini info terbaru yang saya terima dari anak buah di lapangan." Sebuah pesan tertulis masuk ke telpon genggam Liam dan didalamnya berisi deretan laporan yang pada intinya menjelaskan kalau Aubrey tidak pernah punya pacar sebelumnya dan dunianya hanya kedai kopi, kampus, dan rumah. "Sungguh istri idaman, menarik sekali." Ujar Liam.

"Ayah, aku mau bicara. Bisakah kita berbicara di suatu tempat?" Sepulang dari mengajar, matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Aubrey langsung mencari ayahnya dan mendapati sang ayah sedang minum teh di teras rumah, ditemani ibu tirinya, Patricia.

"Kamu baru pulang mengajar, bukannya mandi dulu. Anak yang tidak sopan sama sekali." Patricia mengeluh dan berkata kasar seperti biasa. Aubrey diam tidak peduli.

"Baiklah, ayo kita ke ruang baca." Jerry bangkit dari duduknya dan meninggalkan Patricia seorang diri di teras.

"Ayah, apa benar ayah menjodohkan aku dengan anak dari keluarga The Knight?" Aubrey langsung bertanya tanpa basa basi lagi.

Jerry diam sesaat dan mencari cara agar pembicaraan ayah dan anak ini tidak memanas.

"Sebenarnya bukan ke kamu, tapi lebih ke salah satu dari kalian, kamu dan adikmu. Tapi, berhubung kamu adalah anak pertama jadi aku menyarankan kamu yang menikah dengan salah satu dari Knight bersaudara." Jawab Jerry. Beberapa hari yang lalu, Jerry dan Phil yang merupakan teman bisnis, berniat untuk menjodohkan salah satu anak mereka. Namun, ternyata dari ketiga anak Phil, hanya Liam yang bersedia menikah lebih dulu. Sedangkan Jerry langsung menunjuk Aubrey karena dia adalah anak sulung.