"Kamu … seorang dosen? Memangnya berapa usiamu sekarang?" Tanya Anna heran.
"Tahun ini saya berusia dua puluh empat tahun." Jawab Aubrey ramah.
"Waah, hebat sekali. Dulu cita-citaku juga menjadi seorang dosen. Tapi sayangnya, saat hamil anak pertama aku mabok berat dan sampai hamil Liam pun aku tidak bisa kemana-mana, hanya berbaring saja diatas kasur sejak hamil sampai melahirkan." Jawab Anna dengan wajah sendunya.
"Tidak apa-apa, nyonya. Menjadi ibu juga sangat mulia, lebih mulia daripada seorang dosen malahan." Jawab Aubrey dengan tulus. Dimatanya, Anna merupakan ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya dan sangat bersahaja juga rendah hati. Aubrey jadi tidak tega untuk menolak perjodohan ini.
"Selamat pagi semuanya." Ditengah-tengah obrolan yang cukup hangat, tiba-tiba datang Liam, pria yang sama sekali ingin dihindari oleh Aubrey. Perempuan dengan rambut pirang keemasan itu pun berdiri untuk menyambut datangya tuan muda rumah ini.
"Liam, tepat sekali kamu datang. Ada Aubrey dan ayahnya baru saja datang. Kalau kamu tidak sibuk, mari bergabung bersama kami." Anna menghampiri anak bungsunya yang tampak malu-malu dan salah tingkah.
"Tidak mommy, aku kesini karena ada yang kelupaan aku bawa dan akan aku ambil sekarang." Liam berkata dengan sopan kepada mommynya dan tidak berani menatap mata Aubrey dihadapan orang banyak.
"Liam, duduklah. Kedatangan tuan Jerry dan anaknya juga ada hubungannya dengan kamu." Phil berkata. Anna menatap lembut sang anak dan mengangguk meminta Liam untuk ikut duduk bersama mereka.
"Baiklah kalau begitu." Anna menarik lembut lengan anaknya untuk duduk disebelah kirinya. Sementara Aubrey berada di sebelah kanannya.
"Baiklah Jerry, apa yang ingin kamu katakan." Phil memalingkan wajahnya ke arah Jerry yang seketika tersenyum ragu-ragu.
"Phil, Anna, kedatangan aku dan anakku kesini untuk memberitahu sesuatu. Ini tentang perjodohan yang melibatkan kedua anak kita masing-masing. Liam dan Aubrey." Jerry berhenti sejenak berbicara lalu menghela napasnya dalam-dalam dengan kedua matanya menatap Aubrey, seolah-olah berkata, "Aubrey, sekarang giliranmu untuk mengatakan semuanya."
Aubrey menangkap kode dari ayahnya tersebut. Perempuan dengan rambut pirang keemasan itu menghela napasnya sebelum mulai membuka bibirnya untuk berbicara. Liam memperhatikan gerak gerik Aubrey dari sudut matanya.
"Maafkan aku kalau kedatanganku pagi ini terkesan mendadak. Mengenai perjodohan yang diatur, mohon maaf dengan sangat kalau aku … menolaknya." Ujar Aubrey dengan wajah menatap lurus ke orang-orang yang hadir disana, tidak terkecuali Liam yang ekspresinya tampak datar.
"Kalau boleh tahu, apa alasan kamu menolak perjodohan ini? Apakah … karena … calon suami yang akan dijodohkan denganmu adalah … William?" Anna menatap sendu wajah perempuan cantik yang duduk disebelah kanannya itu.
"Bukan, bukan sama sekali. Bukan karena dia atau siapa. Tapi, karena aku masih ingin berkarir. Aku masih ingin mengejar title professorku, aku masih ingin mengembangkan bisnis kedai kopi ku, aku masih ingin bekerja dan menabung untuk memiliki rumah sendiri. Aku takut, dengan menikah, semua itu tidak akan aku bisa dapatkan." Ujar Aubrey sambil menatap balik Anna, wanita yang sangat lembut dan penuh keibuan tersebut.
"Oh jadi hanya karena itu? Sayangku, semua itu masih bisa kamu dapatkan. Kami tidak akan menghalangi semua rencana kamu untuk mendapatkan semua jenjang karir yang kamu inginkan. Kami tidak akan pernah membuat menantu-menantu perempuan kami terkurung berada dirumah seharian." Ujar Anna.
"Oh, anda ibu yang baik sekali. Aku senang mendengarnya." Jawab Aubrey.
"Okay, okay, sekarang silahkan diminum dulu." Aubrey pun mengangguk terima kasih dan segera mengambil cangkir berisi minuman yang sudah disediakan.
"Aku hanya menginginkan, untuk menimang seorang cucu sebelum aku meninggal." Ucap Anna sedih.
BYUURRRRR!
Aubrey reflek menyemburkan teh manis yang masih berada didalam mulutnya. Kata 'cucu' membuat perempuan cantik itu kaget hingga tanpa sengaja memuntahkan air yang sedang diminumnya.
"Oh maaf maaf, aku tidak sengaja." Aubrey tampak panik dan mengambil tissue untuk mengelap pakaiannya juga pakaian Anna yang sedikit kena semburannya. "Maafkan aku nyonya. Aku kaget mendengar kalimat nyonya jadi tidak sengaja menyemburkan minuman." Ucap Aubrey polos menahan malu. Liam tersenyum simpul melihatnya. Anna merasa sangat terhibur dengan tingkah panik calon menantunya.
"Tidak apa. Tenang saja, aku tidak apa-apa. Tapi, pakaianmu jadi kotor. Padahal kamu akan pergi mengajar bukan siang ini?" Jawab Anna sambil mengambil tissue di tangan Aubrey.
"Oh, bagaimana nyonya tahu?"
"Kamu datang dengan pakaian formal seperti itu, siapapun tahu kalau setelah dari sini, kamu pasti akan langsung bekerja." Jawab Anna.
"Oh iya, hehe. Maaf nyonya, kalau begitu, saya ijin pamit pulang dulu untuk berganti pakaian sebelum ke kampus. Ayah, aku pulang dahulu." Aubrey hendak melangkah keluar namun tiba-tiba Anna menarik lengannya dan mengajaknya ke suatu tempat.
"Ayo, ikut aku."
"Tapi, nyonya …"
"Sudahlah, ikut aku saja." Anna menarik lengan Aubrey dan memaksaya untuk mengikuti dirinya. Ke tiga pria yang ditinggalkan hanya bisa diam mematung melihat.
Ternyata Anna membawanya menuju kamar pribadinya.
"Kemarilah, aku punya banyak pakaian yang masih bagus-bagus dan hanya aku pakai satu kali. Maukah kamu memakainya, kalau tidak keberatan?" Ucap Anna dengan senyum mengembang di wajah keibuannya.
"Tapi nyonya, pakaian ini mahal-mahal. Aku tidak sanggup memakainya." Jawab Aubrey sambil mengibas-ngibaskan dua tangannya ke depan.
"Apakah karena pakaian bekas aku pakai jadi kamu tidak mau memakainya?" Anna tampak sedih, niat baiknya tidak diterima oleh Aubrey.
"Bukan bukan seperti itu nyonya. Beberapa pakaianku juga bekas dari ibuku. Semua pakaian ibuku aku simpan di lemari dan aku pakai sewaktu-waktu. Jadi tidak masalah bagiku. Yang aku ingin tanyakan adalah kenapa nyonya begitu baik padaku? Aku kan belum memberikan keputusan mau tidaknya menikah dengan William." Jawab Aubrey dengan wajah merasa bersalah.
"Aubrey, William anak yang baik. Dia memiliki banyak kelebihan dibandingkan kekurangannya. Begitu melihat sosokmu, aku langsung yakin kalau William sudah menemukan pendamping hidup yang bisa mengimbangi sifatnya. Cobalah untuk jalan dulu dengannya sebelum menikah, agar kalian bisa mendapatkan chemistry." Ucap Anna dengan wajah dan tubuhnya memelas kasihan.
"Maaf, kalau boleh tahu, penyakit apa yang nyonya alami? Aku lihat nyonya tidak menderita sakit apa-apa. nyonya tampak sehat." Aubrey merasakan wanita yang sangat bersahaja ini tampak sehat luar dalam. Hanya saja tatapan matanya lemah dan seperti kurang bergairah.
"Sebenarnya aku tidak pernah mengatakan ini kepada siapapun selain keluargaku. Tapi, aku lihat kamu anak yang baik dan patuh pada orangtua, jadi aku akan memberitahumu. Ini berawal dari aku melahirkan anak pertama. Dan, setiap aku hamil pasti aku menderita sakit yang teramat sangat sehingga sulit bernapas, jantungku berdegup sangat kencang, dan aku tidak bisa makan dan minum selama beberapa hari. Akhir-akhir ini kondisiku semakin parah setiap harinya. Dokter juga tidak tahu aku menderita sakit apa, karena semua hasil rontgen, CT Scan, Lab baik-baik saja." Anna menjelaskan semuanya sambil duduk di tepi kasur dengan kepala tertunduk.
Aubrey datang menghampiri dan berlutut duduk diatas lantai didepan Anna.
"Nyonya, sejak kecil aku sudah tidak memiliki ibu. Tidak ada yang peduli apakah aku sakit, sedih, susah, dan sebagainya. Melihat nyonya aku langsung merasa kalau nyonya adalah ibu yang sangat baik dan panutan untuk anak-anak anda dan juga istri yang sangat setia. Maukah nyonya menganggapku sebagai seorang anak?" Aubrey menatap Anna dengan mata penuh ketulusan dan senyum yang sangat lembut.
"Kamu … kamu mau menganggap aku wanita penyakitan ini menjadi ibumu?" Tanya Anna tidak mengerti.
"Kenapa tidak? Itu juga kalau nyonya tidak keberatan. Maafkan aku yang sudah lancang." Aubrey menggenggam kedua tangan Anna. Kulit lembut perempuan dengan rambut pirang itu bisa merasakan betapa rapuhnya tubuh wanita dihadapannya ini. Dengan semua harta yang dimiliki, anak-anak dan suami yang sehat, seharusnya dia bisa lebih bahagia bila dibandingkan dengan keadaan orang lain yang kurang beruntung.
"Aku tidak akan salah pilih. Kamu memang cocok untuk menjadi istri William ku. Dia membutuhkan sosok istri sepertimu yang sangat berani, tegas, dan tidak manja." Jawab Anna.
"Oh, bisakah kita tidak membicarakan perjodohan itu lagi? Aku masih belum setuju untuk menikah." Kini gantian wajah Aubrey yang lesu setelah mendengar Anna kembali membahas tentang perjodohan.
"Baiklah, baiklah, maafkan aku. Semua ini pasti terlalu tiba-tiba untukmu. Tapi, bisakah kamu mengabulkan satu saja permintaan wanita yang sedang sekarat ini?" Anna tersenyum lembut sambil mengusap helaian rambut yang jatuh di pipi Aubrey kebelakang telinganya.
"Apa itu? Semoga aku bisa mengabulkannya." Jawab Anna dengan dahi berkerut.
"Maukah kamu menjadi kekasih William sampai tiga bulan kedepan minimal?" Aubrey mengernyitkan alisnya mendengar permintaan yang aneh tersebut. Seorang ibu menginginkan anak perempuan lain untuk menjadi kekasih anaknya tapi hanya dalam waktu tiga bulan.
"Menjadi kekasih William? Bukankah ini sama dengan bertunangan?" Aubrey menghela napas dalam-dalam.
Tanpa kedua wanita itu sadari, William mendengarkan percakapan mereka dari balik dinding kamar sang ibu. Hatinya tidak salah pilih. William sudah bertekad akan menjadikan Aubrey sebagai istrinya dan bukan gadis lain.