Beberapa hari yang lalu, Jerry dan Phil yang merupakan teman bisnis, berniat untuk menjodohkan salah satu anak mereka. Namun, ternyata dari ketiga anak Phil, hanya Liam yang bersedia menikah lebih dulu. Sedangkan Jerry langsung menunjuk Aubrey karena dia adalah anak sulung.
"Tapi ayah, aku belum mau menikah. Aku masih menikmati pekerjaanku sebagai dosen dan membuka kedai kopi. Aku tidak mau semua itu terhenti setelah aku menikah. Lagipula, aku tidak kenal siapa itu Liam. Aku baru mengetahui orangnya saja tadi pagi. Dan ayah tahu tidak? Dia datang ke kampus ku hanya untuk mengetahui siapakah Aubrey Green itu. Intinya, aku tidak mau menikah secepat ini. Aku akan menikah kalau aku sudah siap. Titik!" Ucap Aubrey dengan tegas sambil melipat kedua tangannya didepan dada.
"Aubrey, menikah bukan berarti kamu menghentikan semua pekerjaanmu. Kamu masih bisa terus bekerja setelah menikah. Cobalah kamu berkenalan dulu dengan Liam. Kalau kalian sudah mengenal satu sama lain, bisa jadi kamu akan tertarik untuk menikah dengannya." Jawab Jerry dengan penuh kesabaran membujuk anak sulungnya tersebut. Aubrey adalah anak yang baik dan sayang keluarga. Tapi, pendiriannya sangat keras jika dia sudah menginginkan sesuatu.
"Tidak, pokoknya tidak. Kalau ayah terburu-buru ingin menikahi anak ayah, minta Chesa saja yang menikah dengannya." Aubrey keluar ruang baca meninggalkan sang ayah yang tersenyum tipis dan menghela napas dalam-dalam. Salahnya juga tidak membicarakan hal ini terlebih dahulu dengan kedua anaknya. Tapi, semua sudah direncanakan jadi semua harus berjalan sesuai yang ditetapkan.
Aubrey keluar berjalan menuju kamarnya melewati Patricia, ibu tirinya, yang menatap Aubrey dengan sinis. Dia dan Chesa sangat tidak menyukai anak perempuan suaminya dari pernikahan pertamanya. Baginya Aubrey adalah penghalang yang akan merebut hak waris anak satu-satunya, Chesa.
"Ada apa sayang? Kenapa Aubrey tampaknya sangat kesal?" Patricia menghampiri suaminya yang masih duduk didalam ruang baca.
"Pat, ada sesuatu yang harus aku bicarakan padamu. Duduklah." Jerry meminta wanita yang telah dinikahinya selama 23 tahun itu untuk duduk dihadapannya dan mendengarkan apa yang akan dia katakan. Patricia patuh dan duduk di kursi yang ada dihadapan suaminya.
"Pat, kamu tahu keluarga The Knight? Aku punya hutang budi pada keluarga mereka. Ketika perusahaanku di ambang kehancuran, Phil menginvestasikan uang yang sangat besar pada perusahaanku dan perusahaanku kembali stabil bahkan berkembang pesat sampai saat ini. Sekarang, dia membutuhkan bantuan ku untuk mengijinkan salah satu anakku untuk menikah dengan salah satu anak laki-lakinya. Karena istrinya yang sedang sakit keras dan ingin segera melihat anaknya menikah." Ujar Jerry menghentikan ceritanya untuk sejenak.
"Lalu? Kamu menyarankan Aubrey untuk menikah dengan salah satu anaknya?" Patricia bertanya untuk memastikan. Jerry mengangguk dan menghela napasnya lagi.
"Apakah Aubrey setuju dengan keputusan ini?" Patricia bertanya lagi.
"Tidak. Dia masih ingin bekerja dan tidak mau menikah secepat ini." Jawab Jerry sambil menatap lesu langit-langit diruang bacanya.
"Seperti apa lelaki yang akan dinikahi dengan Aubrey?" Patricia berkata setelah terdiam beberapa saat.
"Liam, anak bungsu mereka. Dia agak berbeda dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Dia … agak … kurang cerdas, tidak tertarik dunia bisnis seperti ayah dan kedua kakaknya, hanya seorang pelukis, dan tidak pernah dekat dengan perempuan manapun." Ujar Jerry. Jerry pernah bertemu dengan Liam sekali ketika dia berkunjung kerumah Phil untuk membahas rencana pernikahan anak mereka masing-masing.
"Pantas saja Aubrey tidak suka. Coba kalau tampan dan sangat gagah, dia pasti tidak menolak, cih!" Ujar Patricia dengan seringai sinisnya.
"Justru aku rasa dia paling tampan dibandingkan kedua kakaknya." Sahut Jerry.
"Oya? Tapi kenapa Aubrey tidak suka?" Tanya Patricia lagi.
"Seperti yang aku bilang, Aubrey masih ingin bekerja dan tidak memikirkan untuk menikah secepat ini." Jawab Jerry.
"Bolehkah aku tawarkan pada Chesa? Mungkin saja Chesa berminat." Patricia merasa ini kesempatan baik untuknya memiliki keluarga kaya raya seperti The Knight untuk anaknya, Chesa. Soal kepintaran itu bisa dibicarakan nanti. Yang penting anaknya bisa masuk menjadi keluarga besar The Knight.
"Boleh saja kalau Chesa berminat. Bukankah dia masih kuliah? Bahkan kuliahnya pun belum selesai." Jawab Jerry. Chesa adalah anak yang terlalu dimanja sehingga dia kurang mandiri sejak kecil. Terlalu banyak bermain bersama teman-temannya dan tidak fokus dengan kuliahnya sehingga belum selesai juga setelah 6 tahun kuliah.
"Aku akan coba meyakinkannya. Serahkan saja padaku." Patricia tersenyum senang. Seolah-olah kemenangan sudah ada didalam genggamannya. Kapan lagi punya kesempatan untuk masuk kedalam keluarga konglomerat kalau bukan karena menikahkan Chesa? Pikir Patricia.
"Baiklah, aku serahkan padamu. Aku mau keputusannya malam ini juga paling telat. Besok aku mau bertemu Phil untuk membicarakan rencana selanjutnya." Sahut Jerry dengan senyum dipaksakan. Dia tidak yakin Chesa akan mau, mengingat karakternya yang masih senang hura-hura.
Patricia keluar ruangan dan menelpon anak kandung satu-satunya itu.
"Chesa, kamu dimana? Segera pulang. Ada yang ingin mami beritahukan padamu. Ini sangat penting untuk kelangsungan hidup kita." Bisik Patricia lewat telpon kepada anaknya. Tanpa disadarinya, Aubrey mendengar percakapan tersebut dari balik dinding dapur.
"Huh, kita lihat saja nanti siapa yang lebih pantas untuk menjadi bagian keluarga The Knight! Dasar anak tidak tahu diri, nikmati saja pekerjaanmu dengan gaji yang tidak seberapa itu." Patricia mengutuk Aubrey dengan wajah sinisnya. Sementara Aubrey menyeringai mendengar ucapan ibu tiri yang tidak pernah menyukai dirinya sejak menginjakkan kaki dirumah ini. Aubrey tidak peduli dengan harta kekayaan milik orang lain. Baginya, dia bisa mendapatkan apa yang dia mau dengan mengandalkan kemampuannya sendiri, tanpa harus bergantung pada orang lain.
Aubrey pun keluar dari dapur setelah meletakkan gelas kosong yang sudah diminum habis isinya. Patricia yang tidak menduga ada Aubrey didalam dapur, melebarkan matanya berharap gadis ini tidak mendengar apa yang dikatakannya barusan. Aubrey tersenyum tipis sambil melewat ibu tirinya.
"Bos, apakah kamu akan ke kedai kopi sore ini?" Liza, salah seorang pegawai Aubrey di kedai menelponnya.
"Ada apa? Apakah ada masalah disana?" Aubrey yang baru saja masuk kamar untuk mandi, mengurungkan niatnya.
"Tidak ada, semua baik-baik saja. Hanya saja, aku dan Christin heran, kenapa pengunjung hari ini banyak sekali tidak seperti biasanya. Bahkan ada sekumpulan pria berjumlah 6 orang yang memesan minuman berkali-kali." Jawab Liza dengan nada tergesa-gesa.
"Baiklah, aku kesana setelah mandi dan ganti baju. Aku baru sampai rumah setelah mengajar." Aubrey segera menutup telponnya dan menuju kamar mandi. Rencananya untuk mandi berendam di bath tub harus di tunda sampai nanti malam sepulang dari kedai kopi.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk Aubrey mandi dan berpakaian kembali. Ketika dia menjadi seorang dosen, pakaiannya akan sangat formal. Namun, ketika dia berada di kedai kopinya, Aubrey akan berpenampilan santai bahkan terlihat lebih mirip seorang mahasiswa dibandingkan seorang dosen.
"Bagaimana? Semua aman kan?" Aubrey yang datang dengan mengenakan kaos lengan pendek agak longgar dan celana panjang jeans, tampak tidak jauh berbeda dengan dua karyawannya padahal jarak usia mereka adalah lima tahun. Aubrey melihat pengunjung malam ini memang sangat banyak daripada biasanya. Mereka yang datang bergerombol dengan teman-teman mereka. Beruntung tidak ada kerusuhan dan semua pun membayar dengan tertib.
"Semua baik-baik saja, bos. Maafkan kami yang meminta bos datang ke kedai malam ini." Ucap Christin dengan wajah bersalahnya.
"Tenang saja, akupun lebih suka disini daripada dirumah. hehe …" Jawab Aubrey sambil tertawa ringan.
"Hai, aku mau pesan kopi dan roti untuk dimakan disini, boleh?" Seorang pria berwajah tampan dengan rambut perak, datang dari arah belakang Aubrey yang masih berdiri didepan meja kasir.
"Oh maaf … silahkan …" Kalimat Aubrey terhenti sejenak ketika mengetahui siapa yang ada dibelakangnya.
"Hai, kita berjumpa lagi. hehehe …" Sungguh pria ini sebenarnya tampan kalau dia diam. Saat dia berbicara justru terlihat betapa lebih mirip seperti orang penderita keterbelakangan mental dan tidak percaya diri. Christin yang menjadi kasir tersenyum kaku melihat pria didepannya.
"Christin, layani tamu dengan baik. Aku mau kedalam dulu." Aubrey mengacuhkan sapaan dari Liam dan masuk kedalam untuk mengambil celemek dan ikut melayani pembeli.
"Oh iya oya maaf. Tuan ingin pesan apa?" Christin bertanya dengan lembut dan sopan.
"Aku ingin pesan cappuccino dan roti apa saja bebas." Jawab Liam sambil tersenyum takut-takut.
"Baik, semuanya tujuh belas dollar." Ucap Christin, matanya tidak lepas mengamati pria dihadapannya sambil mencatat orderan dan mempersiapkannya sendiri.
"Ini uangnya. Ambil saja kembaliannya." Ucap Liam lagi.
Christin membungkus minuman dan roti kedalam paper bag yang telah disiapkan. Liam sesekali melirik kedalam, berharap calon istrinya itu akan keluar dan menemui dirinya kembali.
"Terima kasih." Ucap Liam. Pria dengan rambut perak itu pun mencari meja yang kosong dan menemukannya di pojok dengan dua kursi yang telah ditinggalkan pengunjung sebelumnya dan sudah dibersihkan oleh Liza.