"Terima kasih." Ucap Liam. Pria dengan rambut perak itu pun mencari meja yang kosong dan menemukannya di pojok dengan dua kursi yang telah ditinggalkan pengunjung sebelumnya dan sudah dibersihkan oleh Liza.
"Ada perlu apa kamu kesini?" Aubrey yang selesai berganti seragam menjadi seperti pelayan kedai kopi, menghampiri Liam yang baru saja duduk di kursi yang ada didepannya.
"Aku hanya ingin minum kopi dan makan roti disini. Apa tidak boleh?" Liam duduk dengan senyum merekah di bibirnya.
"Huh, memangnya dirumahmu yang kaya raya itu tidak ada kopi dan roti?" Sindir Aubrey pada pria yang bertingkah takut-takut seperti anak-anak itu.
"Hehe tentu saja ada. Tapi aku lebih suka menikmati kopi disini, di kedai milik istriku." Ujar Liam yang membuat Aubrey melebarkan matanya.
"Kamu jangan bicara yang tidak-tidak. Kalau orang mendengar, nanti disangkanya aku sudah menikah. Huh." Dengus Aubrey pada Liam.
"Tapi, memang kamu adalah calon istriku. Kita akan menikah segera." Jawab Liam tanpa ragu.
"Dengarkan aku, aku sudah bilang pada ayahku untuk menolak rencana pernikahan ini. Aku masih ingin mengajar dan bekerja. Aku belum mau menikah untuk saat ini. Kalau kamu terburu-buru ingin menikah, masih ada adikku yang lebih cantik dan lebih seksi dariku." Ujar Aubrey dengan pandangan sinisnya pada Liam.
Liam kaget mendengarnya. Jadi perempuan ini ingin melepaskan perjodohan ini. Tidak, aku tidak ingin menikah dengan Chesa yang kekanak-kanakkan dan sering berganti teman kencan. Batin Liam berkata.
"Oh begitu, selain karena masih ingin bekerja dan mengajar, alasan apa lagi yang membuatmu tidak ingin menikah denganku? Apakah … karena aku … bukan pengusaha dan tidak sempurna seperti kedua kakakku?" Liam berkata dengan suara pelan.
Aubrey memicingkan matanya. Bukan karena status dan penampilan Liam yang membuat Aubrey tidak ingin menikahinya, tapi memang karena dia tidak ingin terikat dengan status pernikahan saat ini. Aubrey masih ingin melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi agar bisa menjadi professor dan menjadi rektor kampus. Aubrey masih ingin kedainyanya memiliki banyak cabang dimana-mana. Terlalu banyak impian yang ingin dia raih dan itu akan sangat terhambat jika dia menikah.
"Benarkah? Kamu diam berarti benar. Huh, baiklah. Aku tidak akan memaksa seorang perempuan untuk menjadi istriku. Tapi, aku juga menolak jika adikmu yang akan dinikahkan denganku." Pria dengan rambut perak itu berjalan sambil menundukkan wajahnya dan meninggalkan Aubrey yang masih diam membisu dengan pikirannya yang bercabang.
"Huh, bukan itu maksudku. Tapi, kalau itu membuatmu pergi dariku dan aku terbebas dari perjodohan ini, maka ada bagusnya juga jika kamu berpikir begitu." Gumam Aubrey. Tanpa sungkan lagi, pemilik kedai kopi itu membersihkan kopi yang baru diminum sedikit dan roti yang belum dimakan sama sekali oleh pelanggan yang juga merupakan pria yang dijodohkan untuknya. Aubrey melihat ke arah Liam pergi dan perasaannya sedikit menyesal karena telah menyakiti hati pria sepolos dia. "Ah sudahlah, setidaknya aku bisa terbebas dari perjodohan ini.
"Siapa dia, bos? Sepertinya kamu mengenalnya." Liza yang baru selesai membersihkan meja yang ditinggal pelanggan, menghampiri Aubrey yang membawa nampan berisi bekas makanan dan minuman Liam.
"Bukan siapa-siapa. Kalian sudah pada makan?" Aubrey berusaha mengalihkan perhatian Liza, karyawannya dari pertanyaan tentang pria dengan rambut perak.
"Sudah bos. Tadi aku dan Christin bergantian menjaga kasir. Kalau pelanggan sebanyak ini setiap malam, kami lebih semangat lagi bekerja." Jawab Liza sambil tersenyum ceria.
"Iya, doakan saja yaa kedainya selalu laris manis dan kalian bisa naik gaji." Aubrey mencubit pipi Liza yang chubby menggemaskan.
"Aduh, bos bisa saja. Aku bisa bekerja disini saja sudah beruntung sekali. Mana ada yang mau mempekerjakan mahasiswa yang belum selesai kuliah." Jawab Liza dengan wajah sendu.
"Makanya kalian cepat-cepat kuliahnya biar segera wisuda dan mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan dengan gaji lebih besar." Jawab Aubrey yang dibalas dengan senyuman sendu mereka. Dua gadis ini sangat suka kerja di kedai kopi milik Aubrey karena Aubrey bukan hanya seorang bos tapi juga kakak untuk mereka yang selalu siap membantu dengan tenaga, materi, juga saran-saran bila diperlukan.
Waktu tidak terasa semakin malam. Aubrey dibantu dua karyawannya bersiap-siap untuk menutup kedai kopi mereka. Aubrey tidak ingin membuka tokonya sampai malam karena dua karyawannya perempuannya akan sangat beresiko kalau pulang malam sendirian. Rumah mereka berjauhan satu sama lain jadi mereka akan berpisah di tengah jalan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aubrey meninggalkan kedai paling terakhir karena ada yang tugas mengajar yang ingin dia kerjakan di kedai saja daripada dirumah yang selalu ramai dengan teriakan dan rengekan Chesa.
"Masih belum pulang?"
"ASTAGA! Kamu!" Aubrey merasa jantungnya terlepas dari tempatnya ketika Liam muncul dan menegurnya tiba-tiba. "Bisa tidak kamu membunyikan bel sebelum masuk?" Dengan sorot mata tajam dan berkilat-kilat, Aubrey ingin rasanya menelan pria dihadapannya ini bulat-bulat.
"Aku sudah menekannya tapi tidak ada jawaban dari dalam." Jawab Liam dengan wajah memelasnya.
"Huft, baiklah baiklah. Sekarang kamu mau pesan apa? Kopi cappuccino dengan roti apa saja?" Aubrey lupa kalau dia sedang mendengarkan lagu dengan memakai headset, sehingga tidak mendengar bunyi bel orang datang yang dinyalakan hanya jika malam tiba.
"Aku tidak ingin pesan apa-apa. Aku hanya ingin menemanimu disini sampai pulang." Jawab Liam dengan senyum khasnya yang malu-malu takut. Kadang Aubrey berpikir sebegitu galaknya kah dia sehingga pria ini selalu merasa ketakutan bila berbicara dengannya? Atau memang karakter dia yang seperti ini?
"Maaf, tapi aku tidak perlu ditemani. Aku sudah biasa pulang malam tanpa ada yang menemani." Jawab Aubrey dengan cuekny.
"Wah, istriku ternyata sangat pemberani. Bagaimana mungkin aku mau menggantimu dengan perempuan yang manja dan kekanak-kanakkan?" Jawab Liam sambil tersenyum tersipu malu.
"Hai, siapa namamu?" Aubrey menghela napas menahan emosi dihatinya.
"Liam, William Knight." Jawab Liam terbata-bata dengan wajah menunduk.
"Ya, Liam. Sekali lagi kamu berkata istriku istriku, aku akan sumpal mulutmu dengan lakban." Jawab Aubrey gemas.
"Oh, maafkan aku. Aku hanya suka saja mengatakan itu." Jawab pria yang sebenarnya tampan itu dengan wajah tertunduk lesu.
"Seharusnya kamu perlu mengkhawatirkan dirimu sendiri. Tidak perlu mengkhawatirkan aku yang sudah terbiasa pulang malam. Ibumu pasti menunggu dirumah." Ujar Aubrey.
"Tidak apa, ibuku tahu kalau aku tidak akan bisa pergi jauh kemana-mana." Jawab Liam sambil tersenyum tipis. Aubrey membalasnya dengan memutar kedua bola matanya. Fyuh, anak mami. Bagaimana mungkin aku yang mandiri kelak setelah menikah malah harus mengurus suami yang seperti anak kecil, bodoh, dan lugu.
"Aku akan pulang sekarang. Sebaiknya kamu pulang juga. Sudah jam 10 malam. Jalanan sudah gelap." Jawab Aubrey.
"Baiklah, mau aku bantu menutup toko?" Liam pun berdiri dari duduknya dan menawarkan bantuan dengan postur tubuhnya yang tinggi menjulang.
"Tidak, terima kasih." Ujar Aubrey. Perempuan dengan rambut panjang pirang keemasan tersebut menggulung rambutnya ke atas hingga leher putih jenjangnya tampak terlihat jelas. Aubrey mengangkat kursi pengunjung ke atas meja dan membaliknya. Liam mengikuti dan membantunya dengan gerakan lebih cepat dan gesit. Aubrey melihatnya sambil mengerucutkan bibir. Tangan berotot pria itu tersembunyi dibalik wajahnya yang lugu.
"Terima kasih, sekarang aku mau pulang." Jawab Aubrey sambil mengambil laptop dan memasukkannya kedalam tas punggungnya.
"Aku antarkan pulang." Liam menawari calon istrinya itu bantuan untuk mengawal sampai rumah. Namun Aubrey malah merasa dia yang akan kerepotan jika harus berjalan bersama Liam yang bertampang seperti anak-anak itu.
"Tidak usah, terima kasih. Aku membawa mobil sendiri." Jawab Aubrey tanpa harus bersikap kasar karena telah menolak bantuan lainnya dari pria yang seperti berusaha ingin mengenalnya lebih jauh.
"Baiklah kalau begitu, hati-hati dijalan." Jawab Liam dengan wajah polosnya.
"Ya, terutama kamu." Aubrey masuk kedalam mobilnya dan meninggalkan kedai kopi yang akan didatangi kembali besok pagi. Sekilas matanya melihat sosok pria jangkung itu masih berdiri didepan kedai kopi miliknya sambil menatap dirinya melepas kepergiannya.
"Tuan, kita pulang sekarang?"Noah, supir sekaligus ajudan pribadinya yang sangat dia percaya, menunggu majikannya sejak tadi didalam mobil yang bersembunyi diujung jalan.
"Tentu saja." Jawab Liam dengan senyum puasnya karena malam ini dia bisa berbicara lebih lama dengan Aubrey, calon istrinya.
"Tidak mama, aku tidak mau menikah dengan pria penyakitan, culun, dan idiot itu! Mama nikahkan saja dia dengan Aubrey. Aku hanya mau menikah dengan Martin, anak pertama keluarga Knight!" Chesa berteriak histeris saat dirinya diberitahu harus menikah dengan Liam Knight, anak bungsu keluarga Knight yang memiliki banyak kekurangan dibandingkan kedua kakaknya, Martin Knight dan Jason Knight.
Aubrey yang sudah datang sejak tadi dan sedang berada di dapur, mendengarkan semuanya dengan perasaan gamang. Ternyata Chesa bukanya tidak mau menikah, tapi hanya tidak mau menikah bila calon suaminya adalah Liam.