"Terima kasih," Haru mengulurkan lembaran uang kertas kepada supir taksi yang ia tumpangi sebelum akhirnya melangkah turun dari mobil di depan gedung apartemennya. Bunyi burung yang berdecit di pagi hari menyambut kedatangannya ketika menginjakkan kaki turun. Ia merogoh isi tasnya sambil berjalan menaiki tangga menuju pintu apartemennya sambil berdumal, "Ugh, kenapa semua benda menghilang saat dicari?"
"Mungkin kau begitu sibuk sampai melupakan fakta kalau kau meninggalkan kunci rumahmu padaku?"
Suara itu. Haru mengerjap kemudian mengangkat wajah ke arah pintu apartemennya yang kini dihalangi sosok pria yang berdiri menjulang, menatapnya dengan alis berkerut, marah. Haru menelan ludah sebelum menjawab, "Y-ya, aku lupa memberitahumu kalau aku dapat shift malam."
"Tidak," sela Ryu sambil berjalan mendekat pada Haru dengan langkah cepat. "Kau tidak ada di sana semalam. Kau pikir aku tidak akan mendatangi tempat kerjamu saat kau tidak bisa dihubungi selama hampir 24 jam?"
Haru mencoba membalas tatapan Ryu yang kini memandangnya lurus-lurus. Tatapan itu begitu tajam, begitu menusuk dan agak menakutkan bagi Haru yang tingginya hanya mencapai bahu Ryu.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ryu setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam.
"Ayahku dirawat di rumah sakit. Aku harus berada di sana semalaman." Haru mencoba menjelaskan sambil berjalan menuju pintu apartemennya. Kemudian ia berbalik sambil mengulurkan sebelah tangan pada Ryu, "Berikan kunciku."
Ryu masih mematung, melupakan fakta kalau sebelah tangannya yang tidak dibebat sedang mencengkeram kunci apartemen Haru sekuat tenaga di dalam saku celananya. Upaya itu begitu payah dibanding dengan perasaannya yang berkecamuk di dalam dirinya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Ryu melemahkan cengkeraman tangannya lalu mengulurkan kunci apartemen kepada Haru.
Haru membuka pintu kemudian menepi sambil menyahut, "Masuklah, udara agak dingin pagi ini."
Ryu menuruti ucapan Haru. Ia berjalan masuk, melepaskan sepatunya sambil lalu kemudian duduk di balik meja kotatsu di ruang tamu sementara Haru memanaskan air untuk dua cangkir teh. Haru hanya bisa berdiri memunggungi Ryu yang duduk menghadapnya. Rasanya begitu aneh, merasakan serangan aura menakutkan dari balik bahunya. Haru bisa merasakan Ryu memelototinya dengan tajam bahkan tanpa memutar badan. Ia menggigit bibirnya cukup kuat saat menuangkan air mendidih ke dalam cangkir teh.
Haru meletakkan nampan plastik berisi cangkir di atas meja kotatsu lalu duduk bersimpu di hadapan Ryu yang kini menatap permukaan meja dalam diam. Ryu tak bergeming, tatapannya kosong dan tak berekspresi. Sinar kecemasan yang membara di matanya mendadak lenyap dan tiba-tiba saja Haru jadi merasa bersalah.
Lima menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu dalam keheningan. Haru mengerutkan keningnya lalu memberanikan diri menatap Ryu. "Katakan sesuatu. Kau membuatku takut."
"Aku sedang berusaha," jawab Ryu pada akhirnya. "Aku sedang berusaha untuk mencari tahu apa yang kurasakan saat ini."
"Apa maksudmu?"
Tatapan Ryu masih terpaku pada permukaan meja di hadapannya saat menarik napas dalam-dalam dan menjawab, "Aku berusaha mengerti mengapa aku begitu marah saat kau tidak menjawab teleponku. Mengapa aku merasa lega dan begitu ingin memelukmu saat melihatmu baik-baik saja, tidak terluka... tidak celaka... tidak seperti apa yang kutakutkan, apa yang kubayangkan semalaman."
"Kupikir kau begitu sibuk dengan kencanmu jadi aku tidak ingin mengganggu." Haru langsung menyesali ucapannya yang tidak dapat ditarik lagi.
"Aku begitu ingin tahu kenapa kau menyebutnya kencan?" tanya Ryu, kali ini menengadah sambil melipat tangan di atas meja.
"Sepasang pria dan wanita yang pergi berkeliling Tokyo sambil bersenang-senang itu disebut berkencan. Bukankah sudah jelas?"
"Jadi menurutmu aku bersenang-senang?" Ryu mengangkat kedua alisnya, heran. "Memikirkan apa yang sedang kau lakukan, apa makan siangmu, bertanya-tanya tempat macam apa yang harus kudatangi bersamamu sebagai kencan pertama kita nanti. Aku tidak bisa benar-benar bereaksi pada setiap ucapan Yui karena apapun yang dia katakan, aku hampir gila karena membayangkan Yui adalah kau! Dan ketika akhirnya pertemuan yang kau sebut 'kencan' itu berakhir, aku langsung menghubungimu karena hal pertama yang ingin kulakukan setelah satu hari yang menyiksa adalah melihat wajahmu. Lalu kau tidak dapat dihubungi sampai pagi ini. Menurutmu itu menyenangkan? Apakah aku terlihat seperti bersenang-senang?"
Haru dapat melihat Ryu mengeraskan rahang di akhir kalimatnya. Ini adalah kali pertamanya melihat Ryu menatapnya seperti itu; kedua mata yang memancarkan perasaan yang berapi-api. Perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Namun, Haru yakin betul apa yang ia dan Ryu rasakan saat ini. Karena itu ia menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk keputusan yang telah ia buat.
"Aku... sepertinya aku menyukaimu, Ryu." Haru mengalihkan pandangannya, memandang permukaan lantai apartemennya setelah ia berhasil mengatakannya. "Sepertinya begitu, karena aku tidak suka melihatmu bersama wanita lain. Dan aku sangat menyukai keberadaanmu."
Haru masih tidak memiliki keberanian untuk mengangkat wajah. Jantungnya yang kini melompat-lompat tak keruan di dalam dadanya membuatnya tidak tenang. Apakah ia harus menyesal karena telah mengatakannya? Atau apakah ia boleh merasa sedikit senang? Haru tidak yakin karena ia belum menemukan keberanian untuk memandang Ryu. Ia tidak ingin melihat bagaimana reaksi Ryu setelah mendengar pengakuannya.
Dan karena tidak terdengar apapun dari seberang sana, Haru kembali melanjutkan, "Ada banyak hal yang terjadi padaku. Begitu banyak yang terjadi di dalam kepalaku. Aku harus menyelesaikan semuanya untuk bisa melangkah padamu. Dan aku tidak yakin apakah kau masih akan ada di sini saat semuanya sudah selesai."
"Apa maksudmu? Aku bersumpah aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kau-,"
"Tidak," sela Haru, akhirnya mengangkat wajah pada Ryu. "Tentu saja bukan itu maksudku. Maksudku, aku akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk fokus pada diriku selama beberapa waktu yang lama. Untuk memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Untuk... melawan rasa takutku."
Haru dapat melihat Ryu perlahan-lahan mengerutkan keningnya, bingung. Otot-otot bahunya yang tegang kini melemah. "Kau sedang berusaha meninggalkanku," celetuk Ryu.
"Apa?"
"Semua kalimat yang berawal seperti "aku menyukaimu, tapi..." atau "bukan kau sumber masalahnya tapi aku..." pasti berujung dengan perpisahan. Dan itu sedang terjadi saat ini."
Haru mengerutkan alisnya, bingung. "Kenapa kau begitu yakin?"
Oh, Ryu sangat yakin. Ia begitu mengetahuinya karena ia sendiri menggunakan kalimat-kalimat itu untuk menolak belasan gadis yang mengiriminya surat cinta sewaktu SMA. Tapi, tentu saja Haru tidak perlu tahu tentang itu. "Karena kau terdengar seperti itu," jawab Ryu.
"Menurutmu aku mau mengakhiri sesuatu yang bahkan tidak sempat dimulai?"
"Lalu kenapa tidak memulainya sekarang? Bukannya melarikan diri seperti ini." Suara Ryu kehilangan tenaganya.
"Aku tidak sedang berusaha melarikan diri," balas Haru lalu menggigit bibirnya dengan kuat. "Aku justru berusaha untuk mengobati lukaku. Aku harus melakukannya agar aku bisa kembali kepadamu sebagai seseorang yang utuh. Aku ingin mencintai seseorang dengan keadaan hati yang tidak terluka. Kuharap kau mengerti."
"Kalau begitu kenapa kau tidak melakukannya bersamaku?"
"Aku tidak bisa melakukannya bersamamu, Ryu." Haru menekankan lalu mengalihkan pandangannya untuk kesekian kalinya. "Bagaimana aku bisa mengobati lukaku kalau setiap saat aku melihatmu, aku melihat bayangan lelaki yang mencengkeramku dari belakang dan menutup mulutku dengan kuat dalam kegelapan? Setiap saat aku ingin menyentuhmu, aku selalu berdebat dengan diriku sendiri tentang apa yang akan kau lakukan pada tubuhku; apakah kau akan melukaiku seperti lelaki brengsek itu atau apakah kau akan melakukan sesuatu yang tidak terduga? Aku tidak tahu. Aku ingin mencintaimu tapi aku tidak mau merasa mau mati karena tidak bisa melawan isi pikiranku yang kacau."
Haru akhirnya membiarkan air matanya menetes, jatuh membasahi permukaan wajahnya. Isakan tangisnya berubah menjadi guncangan yang cukup hebat ketika ia tak lagi bisa membendung perasaannya. Dan tepat saat itu, Ryu berlari ke sisi Haru, melingkarkan sebelah lengannya yang bebas di bahu Haru dan memeluknya dengan erat.
Ryu dapat merasakan Haru membenamkan wajah dalam pelukannya. Jeritan tangis Haru yang terpendam dalam dadanya membuatnya ingin melakukan sesuatu - apa saja yang dapat menyelamatkan gadis itu dari luka yang menyakitkan. Hatinya begitu sakit mendengar getaran suara Haru. Rasanya ia pun ingin berteriak dengan hebat di suatu tempat yang luas, melampiaskan rasa sakit di dadanya.
Satu-satunya hal yang dapat Ryu lakukan saat ini adalah menerima fakta bahwa semakin kuat ia mencoba menahan Haru, semakin menyakitkan luka yang dirasakan gadis itu. Ia harus menerima fakta bahwa satu-satunya hal yang dapat menyelamatkan Haru saat ini adalah melepaskannya pergi.