Tiga bulan kemudian...
Cuaca hari ini begitu panas. Suara pekikan murid-murid yang sibuk dalam festival olahraga di lapangan sekolah membuat Ryu mengernyit lalu membenamkan wajah pada tumpukan kertas di atas meja kerjanya. Lalu ia dapat mendengar suara Sei yang terkekeh dari meja di sebelahnya. "Masih belum bisa melupakannya?"
"Tidak, Sei!" Ryu mengacungkan jari telunjuknya tinggi-tinggi ke udara tanpa mengangkat wajah dari meja. "Aku tidak pernah bilang kalau aku mau melupakannya. Dia sudah berjanji dia akan kembali dan aku hanya perlu menunggunya."
"Selama berapa lama?"
Di dalam ruangan guru hari ini hanya ada Sei dan Ryu yang membolos dari festival olahraga. Beberapa guru yang lain sibuk menyelesaikan laporan di ruang kepala sekolah dan berpartisipasi di lapangan. Dan suasana itu begitu mendukung Ryu untuk bisa menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa minggu terakhir kepada Sei.
Ryu memberitahu tentang Haru, bagaimana ia bertemu dengan gadis itu dan berpisah saat masih berumur delapan tahun lalu bagaimana takdir mempertemukan mereka kembali setelah belasan tahun. Tentang Kenta dan Haru, dan bagaimana Haru berbohong tentang hubungan mereka. Ryu menceritakan semua yang terjadi kepadanya beberapa bulan yang lalu. Semua kecuali beberapa hal.
Ketika ditanya bagaimana perasaannya setelah Haru pergi, Ryu hanya berkata kalau ia baik-baik saja. Tidak merasakan apapun, tidak bisa mencerna pikirannya. Sei tidak tahu tentang fakta kalau ia mengatur layar ponsel agar tidak pernah mati, agar ia bisa selalu tahu kalau ada pesan yang masuk dan kalau-kalau Haru menghubunginya. Ryu tidak bercerita tentang bagaimana ia terbangun selama beberapa jam sekali dalam tidurnya untuk mengecek ponselnya lagi dan lagi, meski ia tahu usahanya itu sia-sia.
Tidak ada yang tahu bagaimana Ryu menangis di bawah pancuran air di kamar mandi, bagaimana ia selalu mengunjungi gedung apartemen Haru setiap akhir pekan, berharap dalam hati kalau Haru akan muncul, berjalan menghampirinya sambil tersenyum.
"Aku tidak tahu," jawab Ryu, lemas.
Sei menghembuskan napas panjang kemudian bangkit berdiri dari kursinya. "Aku hanya bisa bilang, kau sebaiknya tidak menunggu seseorang yang pergi tanpa kepastian. Kau hanya membuang waktumu dengan sia-sia."
Ryu dapat mendengar Sei berjalan menjauh kemudian membuka pintu ruang guru dan menutupnya lagi. Tatapannya terpaku pada permukaan meja kerjanya.
Ia telah bertekad, apapun yang terjadi, ia akan menunggu Haru kembali. Tapi, mengapa ucapan Sei begitu menyentuh? Apakah ia benar-benar sedang membuang waktunya?
Ryu baru saja hendak bangkit dari kursinya ketika pintu ruangan terbuka lagi. Ryu mendongak, kemudian kedua alisnya berkerut bingung saat melihat sosok pria yang berdiri di ambang pintu.
"Kenta?" tanya Ryu sambil berdiri dan mendorong kursinya. "Kau tidak bergabung dengan yang lainnya?"
Tepat saat Ryu hendak berjalan menghampiri Kenta, ia baru menyadari kalau Kenta sedang tidak mengenakan seragam olahraga seperti murid-murid lainnya. Lelaki itu pun tidak mengenakan seragam sekolahnya. "Kau membolos rupanya?"
Kenta menggaruk bagian belakang kepalanya sambil tersenyum, malu. "Eh... anu, ya... begitulah. Ada urusan keluarga yang begitu mendadak."
"Ah, begitu rupanya. Orang tuamu baik-baik saja?" tanya Ryu ketika akhirnya berdiri di hadapan Kenta.
Kenta mengangguk. "Ya, mereka baik-baik saja."
Ryu ikut mengangguk. Kemudian ia menelengkan kepala, "Apa kau mencari seseorang? Semua guru ada di lapangan, beberapa di ruang kepala sekolah."
Kenta mengenakan kemeja lengan pendek bermotif mozaik dengan celana jins panjang yang dipadukan dengan sepatu olahraga. Ia menggantungkan tali ransel di kedua bahunya dan mencengkeramnya erat, seperti bersiap-siap untuk pergi. Pemandangan itu mengundang rasa ingin tahu Ryu.
"Aku datang mencari sensei. Kupikir ini waktu yang tepat untuk bicara... empat mata," ucap Kenta, raut wajahnya tiba-tiba berubah serius.
Ryu mendadak teringat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ia tanyakan sejak lama.
***
Lokasi ruang perpustakaan di sekolah terletak berlawanan dengan lapangan olahraga. Dirancang demikian agar siswa-siswa di sekolah bisa fokus belajar di perpustakaan. Ryu mengajak Kenta ke perpustakaan, karena suara riuh sorakan peserta festival olahraga yang gaduh tak begitu terdengar dari sana. Tempat yang tepat untuk dipakai bicara.
Ryu menyempatkan diri membeli dua kaleng minuman dingin dari mesin penjual otomatis. Ia meletakkan satu di atas meja dan mendorongnya ke hadapan Kenta yang duduk di hadapannya.
"Kupikir kita tidak diperbolehkan untuk-,"
"Boleh, asal kau menyimpan rahasia," sela Ryu sambil tersenyum usil kemudian membuka kaleng minumannya. "Dan jangan menumpahkannya kalau kau tidak mau dimarahi kepala sekolah."
Kenta tersenyum dan mengangguk. Namun ia tidak menyentuh minumannya. Tatapannya tertuju pada lantai ruangan ketika ia berdeham, "Anu, Sensei. Apa Sensei ingat kalau aku pernah memberitahumu soal... kecelakaan yang dialami Haru-san?"
Ryu menegak habis minumannya kemudian meletakkannya di atas meja. Ia menjilat bibir sambil mengangguk lemah. Mendengar nama Haru seperti merasakan tusukan yang tajam di dadanya. Begitu menyakitkan.
"Ya, aku ingat."
"Apa Sensei punya waktu untuk pergi bersamaku ke suatu tempat hari ini?" tanya Kenta, memberanikan diri untuk mengangkat wajah pada Ryu.
"Tentu." Ryu mengangguk, singkat. "Apa aku boleh tahu kemana kita pergi?"
Kenta menggigit bagian bawah bibirnya lalu menelan ludah. Gerakan bola matanya tampak cemas. "E-eh itu... Sensei sebaiknya tidak tahu..."
Ryu bersandar di punggung kursi lalu tersenyum samar. "Baiklah."
"Ini menyangkut seseorang yang menyebabkan kecelakaan itu," tambah Kenta dengan ragu-ragu. Suaranya begitu samar hingga nyaris tak terdengar.
Kalimat itu langsung membuat Ryu mengangkat kedua alisnya, syok. Ia mencondongkan badan ke arah Kenta saat bertanya, "Maksudmu... pelaku kecelakaan itu?"
Kenta menarik wajah sambil mengangguk, takut. "Y-ya."
Seseorang yang menyebabkan kecelakaan yang menyakiti Haru. Kejadian yang merenggut segala harapan gadis itu dan meninggalkan luka yang begitu dalam - luka yang tak kunjung pulih. Kejadian yang memberikan alasan bagi Haru untuk pergi meninggalkannya, membuatnya menunggu tanpa kepastian. Fakta itu membuat Ryu tanpa sadar mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja.
"Baiklah. Temui aku di stasiun bus jam tiga sore," ucap Ryu lalu menarik kursinya dan bangkit berdiri.
"Dia... kakakku."
Ryu sudah setengah jalan menuju pintu keluar ketika mendengarnya. Kedua matanya melebar, kaget. Ia mengerjap, mengerutkan keningnya tidak mengerti, mencoba mencerna apa yang baru saja melintas di telinganya. Ia lalu berbalik pada Kenta, "Apa?"
Kenta tak langsung menjawab. Kepalanya tertunduk selama beberapa saat yang lama sebelum akhirnya menarik napas dan melanjutkan, "Sensei, maafkan aku." Kenta mengangkat wajahnya pada Ryu lalu mengeraskan rahangnya. "Orang itu... pelakunya adalah kakakku."