Tujuh bulan setelahnya...
"Apa?! Kau sudah membeli tiketnya?!" Ryu bangkit dari meja kerjanya dan mencondongkan wajah kepada Kenta yang kini duduk di hadapannya.
Kenta menarik wajah sambil tersenyum kaku. "Ya. Aku sepertinya sudah memberitahu Sensei kalau aku diterima di NYU."
"Wah, aku tidak percaya. Maksudku, kupikir persaingan di sana cukup ketat. Orang Amerika saja harus bersaing demi mendapatkan surat penerimaan dari kampus itu. Kau... wah, Ueda! Kau lebih hebat dari yang kupikirkan." Ryu menepuk tangan dengan cukup nyaring lalu bangkit berdiri dan berseru, "Dia muridku, semuanya! Ingat wajahnya baik-baik. Ueda Kenta!"
Beberapa guru yang ada di ruang guru menggelengkan kepala sambil tersenyum bangga. Beberapa di antaranya ikut bertepuk tangan dengan keras. Salah satunya adalah Sei, yang menghampiri Kenta dan menepuk bahunya. "Hebat, Ueda. Jangan lupakan kami saat kau sudah sukses nanti, ya."
"Ya," timpal Ryu. "Kau bisa mentraktir kami minum bir kalau pulang ke Jepang."
"EHM!!! Tanaka Sensei!"
Ryu, Kenta dan Sei berpaling pada seorang guru wanita paruh baya yang mendelik ke arahnya, menegur tanpa bersuara. Ryu mengucapkan permintaan maafnya tanpa suara. Ia lalu kembali menoleh pada Kenta, "Jadi kau akan berangkat ke Amerika bulan depan?"
Kenta menggeleng, "Tidak. Tahun ajaran di sana mulai di musim gugur. Jadi, aku masih punya beberapa bulan untuk menyiapkan diri."
"Bagus. Gunakan waktumu dengan baik." Ryu tersenyum lalu membersihkan meja kerjanya ketika Kenta berdeham.
"Sensei? Apa... Sensei sibuk akhir pekan ini?"
Pertanyaan yang diajukan Kenta membuat Ryu mengangkat kedua alisnya, bingung. "Seingatku aku tidak punya janji. Ada apa?"
"Ah... anu...," Kenta menggigit bibir, mengalihkan pandangannya sambil mengusap bagian belakang lehernya. "Sebagai perpisahan dengan teman-teman seangkatan, kami akan pergi ke taman Ueno untuk melihat bunga sakura. Dan, kami berharap Sensei bisa ikut bersama kami kalau tidak sibuk."
Ryu tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengangguk dan mengendikkan bahu, "Tentu. Kalau begitu, bagaimana kalau aku temui kalian di sana?"
Kenta mengerjap kemudian tersenyum lebar. "Jam 12 siang! Jangan terlambat, Sensei."
Ryu terkekeh, "Kalian mau aku mentraktir makan siang? Oke, oke. Aku tidak akan terlambat."
Senyum Kenta kini mengembang lebih lebar. Lalu ia bangkit berdiri dan bersiap-siap pergi.
"Kau sudah memberikan kancing kemejamu pada seseorang?"
Ryu menoleh pada Sei yang tiba-tiba berjalan menghampiri Kenta.
Kenta dapat merasakan wajahnya memanas ketika mengangguk samar dan menjawab, "Be-begitulah."
"Kepada Kotomi? Adik kelas yang menyatakan perasaannya padamu itu?"
Kenta menelan ludah dan menggeleng dengan gugup kepada Ryu. "Tentu saja bukan!"
"Lalu pada siapa?"
"Pada orang pertama yang memintanya," jawab Kenta singkat.
Ryu bersandar pada punggung kursinya sambil mendecakkan lidah. "Kau tidak seharusnya memberikan kancingmu kepada sembarang orang. Kau tentu tahu 'kan, mengapa para gadis itu meminta kancing kemejamu saat kelulusan?"
"Karena letaknya yang berdekatan dengan hati?"
Ryu menjentikkan jari dengan semangat. "Tepat! Dan dengan memberikannya, itu sama saja dengan memberikan hatimu kepada mereka."
"Pfft!"
Ryu mendelik saat mendengar Sei menyemburkan tawa. "Apa?"
"Kau berlebihan," jawab Sei sambil menggeleng-geleng.
"Oh, ya? Apa kau memberikannya kepada seseorang saat kelulusan?"
Sei menggeleng, "Aku membuangnya bahkan sebelum pesta kelulusan dimulai. Tapi aku mendapatkan belasan pasang kancing dari teman-teman wanitaku saat itu."
Kenta tertawa lalu berpaling pada Ryu. "Bagaimana dengan Tanaka Sensei? Siapa orang istimewa yang menerima kancingmu?"
Ryu hanya tersenyum, "Rahasia. Sekarang, bergabunglah dengan teman-temanmu. Kau mungkin baru saja menyelesaikan perjalanan panjangmu di SMA, tapi guru-gurumu ini masih terjebak di sini sampai setidaknya sepuluh tahun ke depan."
"Aku tidak akan bekerja selama itu di sini," timpal Sei.
Kenta bangkit berdiri kemudian membungkukkan badan, tanda hormat. "Terima kasih banyak, Sensei. Sampai bertemu lagi."
Sepeninggal Kenta, Sei mengambil alih kursi di depan meja kerja Ryu kemudian bersedekap dan menyeletuk, "Jadi? Sudah ada kabar?"
Ryu tak perlu bertanya apa maksud pertanyaan Sei saat mendengarnya. Ia dan Sei begitu sering membicarakan hal - atau lebih tepatnya orang - yang sama akhir-akhir ini sehingga ia tahu persis siapa yang sedang dibicarakan tanpa harus menuntut penjelasan.
"Kalau aku sudah mendapatkannya, bukankah seharusnya wajahku tampak lebih bersinar?"
Sei menghela napas, "Yah, benar juga. Bukankah sekarang sudah waktunya untuk... kau tahu, melupakannya dan menjalankan hidup baru? Satu tahun waktu yang cukup lama."
Biasanya, Ryu selalu punya alasan yang tepat untuk menyangkal setiap perkataan Sei. Tapi entah mengapa hari ini ia kehilangan kalimat-kalimat itu. Ia mulai memikirkan saran-saran serta pendapat Sei yang terdengar begitu masuk akal.
"Entahlah."
"Ini."
Ryu mengerutkan kedua alisnya bingung saat melihat selembar kertas sobek yang diulurkan kepadanya di atas meja.
"Itu nomor sepupuku. Namanya Molly, dia bukan orang Jepang dan aku hanya berkomunikasi dengannya dalam bahasa Inggrisku yang payah. Dan karena kau guru bahasa Inggris, kupikir kau pasti bisa bicara dengannya. Dia sedang datang berkunjung dan kudengar ia akan berada di sini sampai minggu depan," jelas Sei sambil tersenyum senang dan memanggut-manggut.
"Aku tidak mengerti," celetuk Ryu. "Pertama, kenapa kau memberikan nomornya kepadaku? Kedua, bagaimana kau bisa memiliki sepupu yang bukan orang Jepang?"
Sei terkekeh sebelum menjawab, "Pertama, karena aku ingin kau setidaknya mencoba untuk berkenalan dengan wanita lain. Kedua, ibuku yang berasal dari Indonesia memiliki adik perempuan yang menikah dengan pria Inggris yang kemudian melahirkan Molly."
"Ibumu orang asing?"
Sei tersenyum sambil mengangguk, "Menurutmu bagaimana aku bisa mendapatkan wajah setampan ini?"
"Wah, luar biasa." Ryu menggeleng, tidak percaya. Kemudian ia melirik selembar kertas yang kini tergeletak di atas meja dan mengerang, "Tapi, aku tidak yakin kalau ini ide yang bagus."
"Baiklah, kalau begitu. Tapi, setidaknya pikirkan baik-baik."
Sei bangkit berdiri dan kembali ke meja kerjanya, meninggalkan Ryu yang tertegun memandang nomor telepon yang tertera di atas kertas sambil menopang dagu.
***
Ryu menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya kemudian berjalan memasuki jalan setapak taman Ueno yang kini dikerumuni dengan arus pejalan kaki yang sibuk. Ryu sengaja datang satu jam lebih awal dari janji temu untuk menghindari orang yang berdesakkan tapi sepertinya usahanya tak berhasil.
Pohon-pohon yang tertanam di sepanjang pinggir jalan sudah berbunga. Kelopak-kelopak bunga sakura yang bermekaran memberikan warna merah muda yang indah di sekeliling taman. Tak sedikit kelopaknya yang jatuh berguguran ke tanah. Ryu dapat melihat beberapa turis mengambil foto di depan danau yang terletak di tengah taman. Beberapa orang duduk di bangku-bangku taman di bawah pohon - berbincang sambil mengambil gambar pemandangan taman.
Ryu berdiri sejenak kemudian ia berpaling pada pohon sakura yang terletak tidak jauh di sampingnya. Bangku di dekatnya kosong, Ryu buru-buru mengambil tempat duduk di sana kemudian duduk termenung, mengangkat wajah ke arah pohon di sebelahnya.
Tepat satu tahun yang lalu, ia menikmati pemandangan ini bersama Haru. Merasakan angin musim semi berhembus menyapu wajahnya sambil menatap Haru yang tersenyum menengadah ke atas pohon. Ingatan itu tanpa sadar membuat Ryu tersenyum menatap ruang kosong di bangkunya.
Kemudian ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
Satu tahun berlalu begitu cepat. Apa Haru baik-baik saja? Apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Apa Haru memikirkannya seperti ia tidak bisa berhenti mengingatnya?
"Hey. Excuse me, are you... Ta-na-ka?" Hey. Permisi, apa Anda... Ta-na-ka?
Ryu hampir melompat kaget ketika mendengar suara wanita yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Ia mengerjap, hendak membalas dalam bahasa Jepang ketika ia baru sadar kalau wanita yang berdiri di depannya itu tak seperti orang Asia.
"Ah, yes. Can I help you?" Ah, ya. Ada yang bisa dibantu?
"This may sound silly. But my cousin asked me to meet you here. And he sent me your picture." Mungkin ini terdengar gila. Tapi sepupuku memintaku untuk menemuimu di sini. Dan dia mengirimkan fotomu.
Begitu mendengarnya, Ryu merasakan dorongan yang sangat kuat di dalam dirinya untuk mengerang dan mengutuki Sei.
"Sei is your cousin? And you must be Molly." Sei adalah sepupumu? Dan kau pasti Molly.
Ryu bangkit berdiri kemudian mengulurkan sebelah tangannya pada wanita berambut cokelat yang langsung membalas ulurannya sambil tersenyum. "Pleasure to meet you." Senang bertemu denganmu.
"Pleasure to meet you too. I'm Ryu." Senang bertemu denganmu juga. Aku Ryu.
"Molly."
Ryu mengajak Molly duduk di bangku kemudian tertawa dengan gugup. "Sei tidak memberitahuku kalau aku akan bertemu denganmu hari ini."
"Oh, benarkah? Sebenarnya Sei berjanji untuk mengajakku berkeliling untuk melihat bunga sakura tapi dia tiba-tiba punya urusan mendadak. Lalu ia memberitahuku kalau temannya - kau - yang akan menggantikannya. Ugh, aku tahu dia mengerjaiku."
Ryu tertawa kemudian melirik Molly dari sudut matanya. Kalau diperhatikan cukup lama, Molly rupanya memiliki warna kulit Asia. Tapi mata serta bentuk hidungnya yang tajam membuatnya terlihat seperti orang asing. Namun warna rambut dan matanya begitu gelap, seperti orang Asia. Hmm, penampilannya begitu membingungkan. Ryu belum pernah melihat seseorang berparas seperti Molly sebelumnya.
"Ngomong-ngomong, aku tahu apa maksud Sei melakukan ini. Tapi, kuharap kau tidak kecewa kalau kuberitahu aku sudah punya pacar."
Ryu mengerjap kaget saat mendengarnya. Wah, wanita ini begitu terus terang. Sedikit mengejutkan tapi sangat membantu.
"Kalau begitu aku bisa bernapas lega karena aku juga," kata Ryu sambil tertawa. "Sebenarnya hubungan kami sedang agak rumit. Mungkin karena itu Sei mencoba memperkenalkanku dengan seseorang."
"Ah, aku turut sedih mendengarnya. Kau bisa bercerita padaku. Aku pendengar yang baik. Apalagi aku bisa menjamin kalau kita tidak akan bertemu lagi di masa depan jadi, kau tidak perlu khawatir soal rahasia."
Ryu tersenyum masam kemudian menyipitkan mata sambil berpikir sejenak. Kemudian ia mengangguk dan tersenyum, "Bagaimana kalau kita bicara sambil berjalan keliling taman?"