"Jadi bagaimana kehidupanmu di New York? Bagaimana Naomi?"
Pertanyaan Hana menarik Haru ke masa kini, dimana ia sedang duduk di balik mobil sedan milik ayahnya yang baru saja menjemputnya dari bandara Narita. Hana adalah orang pertama yang menginterogerasinya begitu ia masuk mobil. Haru sedang memandang keluar jendela ketika mendengar kakaknya bertanya untuk kesekian kalinya.
Haru lalu berpaling pada Hana yang duduk di sampingnya lalu tersenyum lebar. "Baik-baik saja. Naomi benar-benar membantuku selama berada di New York. Dia dan tunangannya akan menikah bulan ini tapi kubilang padanya aku tidak bisa memperpanjang visaku lebih lama. Lagipula masa terapiku sudah selesai."
"Syukurlah," Hana tersenyum senang sambil meremas sebelah tangan adiknya. "Bagaimana dengan terapinya? Cukup membantu?"
Haru mengangguk mantap kemudian mengusap permukaan tangan Hana. "Sangat membantu. Aku senang aku memutuskan untuk pergi ke sana."
"Jadi bagaimana perasaanmu sekarang? Dan apa rencanamu?"
"Kau tahu, kau berbakat menjadi terapis. Mungkin kau bisa menggunakannya sebagai rencana cadangan kalau memasak tidak cocok untukmu." Haru mengendus sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Maaf, maaf. Tapi aku benar-benar penasaran. Apa kau tidak bercanda soal... rencanamu untuk pindah ke Kumamoto?"
Pertanyaan Hana membuat ibunya yang duduk di depan menoleh ke belakang. Haru bahkan sempat melihat ayahnya melirik dari kaca spion.
"Benarkah? Kau bisa tinggal di rumah nenek! Itu ide yang bagus!" Suara ibunya yang penuh semangat membuat Haru ikut tersenyum.
"Terima kasih. Tapi, aku masih harus melakukan beberapa hal sebelum memutuskan. Jadi, aku belum yakin." Haru dapat melihat ibunya memanggut, tanda mengerti. Kemudian untuk beberapa saat yang lama, percakapan ibunya dan Hana tentang nenek di Kumamoto dan masa lalu mereka memenuhi seisi mobil sementara lagu-lagu lama berkumandang di latar belakang. Haru menggunakan kesempatan itu untuk memejamkan mata, berusaha untuk istirahat atau setidaknya menghindari hantaman pertanyaan kakaknya yang cukup melelahkan dengan berpura-pura tidur.
Satu tahun berlalu begitu cepat. Haru memilih New York sebagai tempatnya 'melarikan diri' dari situasi yang rumit. Salah satu alasannya adalah karena sepupu jauhnya Naomi Carter lahir dan besar di sana - ia tak perlu merasa asing dan terisolasi di negara yang begitu jauh. Naomi mengajaknya berkeliling New York, mengenalkannya pada budaya-budaya orang Amerika lalu akhirnya pada terapis kepercayaan yang juga menyembuhkan Naomi dari depresi pasca kepergian kedua orang tuanya.
Membicarakan soal luka lama, masa lalu dan bagaimana semuanya terjadi sungguh-sungguh bukan hal yang mudah bagi Haru. Haru menghabiskan beberapa bulan pertama menangis setiap malam, mengunci diri selama berhari-hari. Ia harus menyeret dan memaksa dirinya sendiri untuk kembali ke rumah sakit setiap akhir pekan dan ia bersyukur karena usahanya itu sama sekali tidak sia-sia.
Setelah melewati enam bulan pertama yang begitu menyiksa, Haru dapat merasakan perubahan-perubahan kecil dalam dirinya. Seperti bagaimana ia tak merasakan permukaan tangannya berkeringat resah saat berjalan sendiri malam-malam. Tubuhnya tidak lagi berguncang hebat ketika bersentuhan dengan pria secara tidak sengaja. Haru merasa lega ketika ia bisa bernapas lebih tenang dalam hujan. Kemudian, setelah ia akhirnya melewati beberapa bulan selanjutnya berjalan dengan percaya diri dalam kegelapan, saat itu Haru tahu kalau waktunya untuk pulang telah tiba.
"Jadi?"
Suara Hana membuatnya membuka mata. Haru mengerang dalam hati ketika ia lupa dengan niatnya untuk pura-pura tidur. "Hmm?"
"Jadi, apa rencanamu sebelum berangkat ke Kumamoto?"
Mendengar pertanyaan itu, Haru hanya tersenyum.
***
Keesokan harinya, Haru menggunakan mobil ayahnya untuk mengemudi ke kawasan Shinjuku. Ia telah memesan tempat untuk dua orang di sebuah restoran Itali yang cukup mewah. Dan setelah memarkirkan mobil, Haru memasuki restoran bergaya Eropa dengan desain klasik itu kemudian menunggu kedatangan seseorang di mejanya. Haru sedang mengecek riasan wajahnya di kaca bedak ketika seorang lelaki berjalan menghampiri mejanya. Haru mendongak lalu bertemu pandang dengan lelaki itu.
Senyumannya mengembang saat melihat Ueda Kenta tersenyum kepadanya kemudian membungkukkan badan, tanda hormat. "Senang bertemu denganmu lagi, Haru-san."
Ueda Kenta banyak berubah. Bocah SMA yang menyatakan perasaan kepadanya malam-malam di depan gedung apartemennya itu sudah berubah menjadi lelaki bertubuh tegap dan tinggi. Wajahnya tampak lebih dewasa dengan potongan rambut yang cepak. Sepertinya Kenta lebih giat berolahraga karena Haru dapat melihat otot-otot tubuhnya mengembang. Bagaimana mungkin perubahan yang begitu drastis dapat terjadi dalam kurun waktu satu tahun?
"Aku juga. Duduklah. Kuharap kau lapar karena aku sudah memesan cukup banyak menu untuk makan malam," ujar Haru lalu menarik kursinya saat Kenta duduk di hadapannya.
Setelah meminta pelayan restoran untuk mulai menyajikan makanan, Haru menyeletuk, "Jadi, bagaimana kabarmu, Kenta?"
"Aku baik-baik saja. Sangat baik. Bagaimana denganmu, Haru-san?"
"Aku lebih dari baik-baik saja," balas Haru sambil tersenyum.
Kenta terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Aku tidak mengerti kenapa kau memintaku untuk merahasiakannya dari Tanaka Sensei. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu dan Sensei tapi... aku melihatnya di sekolah setiap hari dan selama satu tahun terakhir, Sensei banyak berubah."
Haru menelan ludah lalu membasahi bibir sebelum menggigitnya kuat-kuat. "Ya... sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kutanyakan soal itu."
Kenta mengangguk pelan. "Aku siap menjawab sebagai satu-satunya cara untuk membayar makan malam yang mahal di sini."
Haru terkekeh samar sebelum berdeham dan membenahi posisi duduknya. "Apa... dia baik-baik saja?"
Kenta menghela napas dan menggeleng pelan. "Aku tidak yakin. Tanaka Sensei terkenal sebagai guru yang riang di sekolah. Seperti matahari. Tapi, akhir-akhir ini dia terlihat lebih murung. Dan aku yakin kaulah alasannya."
Haru merasakan hantaman rasa bersalah yang begitu kuat di dadanya, membuat napasnya hampir tercekat. Namun ia memaksakan seulas senyum samar dan meniup dahi. "Aku ingin tahu apakah saat ini waktu yang tepat untuk menghubunginya. Kau satu-satunya orang yang aku tahu cukup dekat dengannya dan tentu saja, melihatnya setiap hari. Aku tidak mengenal teman-temannya dan aku hanya menyimpan nomor teleponmu jadi..."
"Aku yakin Sensei akan sangat senang melihatmu lagi." Kenta mengangguk sambil tersenyum lemah. "Aku tidak mengerti mengapa kau begitu ragu-ragu, Haru-san."
"Hmm, begitu rupanya." Haru menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Tak berapa lama setelahnya, pelayan meletakkan makanan pembuka di atas meja. Lalu Haru menggigit sudut bibirnya dan bertanya, "Kalau begitu, bisakah kau melakukan sesuatu untukku?"
Kenta mengangkat kedua alisnya dengan rasa ingin tahu.
***
Haru menarik napas yang panjang sebelum akhirnya melangkah turun dari mobil taksi yang berhenti di depan pintu masuk taman Ueno. Ia merasakan angin musim semi yang sejuk berhembus meniup wajahnya ketika ia menginjakkan kaki di trotoar. Haru mengaitkan kancing mantelnya sambil melihat ke sekeliling.
Taman Ueno begitu luas. Pohon-pohon sakura yang bermekaran di sepanjang jalan setapak diramaikan dengan pengunjung taman yang tak terhitung jumlahnya. Orang-orang berdesakan untuk mengambil foto di bawah bunga sakura, beberapa pasangan duduk dengan santai di bangku taman sambil berbincang-bincang. Haru dapat melihat beberapa kelopak bunga sakura jatuh menghujani danau yang luas di jantung taman. Haru meniup dahi, mengumpulkan kekuatan di dalam diri untuk apapun yang akan terjadi beberapa jam ke depan.
Kenta berhasil membuat rencana palsu untuk mempertemukannya dengan Ryu. Menurut penjelasan Kenta, Ryu seharusnya tiba di taman tepat pukul dua belas siang. Dan untuk mempersiapkan diri, Haru sengaja datang satu jam lebih awal. Ia membutuhkan waktu yang lama untuk menenangkan diri.
Haru melangkah menyusuri jalan setapak sambil menjejalkan tangan ke dalam saku mantel. Ia menghirup udara musim semi sambil sesekali memejamkan mata sejenak, menikmati hembusan angin yang bercampur dengan kelopak-kelopak bunga sakura.
Musim semi datang lagi. Dan seperti penjelasan Ryu hari itu, musim semi berarti permulaan baru. Haru perlahan-lahan tersenyum. Permulaan barunya sudah tiba. Ia lebih dari siap untuk memulai bagian baru dalam hidupnya. Dan ia ingin memulainya bersama Ryu.
Haru sedang berjalan menyusuri tepi danau ketika perhatiannya tertarik sesuatu. Dari tempatnya berdiri, Haru melihat seorang lelaki yang duduk di bangku taman. Lelaki itu tersenyum, tertawa dan sesekali menganggukkan kepala sambil bicara. Haru mendadak lupa caranya bernapas. Tiba-tiba saja jantungnya melompat-lompat tidak keruan. Lelaki itu... Ryu. Itu Ryu.
Ryu masih terlihat sama - rambut panjangnya masih menutupi keningnya yang lebar, matanya yang bersinar terhalang oleh kacamata perseginya dan senyum itu... oh, sama seperti yang selalu muncul dalam mimpinya setiap malam. Haru begitu ingin menghampirinya, berlari lalu mendekap erat lelaki itu dalam pelukannya. Menghirup aroma tubuh Ryu yang bercampur dengan parfum kesukaannya, menikmati kehangatan dan mendengar detak jantung lelaki itu saat memeluknya. Haru hampir tak bisa mengendalikan langkahnya sampai akhirnya pandangannya mendarat kepada orang yang duduk di sebelah Ryu. Tunggu dulu. Ryu tidak sendirian.
Di samping Ryu, duduk seorang wanita berambut panjang sebahu dengan penampilan yang... sempurna. Wanita itu bukan Yui, lalu siapa? Haru tidak ingat Ryu pernah memberitahunya soal teman wanita atau saudara perempuan atau... tidak.
Apakah wanita itu...? Apakah Ryu telah...? Tapi, bukankah Ryu sudah berjanji untuk menunggunya? Apakah ia sudah terlambat? Apakah ia telah membuat Ryu menunggu terlalu lama?
Pertanyaan-pertanyaan yang menghujam isi kepalanya membuat Haru melangkah mundur. Langkahnya menariknya pada gerombolan orang yang kemudian menubruknya, membuatnya terhuyung dan hampir jatuh. Haru menguatkan lututnya yang lemah, menahan tubuhnya agar tidak jatuh meski ia merasakan sedikit demi sedikit bagian dalam dirinya pecah berkeping-keping.
Dadanya terasa sesak. Ia sulit bernapas. Ryu adalah alasan terbesarnya melangkah begitu jauh. Alasannya memutuskan untuk menyembuhkan lukanya. Alasannya untuk hidup. Dan sekarang setelah ia kembali, Ryu telah... melupakannya? Begitu saja?
Haru mendapati dirinya menggeleng-geleng, menyangkal kenyataan bahwa alasan terbesarnya untuk hidup perlahan-lahan lenyap di depan matanya. Rencana masa depannya... kini telah hilang. Ryu tidak memilihnya seperti ia telah memilih Ryu. Ryu berada di hadapannya tapi terasa begitu jauh. Terasa begitu asing. Seperti bukan miliknya. Ryu bukan lagi miliknya. Haru bahkan harus sadar kalau lelaki itu bahkan tidak pernah jadi miliknya.
Haru menarik diri, melangkah menjauh memasuki kerumunan pejalan kaki yang mendesaknya ke berbagai arah. Kemudian dalam sesaknya arus manusia yang mendorongnya, Haru menyeret langkahnya menjauh - jauh dari tujuan hidupnya sambil bertanya-tanya... apa yang harus ia lakukan sekarang?