Ryu berpisah dengan wanita bernama Molly itu setelah mengelilingi danau taman Ueno selama hampir tiga kali. Ryu mendapatkan beberapa saran dan pendapat mengenai masalahnya dengan Haru. Di luar dugaannya, mengobrol dengan Molly rupanya cukup menyenangkan. Namun terlebih dari itu, pertemuannya dengan Molly membuatnya lebih merindukan Haru.
Ketika jarum di jam tangannya mulai mendekati angka satu, Ryu berhenti berjalan lalu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Kenta. Ia berdumal dalam hati sambil mendengarkan dering nada tunggu di telinganya. Setelah deringan ketiga, Kenta menjawab panggilannya lalu berkata, "Sensei, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menjebakmu atau menipu... tapi kupikir sudah waktunya Sensei bertemu dengannya dan aku sudah membuat kesepakatan. Aku juga yakin Sensei sudah begitu merindukannya jadi, bukankah aku sudah membuat keputusan yang baik?"
Mendengar penjelasan Kenta yang begitu panjang, Ryu mengerutkan alis bingung, "Apa maksudmu? Aku merindukan siapa? Keputusan apa yang baik?"
Ryu dapat mendengar Kenta bergumam terbata-bata sebelum bertanya, "Sensei belum bertemu dengan Haru-san?"
"Haru? Apa maksud-... kenapa kau tidak datang? Aku sudah menunggu selama hampir satu jam. Kalau kalian semua mengerjaiku, aku janji aku akan datang untuk merampas sertifikat kelulusan kalian satu demi satu-,"
"Sensei," potong Kenta. "Aku sengaja mengundangmu ke taman Ueno karena Haru-san ingin bertemu denganmu. Sensei belum bertemu dengannya?"
Kedua mata Ryu perlahan-lahan terbuka lebar saat mendengarnya. Rahangnya mengeras saat mencengkeram ponselnya kuat-kuat. "Maksudmu...,"
"Haru-san menemuiku minggu lalu untuk meminta bantuan. Kau tahu, untuk... mempertemukannya denganmu. Karena itu aku-,"
"Kenta, kututup dulu."
Ryu menjejalkan ponsel ke dalam saku celananya. Kedua kakinya mulai bergerak lebih cepat. Ia berjalan cepat, menerobos kerumunan pejalan kaki di sekelilingnya sambil menoleh kesana kemari dengan gelisah.
Haru sudah kembali. Haru ada di sini, menginjak permukaan tanah yang sama dengannya. Berada di bawah naungan pohon yang sama. Haru ada di sini. Haru ada di antara lautan manusia yang mengelilinginya. Ryu merasakan detak jantungnya yang tidak teratur, melompat-lompat menyentuh dadanya. Napasnya tak beraturan, membuat dadanya mulai terasa sesak. Ia harus cepat, ia tidak mau kehilangan kesempatan terakhirnya untuk menggapai Haru, untuk menahannya untuk tidak pergi. Sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak awal.
Ryu mempercepat langkahnya. Ia berlari di antara orang-orang yang berjalan santai di sekelilingnya dan sesekali melempar tatapan aneh. Beberapa wanita menarik anak mereka mendekat saat Ryu berlari melewatinya, beberapa orang menyingkir memberi jalan dan beberapa di antaranya mengutuki Ryu karena telah menabrak tanpa meminta maaf. Ryu tak mengabaikannya karena dalam situasi seperti ini, ia bahkan rela terluka demi Haru. Asalkan ia menemukannya. Asalkan ia dapat melihat Haru lagi, dapat menyentuhnya lagi... meski itu untuk terakhir kalinya.
Ryu berhenti sejenak ketika merasakan dadanya sakit. Ia membungkuk, mencengkeram kedua lututnya sambil menenangkan napasnya yang begitu sesak. Kemudian ia kembali bangkit berdiri lalu menyapu pemandangan di sekelilingnya, mencari keberadaan wanita yang kemungkinan memiliki penampilan yang sama dengan Haru. Wanita bertubuh pendek dengan rambut panjang menjuntai yang diikat tinggi-tinggi. Dari tempatnya berdiri, Ryu hanya bisa melihat beberapa punggung wanita yang berjalan menjauh dan beberapa wanita yang berjalan melewatinya. Kemudian kedua matanya menyipit saat perhatiannya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di tepi seberang danau.
Wanita itu berambut pendek seleher, mengenakan terusan selutut berwarna abu-abu serta mantel tebal yang membungkusnya. Pandangan matanya tertuju pada air danau yang tenang. Dia terlihat lesu dan tak bertenaga. Ada sesuatu dalam pandangan itu yang terlihat begitu familiar. Pandangan yang memancarkan kesedihan yang membuat siapapun yang melihatnya begitu ingin melindunginya. Ryu berjalan mendekat ke tepi danau, berusaha melihat lebih dekat. Dan tepat saat itu, ia bertemu pandang dengan wanita yang berdiri di sana. Lalu Ryu mendadak merasakan seluruh kekuatan dalam dirinya menguap ke udara.
Itu Haru. Tidak salah lagi. Itu benar-benar Haru.
Selama beberapa detik yang lama, Ryu membiarkan dirinya berdiri di sana - mengunci pandangannya dengan Haru tanpa melakukan apapun. Lalu tanpa ia sadari kedua kakinya bergerak perlahan, menyusuri tepi danau dengan langkah pelan. Ryu tak melepaskan pandangannya dari Haru saat berjalan mendekat dan ketika akhirnya mereka hanya berada beberapa meter jauhnya, Ryu memberanikan diri untuk membuka mulut, "Haru? Apa itu kau?"
Haru memotong rambutnya begitu pendek. Dan Ryu baru menyadari ada poni tipis yang menaungi keningnya. Dan meski penampilan Haru berubah, Ryu tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengenali wajah itu. Wajah cinta pertamanya.
Haru tersenyum kaku lalu berjalan mendekat, "Ryu. Bagaimana kabarmu?"
Senyum itu... wajah ini... pandangan mata yang selalu muncul di dalam mimpinya setiap malam... Ryu tak mempercayai dirinya kalau ia dapat melihatnya lagi dengan kedua matanya sendiri. Apakah ini ilusi? Apa ia sedang bermimpi?
"Bagaimana kabarku?" Ryu balas bertanya. "Apa kau bercanda?"
Haru menggigit sudut bibirnya lalu memaksakan seulas senyum, "Bagaimana kalau kita bicara sambil makan siang? Aku lapar. Ayo."
***
Haru dan Ryu tiba di kafe terdekat yang terletak di dekat pintu masuk taman. Ia memesan dua cangkir teh hijau panas serta sandwich dan seporsi carbonara spagetti sebelum menempati salah satu tempat duduk di barisan meja untuk dua orang yang terletak di bagian belakang ruangan. Haru dan Ryu duduk berhadapan, menunggu pesanan mereka tiba dalam diam. Setelah lima menit dalam keheningan yang menyiksa, Haru adalah yang pertama memulai percakapan, "Jadi, bagaimana kabarmu?"
Ryu tak melepaskan pandangannya sedetik pun dari Haru, ia terlihat begitu cemas seolah kalau ia mengalihkan tatapannya, Haru akan menghilang dari hadapannya.
"Ryu?"
Suara Haru akhirnya membuat Ryu mengerjap. "Aku... baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga."
Suara musik pop yang diputar di latar belakang bercampur dengan bunyi bising percakapan para pengunjung kafe. Bunyi denting alat makan yang beradu menyusul kemudian. Haru bertanya-tanya bagaimana mungkin dalam suasana yang begitu berisik, ia merasakan kesunyian yang mencengkam.
"Tidak," Ryu tiba-tiba menimpali. "Aku tidak baik-baik saja. Aku berusaha bertahan hidup selama setahun terakhir. Ya, rasanya seperti bertahan hidup. Melewati satu hari dan hari selanjutnya berpikir, 'Setidaknya aku berhasil melewati hari ini. Mungkin dia akan kembali besok.' Bertanya-tanya kapan kau akan kembali benar-benar menyakitkan, Haru."
Ucapan itu membuat Haru menelan ludah. "Aku di sini sekarang."
Ryu mengangguk samar. Ia belum sempat merespon ketika seorang pelayan menghampiri meja mereka dan meletakkan teko teh beserta dua cangkir keramik di atas meja. Ryu mengusap wajah dengan kedua tangannya sambil menghembuskan napas dengan kasar. Setelah pelayan kafe meninggalkan mereka, Ryu langsung berkata, "Aku tidak berpikir kalau kau akan meninggalkanku tanpa kabar. Aku membiarkanmu pergi karena kupikir kita bisa setidaknya berbicara lewat telepon atau kalau itu terlalu sulit bagimu, kau bisa menulis surat atau semacamnya agar aku tahu kau baik-baik saja. Kalau kau masih hidup. Kalau aku tidak menunggu dengan sia-sia."
"Menunggu?" Kedua mata Haru melotot, tidak percaya. "Oh, aku yakin kau tidak menunggu dengan sia-sia. Apalagi kalau ditemani dengan teman wanita yang bisa membuatmu tertawa. Pasti terasa sangat menyenangkan."
Ryu mengerutkan alis, tidak mengerti. "Aku tidak punya teman wanita. Apalagi yang bisa membuatku tertawa. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku tertawa, Haru."
"Beberapa menit yang lalu, mungkin? Kau terlihat begitu gembira bersamanya. Tersenyum dan tertawa seperti tidak ada yang terjadi," timpal Haru, kini sambil melipat tangan di dada dan bersandar di bahu kursi.
Ryu mendesah kesal, "Aku tidak mengerti kenapa kau marah-marah. Aku yakin sepertinya akulah yang berhak memberengut sebal seperti itu saat ini karena sudah ditinggalkan begitu lama tanpa kabar sama sekali."
Haru mengerang dengan kesal. Ia baru saja ingin mulai bicara ketika pelayan kafe lagi-lagi datang ke meja, kali ini meletakkan dua piring spagetti dan sandwich di atas meja. Sepeninggal pelayan kafe, Haru meniup dahinya dengan kasar lalu berkata, "Aku melihatmu bersama seorang wanita tadi."
Ryu mengernyit, berpikir keras tentang siapa yang dimaksud Haru ketika ia teringat dengan Molly. Lalu ia bernapas lega dan menyandarkan kepala pada tembok di belakangnya, "Oh, itu. Dia sepupu teman kerjaku."
"Ya, dan?"
Ryu membalas tatapan Haru yang menuntut jawaban, "Dan itu semua salahmu!"
"Apa?"
"Kalau kau tidak meninggalkanku begitu lama, aku tidak mungkin mendapatkan tawaran kencan buta beberapa kali dari temanku yang terus menerus meyakinku kalau kau tidak akan pernah kembali!"
Haru menarik diri saat Ryu mencondongkan wajah kepadanya dengan raut wajah yang marah. Namun otot-otot lehernya mengendur saat menyadari kedua mata Ryu memerah. Setetes air mata meluncur turun ke permukaan wajahnya saat berkedip. Ryu buru-buru mengusapnya dan mengalihkan pandangan dari Haru sambil menarik diri.
Amarah yang membendungnya lenyap seketika Haru melihat air mata Ryu. Kini ia merasa begitu bersalah. Bersalah, karena ia tidak tahu kalau Ryu begitu terluka dan sendiri. Tiba-tiba saja ia merasa begitu egois.
"Maafkan aku, Ryu." Haru tak sempat berpikir saat kalimat itu meluncur dari mulutnya. "Aku pergi ke New York. Selama ini aku berada di sana untuk mengosongkan pikiranku, agar aku bisa berpikir jernih. Lalu aku melakukan sesi terapi untuk menyembuhkan lukaku. Aku tidak bisa melakukannya kalau kau berada di sisiku. Karena keberadaanmu membuatku memilihmu. Kalau kau ada di dekatku, aku yakin aku akan memilihmu daripada diriku sendiri. Dan aku tidak bisa melakukannya karena untuk bisa mencintaimu, aku harus menyelematkan diriku terlebih dulu."
Kedua mata Ryu melebar mendengarnya. Lalu ia perlahan-lahan mengangkat wajah pada Haru. "Aku tidak bermaksud...,"
"Aku mencintaimu, Ryu."
Ryu tidak yakin kalau ia sedang tidak bermimpi. Semua yang terjadi di hadapannya saat ini terlalu indah untuk jadi kenyataan. Ia tidak bisa mempercayai telinganya, napasnya tercekat. Ia membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu tapi ia mendapati dirinya membisu.
"Aku pergi agar aku bisa kembali...," Haru terdiam sejenak, "...untuk mencintaimu."
Haru terus menundukkan wajahnya tapi Ryu dapat melihat wajah Haru yang merah dengan sangat jelas. Ia juga dapat melihat tetesan air mata yang beberapa kali jatuh ke lantai. Ryu tak dapat mengatakan apapun karena apa yang ingin ia lakukan saat ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Aaa..."
Haru mengerutkan kening saat mendengar Ryu mendekat. Lalu ia mendongak saat menyadari Ryu menyodorkan sebagian sandwich yang sudah dipotong menjadi bagian yang kecil ke arahnya. Haru tidak membantah dan membiarkan potongan sandwich itu memasuki mulutnya.
"Kau membutuhkan energi untuk menangis," ujar Ryu sambil tersenyum tipis. "Terlebih lagi, kau akan membutuhkan energi yang banyak untuk berpikir karena aku akan menanyakan sesuatu yang membutuhkan jawaban yang pasti."
Haru mengerutkan alisnya seolah bertanya 'apa?'.
Lalu Ryu mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya. Ia memasukkan jari telunjuknya di sela-sela sekat bagian dalam dompetnya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Haru tak dapat melihatnya dengan jelas karena Ryu langsung menyembunyikannya di bawah meja.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sudah ingin melakukan ini sejak lama. Bahkan mungkin sejak pertama kali bertemu denganmu lagi di kafe malam itu," jelas Ryu, menunduk menatap sesuatu di bawah meja yang mengundang rasa ingin tahu Haru.
Haru belum sempat melontarkan pertanyaannya ketika Ryu meletakkan sebelah tangan di atas meja. Sebuah benda kecil berkilau di antara ibu jari dan telunjuk Ryu menarik perhatian Haru. Kemudian ia mendapati dirinya tak bisa bernapas seketika.
"Maukah kau menikah denganku?"
Haru mengerjap, mulutnya perlahan-lahan terbuka dan ia menutupnya dengan kedua tangan. Ia memastikan dirinya masih bernapas karena tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. Jantungnya bergerak lebih cepat dari sebelumnya, ia dapat mendengar bunyi derapnya yang tak berirama.
"Aku menyimpan cincin ini di dompetku dan membawanya kemana pun aku pergi karena aku tidak tahu kapan kau akan kembali. Dan kupikir saat kau kembali, aku harus cepat-cepat melakukan ini karena siapa yang tahu kalau kau akan... meninggalkanku lagi?" Ryu memandang cincin perak berkilau dengan kepingan berlian yang terpendam di dalamnya sambil tersenyum lemah. Lalu ia mengangkat sebelah bahu, "Dan meski kau memutuskan untuk pergi lagi, setidaknya aku yakin kalau kau akan kembali. Karena kau telah menjadi milikku, seutuhnya."
Haru menggigit bibirnya kuat-kuat. Tetesan-tetesan air mata yang terus jatuh membuat permukaan wajahnya lembab. Ia mengusap pipi dengan jari telunjuknya, lalu dengan gerakan cepat merampas cincin dari genggaman Ryu dan menyematkannya pada jari manisnya. Gerakan itu membuat Ryu mendelik, syok.
"Aku tidak mau pergi lagi," ucap Haru sambil berpura-pura sibuk dengan makanan di depannya. "Tidak tanpamu."
Ryu merasakan sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang lebar, begitu lebar sampai sepertinya ia dapat merasakan otot-otot wajahnya nyeri. Dadanya terasa penuh, ia ingin berdiri, melompat dan berseru dengan nyaring, memberitahu semua orang di sekitarnya kalau ia baru saja menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Kalau Ogawa Haru telah menjadi miliknya, seutuhnya.
"Cepat makan sebelum makananmu dingin," celetuk Haru, mencoba mengalihkan pembicaraan dan suasana yang terasa canggung.
Ryu masih tersenyum lebar saat meraih alat makan di atas meja. Kemudian ia menggigit bibir dan menyipitkan mata pada Haru, "Ada sesuatu di bibirmu."
Haru mengangkat wajah pada Ryu sambil mengusap-usap bibirnya dengan tisu. "Sudah hilang?"
Ryu menggeleng. "Biar aku saja," jawab Ryu lalu bangkit berdiri dan membungkuk, mencondongkan wajah pada Haru yang lalu melotot, kaget. Hal selanjutnya yang ia tahu, Ryu telah menarik dagunya dengan lembut dan mendaratkan ciuman di bibirnya. Ciuman yang lebih pantas disebut kecupan. Kecupan yang singkat namun terasa hangat dan menenangkan.
Haru langsung menunduk, menghindari tatapan mata Ryu dan beberapa orang yang memandang mereka dari kejauhan. Ia dapat merasakan pipinya memanas.
"Aku mencintaimu, Ogawa Haru. Ah, tidak-tidak, Tanaka Haru. Mulai sekarang namamu berubah menjadi Tanaka Haru," ucap Ryu sambil mengangguk-angguk. "Hmm, boleh juga. Apa kita sebaiknya mulai memikirkan nama untuk calon anak-anak kita nanti?"
"Jangan macam-macam! Cepat makan sebelum aku kehilangan selera makanku."
"Setelah makan, kita harus mencari gedung aula dan membuat daftar tamu undangan."
"Tidak mau! Jangan berisik, kau membuatku pusing, Ryu."
"Karena telah membuatmu malu setengah mati?"
Haru melempar gumpalan tisu pada Ryu, "Diam sebelum aku melepaskan cincinmu dan melemparnya ke danau taman."
Ryu membungkam mulut sambil mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. Lalu ia tersenyum dengan tulus dan berkata, "I love you more, Haru."