"Tahanan 5631! Kunjungan!"
Ueda Kenzo memaksa kelopak matanya untuk terbuka setelah usahanya yang payah untuk tidur. Ia bangkit berdiri dan berjalan melewati pintu jeruji yang dibuka oleh petugas. Langkah kakinya terasa lebih berat dari biasanya dan tentu saja itu disebabkan oleh belasan jam bekerja di tambang penjara.
Kenzo merasakan tekanan kuat pada kedua pergelangan tangannya. Petugas penjaga sel mengunci borgol dengan kuat sebelum membiarkannya berjalan menyusuri koridor sel yang selalu tampak suram. Beberapa tahanan mengulurkan sebelah lengannya, melambaikan tangan padanya sambil tertawa. Tawa itu lebih terdengar seperti pekikan yang berteriak minta tolong. Kenzo hanya menyunggingkan senyum tawar.
Pintu ujung koridor terbuka, kemudian ia dibawa menuju sebuah ruangan yang dibatasi oleh dinding pembatas baja yang diberi jendela kaca anti pecah. Jendela kaca itu dibagi menjadi tiga bagian - dimana para tahanan diperbolehkan untuk bicara dengan pembesuk lewat alat seperti gagang telepon. Kenzo diarahkan - atau lebih tepatnya, dipaksa duduk - di salah satu bangku di sebelah kiri barisan. Dan begitu ia duduk di sana, ia dapat melihat seorang pria bertubuh jangkung, memandangnya dengan kedua mata terbuka lebar. Tatapannya syok, seperti baru saja melihat hantu.
Melihat pria itu, Kenzo melirik petugas keamanan yang berdiri di belakangnya. "Kau yakin kau tidak salah orang kali ini? Ke mana adikku?"
"Mereka hanya memperbolehkan satu orang saja untuk masuk," jawab pria yang duduk di seberangnya lewat gagang telepon. "Adikmu... Kenta sedang menunggu di luar."
Kenzo mengerutkan kedua alisnya yang bertindik dengan bingung. Setelah menatap wajah lelaki itu cukup lama, Kenzo akhirnya memutuskan untuk mengangkat gagang telepon dan menempelkannya di telinga. "Aku tidak mengenalmu. Apa kau salah satu orang yang pernah membeli obat-obatan dariku?"
***
Reaksi itu membuat Ryu mengeraskan rahangnya kuat-kuat. Ia memang telah membayangkan wajah seorang kriminal ketika mempersiapkan diri untuk bertatap muka dengan pelaku yang telah melukai Haru. Tapi ia tidak pernah berpikir kalau laki-laki di balik kasus itu adalah seorang lelaki sepantarnya dengan wajah yang begitu serupa dengan salah satu murid yang ia sayangi.
Ia seperti melihat wajah Kenta - dengan berbagai macam tato hampir di seluruh permukaan kulit serta tindikan di alis, bibir dan hidungnya. Kedua matanya tak memancarkan sinar kehidupan - begitu kosong dan tak bernyawa. Lelaki itu sesekali tersenyum samar, senyuman yang terlihat begitu masam dan... kejam. Sesaat, Ryu bertanya-tanya apakah lelaki itu tersenyum seperti itu saat... saat Haru berteriak minta tolong dalam kegelapan malam itu.
"Oi!"
Ryu tidak berkedip ketika mendengar Kenzo berseru. Ia menelan ludah sebelum menarik napas dan menjawab, "Kenta, adikmu begitu cerdas. Aku yakin kau tidak tahu itu karena satu-satunya hal yang kau pikirkan adalah bagaimana kau bisa memuaskan nafsumu dan siapa korban selanjutnya."
"Cih. Aku tidak punya waktu untuk ini." Kenzo menggeleng-geleng sambil memutar bola matanya, kesal.
"Aku adalah lelaki yang akan menikahi salah satu wanita yang telah...," Ryu berhenti sejenak, menggigit bibir lalu, "...kau sakiti. Setidaknya itu yang kuyakini saat dia kembali. Dia harus pergi, meninggalkanku untuk menyembuhkan lukanya. Luka yang kau berikan kepadanya, malam itu di pinggir jalan yang gelap dan sempit. Kau tidak berhenti, meski aku yakin dia berusaha berteriak, menjerit minta tolong."
"Hentikan omong kosongmu. Aku tidak punya waktu-,"
"Oh, aku yakin kau punya banyak waktu," sela Ryu. "Banyak sekali waktu untuk berpikir atau membayangkan kalau hal yang sama bisa saja terjadi pada ibumu."
Ryu tidak tahu apakah ucapannya dapat menarik perhatian Kenzo tapi ia yakin ia baru saja melihat lelaki itu mengerjap. Kedipan samar seperti orang yang baru saja terjaga.
"Kau begitu dicintai, begitu disayangi. Meski sudah begitu banyak orang yang mati di tanganmu, orang itu akan tetap memelukmu, saat kau pulang nanti. Wanita itu akan selalu memelukmu, mencintaimu, memaafkanmu meski kau mengulangi kesalahan yang sama, lagi dan lagi. Aku yakin dia bahkan rela mati untukmu. Bertukar posisi denganmu saat ini.
"Menurutku, wanita itu makhluk yang bodoh karena memiliki hati yang begitu luas untuk mencintai seseorang. Terutama ketika mereka menjadi seorang ibu. Aku hanya bisa berharap kau punya cukup waktu untuk bisa melihatnya lagi saat keluar dari sini. Atau, kuharap beliau masih hidup saat kau telah berhasil bertahan hidup di dalam sana. Entahlah, kuharap hal yang sama tidak akan terjadi pada ibumu."
Ryu dapat melihat sudut rahang Kenzo berkedut dan tatapan lelaki itu yang menerawang jauh, terpaku pada permukaan meja yang kosong.
"Aku begitu ingin membunuhmu. Oh, tidak. Aku sudah membunuhmu berulang-kali di dalam pikiranku. Tapi, tentu saja itu tidak merubah apapun," ucap Ryu sambil tersenyum miring dan mendesahkan tawa masam. "Tapi begitu melihatmu, aku langsung ingin balas dendam."
Ucapan Ryu kini menarik perhatian Kenzo dan membuat lelaki itu menyemburkan tawa hambar. "Ide yang bagus."
"Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menyentuhmu. Jadi, sepertinya aku akan melakukan hal lain untuk memastikan kau... entahlah, mungkin menyesali perbuatanmu?" Ryu mengangkat kedua bahu sambil bersandar di punggung kursi.
Kenzo mengangkat kedua alis dan dagunya, seolah menanyakan apa yang dipikirkan Ryu.
Ryu menghela napas sebelum menatap Kenzo lurus-lurus dan melanjutkan, "Aku akan memastikan Kenta tumbuh menjadi seseorang yang sukses. Seseorang yang sangat bertolak-belakang denganmu. Aku akan mengambil alih posisimu, sebagai kakaknya dan putera pertama di keluargamu. Aku akan memastikan keluargamu, baik-baik saja dan bahagia tanpamu. Kudengar kau akan berada di sana cukup lama atau... mungkin selamanya? Oh, sayang sekali. Mari kita lihat, seberapa sering keluargamu akan datang mengunjungimu. Aku akan memastikan mereka melupakanmu."
Ucapan Ryu lagi-lagi membuat Kenzo mengeraskan rahangnya. Kali ini, Ryu bahkan dapat melihat permukaan tangan Kenzo memerah karena cengkeraman pada gagang teleponnya menguat.
Ryu menarik mundur bangkunya dan berdiri, beranjak pergi ketika ia melihat Kenzo turut bangkit dan melempar tatapan mengerikan ke arahnya. Lelaki itu tak mengucapkan apapun, namun masih menempelkan gagang telepon di telinganya. Melihat itu, Ryu mengambil lagi gagang telepon miliknya dan berkata, "Kini saatnya kau merasakan apa yang telah kau lakukan pada puluhan korbanmu; kehilangan harta paling berharga dalam hidupmu. Dan kali ini, akulah rampoknya."
Ryu tidak melihat bagaimana reaksi Kenzo ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya sebelum pergi tapi ia sempat mendengar bunyi benda keras yang saling bertubruk - seperti suara seseorang membanting sesuatu. Dan meski ia tidak yakin apakah itu Kenzo, Ryu berjalan keluar dari ruang besuk sambil tersenyum penuh kemenangan.
***
Kenta tidak yakin sudah berapa kali ia menyapu permukaan tanah dengan alas sepatunya karena berjalan mondar-mandir dengan gelisah di depan gerbang dinding penjara. Ia sesekali menoleh ke sana kemari, sesekali mengangkat wajah untuk mengecek kedatangan Ryu meski ia tahu usahanya tidak membantu. Entah mengapa lima belas menit terasa seperti berjam-jam, bahkan bertahun-tahun.
Apa yang dibicarakan Ryu dengan kakaknya di dalam sana? Bagaimana reaksi Ryu begitu melihat Kenzo? Apakah ia baru saja melakukan kesalahan besar? Apakah ia tidak seharusnya memberitahu Ryu?
"Ueda! Kau bisa masuk penjara karena dicurigai sebagai teroris kalau berjalan dengan gelisah seperti itu!"
Kenta melonjak, terkesiap kaget ketika merasakan tepukan di kedua bahunya. Ia buru-buru berbalik pada Ryu yang mengulas senyuman lebar kepadanya, "Se-sensei, bagaimana... apa kau baik-baik saja?"
Ryu tidak langsung menjawab. Lelaki itu menatap Kenta dalam-dalam, mencengkeram kedua bahunya erat-erat lalu menariknya ke dalam pelukan. Pelukan yang kuat dan hangat.
"Semuanya baik-baik saja. Kau bisa berhenti sekarang; berhenti merasa bersalah dan bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak kau lakukan," ucap Ryu kemudian menarik diri dan merangkul Kenta dengan sebelah tangan. "Kau benar-benar anak yang baik, Kenta. Sekarang, waktunya untuk meninggalkan masa lalu dan menghidupi mimpimu. Waktunya untuk menghidupi kehidupanmu."
Kenta tertegun. Udara di sekitarnya mendadak membuatnya tercekat saat Ryu menepuk bahunya sambil tersenyum, menenangkan. Kemudian, ia tiba-tiba merasakan butiran-butiran air menetes membasahi pipinya. Hal selanjutnya yang ia tahu, ia telah menangis dalam pelukan Ryu, merasakan satu per satu beban di bahunya melayang, mengikuti hembusan angin musim panas yang entah bagaimana sore itu, terasa seperti hawa musim semi.