Pintu kaca tembus pandang yang berada di hadapannya terbuka secara otomatis ketika ia menginjakkan kaki di lantai dasar gedung Rumah Sakit Central Tokyo. Haru kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk. Orang pertama yang menyambutnya ketika ia berhasil mencari ruang rawat ayahnya adalah kakaknya, Ogawa Hana, yang kemudian berlari kepadanya dan memeluknya dengan erat.
"Haru!"
Pelukan itu begitu erat dan hangat, Haru seolah merasa seperti gadis kecil yang berhasil ditemukan setelah hilang selama berhari-hari. Ia merasakan rasa lega yang mengalir dalam pelukan kakaknya.
"Haru, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja? Oh, aku sangat merindukanmu," ucap Hana sambil mencengkeram erat-erat bahu Haru dan menatapnya dalam-dalam.
"Onee-chan? Bukankah kau seharusnya berada di Sydney?" Haru bertanya sambil menarik diri.
Hana menggeleng, pelan. "Lamaran magangku belum dijawab. Dan meskipun aku diterima, aku mungkin akan berangkat akhir tahun. Saat musim panas di sana baru dimulai."
"Musim panas?"
"Ya, musim di Australia bertolak-belakang dengan musim di Asia," jelas Hana singkat. Kemudian ia menarik Hana ke depan pintu kamar ruang rawat ayahnya dan menarik napas, "Haru, ayah baik-baik saja. Dokter bilang dia mengalami serangan jantung ringan saat pingsan di rumah."
Kedua mata Haru melebar kaget. "Pingsan? Apa yang terjadi?"
"Kami kedatangan tamu. Seseorang dari kantor polisi."
Haru mengerutkan alisnya, tidak mengerti. Lalu tepat saat ia membuka mulut hendak bertanya, pintu ruangan terbuka dan ibunya berdiri di ambang pintu.
"Haru?" Ibunya melangkah ragu-ragu. Haru dapat melihat ibunya menyeret kedua kakinya yang bergetar samar lalu perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya untuk meraih wajah Haru. Kini tetesan air mata membasahi pipinya dan membuat Haru semakin bingung.
"Ibu... jangan membuatku takut. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah?" tanya Haru sambil sesekali melirik Hana yang mulai mengusap wajahnya yang basah.
"Puteriku...," panggil ibunya dengan suara yang bergetar, "...Haru, kau pasti merasa kesepian selama ini... menanggung semuanya sendiri... aku tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya kau sendirian... kenapa kau tidak pernah bercerita pada Ibu?"
"Apa? Ibu, aku tidak mengerti," gumam Haru, namun pandangannya tertuju pada Hana yang berusaha untuk tetap tersenyum.
"Haru, kami telah mendengar semuanya. Apa yang terjadi padamu... Inspektur Watanabe mengunjungi kami," jelas Hana dengan suara parau.
Haru membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencerna ucapan kakaknya. Apa yang terjadi padanya... kunjungan Inspektur Watanabe... itu berarti menyangkut kecelakaan yang dialaminya bertahun-tahun lalu. Mimpi buruknya dan ketakutan terbesarnya serta aib yang telah berusaha ia kubur dalam-dalam dari keluarganya sendiri.
Haru melepaskan tangan ibunya dari wajahnya. Lalu ia merasakan kedua kakinya melangkah mundur. Aliran rasa panas yang menjalari permukaan kulitnya perlahan-lahan membuat kedua matanya perih. "Tidak... itu tidak seperti yang Ibu pikirkan... aku, dia... lelaki itu..." Haru merasakan napasnya tercekat sebelum akhirnya genangan air di pelupuk matanya mulai jatuh membasahi pipinya. "Aku... maafkan aku, Ibu. Aku tahu Ibu pasti begitu malu mendengarnya. Begitu marah karena aku sudah tidak lagi... aku tidak seperti Hana. Aku... aku..."
Tepat saat itu, Haru membiarkan dirinya menangis. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti melepaskan begitu banyak beban berat yang selama ini memberatkan bahunya. Beban yang mencengkeram langkah kakinya begitu hebat. Rasa sakit serta amarah yang begitu lama terpendam, mengalir begitu deras bersama aliran air matanya saat Haru terjatuh di lantai.
Hana berlutut di samping Haru, memeluk adik dan ibunya yang kini menangis hebat di tengah-tengah koridor yang sepi, mengabaikan orang-orang yang berjalan melewatinya.
Haru dapat merasakan ibunya terus mengusap wajahnya, mencium keningnya dan memeluknya dengan erat. Kehangatan itu adalah satu-satunya yang ia butuhkan selama ini. Kehangatan ibunya yang memeluknya dengan erat sambil berkata, "Semuanya baik-baik saja sekarang. Kau tidak sendirian."
"Haru, kami selalu ada di sini untukmu. Kau tidak seharusnya menanggung semuanya sendiri. Kau pasti ketakutan setengah mati. Aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya buatmu memendam ini semua," ucap Hana, lirih. "Maafkan aku karena tidak berada di sisimu."
"Maafkan kami, Haru. Semuanya baik-baik saja sekarang. Kau tidak sendirian."
Kalimat itu terus berulang di kepalanya seperti lagu tidur menenangkan yang mengantarnya tidur setelah perjalanan panjang. Kehangatan dalam pelukan ibunya seperti uluran tangan yang turun, menggapainya di dalam lubang tempat ia terpuruk begitu lama. Kata-kata menenangkan dari kakaknya seperti cahaya matahari yang menyelinap dari sela-sela jendela yang selama ini tertutup rapat. Setelah waktu yang terasa begitu lama, untuk pertama kalinya, Haru merasakan ketenangan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Haru merasa aman.
Di tengah-tengah keluarganya, Haru akhirnya menyadari ketakutan terbesarnya selama ini - kehilangan orang-orang yang ia sayangi.
***
Haru memandang bayangan ayahnya yang terbaring di atas kasur dari tempat duduknya di ujung ruangan. Kemudian ia berpaling pada Hana yang meletakkan sebelah tangan di atas lututnya. "Semuanya akan baik-baik saja. Lagipula, Ayah hanya mengkhawatirkanmu."
Haru tersenyum pahit, "Aku tidak bisa membayangkan betapa kagetnya Ayah saat mendengar semua penjelasan dari Inspektur Watanabe. Tidak heran berita itu membuatnya jatuh pingsan. Aku benar-benar merasa bersalah."
Hana mengusap bahu Haru sambil menggeleng pelan, "Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir."
DRRT-DRRT-DRRT!
Haru buru-buru mematikan ponselnya yang hampir saja mengeluarkan bunyi nyaring, menandakan telepon masuk. Waktu sudah menunjukkan jam satu subuh, satu-satunya alasan teleponnya berbunyi selarut ini adalah urusan pekerjaan. Tapi, ia tidak ingat ia meninggalkan pekerjaan yang tidak selesai di rumah sakit.
"Ryu?"
Kedua mata Haru mendelik kaget ketika Hana menggumamkan nama penelepon di layar ponselnya. Ponsel dalam genggamannya hampir merosot jatuh ke lantai ketika ia mencoba untuk menolak panggilan yang masuk.
Reaksi itu mengundang senyum Hana. "Sepertinya aku melewatkan begitu banyak cerita. Aku yakin ada penjelasan di balik pipimu yang mendadak merah dan kenapa kau memutuskan untuk tidak menjawab telepon itu," goda Hana. "Rupanya itu telepon terlarang. Siapa dia? Pacarmu?"
Haru melotot, hampir mengucapkan sesuatu dengan nada tinggi namun menariknya lagi ketika ia ingat ia masih berada di ruang rawat ayahnya yang sepi. Haru menggigit bibir dan mengalihkan pandangannya ke lantai, "Aku tidak punya pacar. Menurutmu, setelah apa yang terjadi padaku, aku bisa begitu saja berhubungan dengan pria?"
Hana terdiam sejenak, tampak merenung sebelum akhirnya mengangguk. "Betul juga. Aku yakin kau mengalami masa-masa yang sulit setelah kejadian itu," ujar Hana pelan. "Tapi, apa ada satu orang saja yang... kau tahu, seseorang yang membantumu selama ini?"
Wajah Ai langsung muncul di benaknya ketika mendengar pertanyaan itu. Lalu Ryu. Ryu yang tersenyum padanya, Ryu yang berjalan di sampingnya, Ryu yang memeluknya, berusaha melindunginya dari bahaya.
Haru mengangguk samar.
"Kenapa kau tidak memberitahuku?" tanya Hana dengan suara parau. "Maksudku, kau tidak perlu memberitahu Ibu dan Ayah tapi... kenapa kau tidak memberitahuku?"
Haru menunduk menatap lantai ruangan yang terlihat pucat. Kemudian ia mengangkat bahu, "Bukankah sudah jelas? Tidak ada yang bisa dilakukan meski aku memberitahumu. Itu bukan hanya sebuah kecelakaan, tapi sebuah aib. Menurutmu aku ingin ditatap dengan iba oleh siapapun yang mendengar berita itu? Menurutmu, aku bisa mengubah sedikit saja masa lalu jika aku memberitahu seseorang? Tidak. Tidak ada gunanya. Aku hanya akan membuat kalian semua cemas dan...," Haru mengangkat wajah ke arah ayahnya yang terbaring di atas ranjang, "...kau bisa melihat sendiri apa yang terjadi dengan Ayah. Karena ini aku tidak memberitahumu."
DRRT-DRRT-DRRT!
Ponselnya kembali bergetar dan kali ini Haru yakin peneleponnya adalah orang yang sama. Haru mematikan ponsel dengan paksa lalu menjejalkannya ke dalam tas sebelum akhirnya bersedekap ke punggung kursi.
"Apa kau menyukainya?" tanya Hana, kali ini sambil menopang dagu ke arah Haru.
Haru mendelik tidak percaya memandang kakaknya yang kini menanti jawabannya. "Aku tidak sedang menyukai siapapun."
"Kalau begitu, apa kau membencinya?"
Haru menggigit bibirnya, berpikir cukup keras sebelum menjawab, "Aku juga tidak... membencinya."
"Lalu kenapa kau tidak menjawab teleponnya? Aku yakin hubunganmu dengan orang ini cukup dekat karena tidak ada pria yang menghubungi wanita malam-malam begini kalau bukan karena mencemaskannya atau merindukannya." Hana tersenyum miring lalu duduk menghadap Haru yang kini memancarkan rasa bersalah. "Aku mengenalmu cukup lama untuk bisa memahami tanpa harus mendengarmu bicara."
"Entahlah. Hubungan kami... cukup rumit."
"Dan sepertinya kau tahu siapa yang membuatnya tidak mudah," ucap Hana sambil menepuk lutut Haru. "Aku yakin semuanya pasti tidak mudah bagimu. Aku tahu kau tidak bisa merubah masa lalumu, tapi banyak yang bisa kau lakukan untuk masa depanmu. Apa yang akan terjadi di masa depan bergantung pada pilihanmu hari ini. Jadi, kuharap kau bisa memilih dengan bijak."
Hana mengusap lutut adiknya sebelum akhirnya bangkit berdiri dan beranjak keluar sambil berkata, "Aku akan menyusul Ibu ke kantin. Kau kelihatannya membutuhkan waktu sendirian."
Haru tersenyum samar pada kakaknya yang berjalan keluar lalu menghilang di balik pintu kamar, meninggalkan Haru yang menatap tas tangannya di atas lantai sambil menggigit bibir.